Penghidupan mereka bersumber dari berjualan bensin eceran. Meminjam tempat di pojokan toko besar dekat perlintasan rel kereta api. Ebu Lenath membayar beberapa rupiah setiap bulannya pada sang pemilik toko.
Hari itu bensin mereka sudah habis. Menghabiskan sisa hari sebelumnya.
Ebu Lenath sedang dalam gairah pikiran. Pikirannya sedang gesit meraba-raba. Meloncat ke sana kemari.
Beberapa hari sebelumnya dia sedang memperbaiki lantai di bilik belakang yang sudah rusak. Rabatan semennya yang tipis sudah lapuk. Hingga sempat jebol ketika sedang menggeser bak air.
Dia segera mencari tahu. Dia khawatir kalau-kalau rumah yang sudah diakrabinya itu turut jebol.
Begitu dikorek-korek dengan linggis, ternyata tanahnya malah terperosok lebih dalam. Beberapa jengkal. Dihunjamkan linggis beberapa kali, tanahnya terus menurun. Hingga akhirnya setelah sekian kali menghunjamkan linggis dengan maksud memadatkan, terdengar suara, "Taaang," seketika dia berhenti. Diperiksanya lekat-lekat dengan bantuan lampu senter.
"Oh ini pipa. Pipa apa ya?" desah Ebu dengan nafas kacau.
Segera dikorek lebih dalam agar bisa diperkirakan besarnya. Baru setengah lingkar pipa dia sudah bisa menerka. Pipa di hadapannya lumayan besar. Ada seukuran pahanya. Dia menerka-nerka pipa apa gerangan yang ada di bawah rumahnya itu.
Pipa air? Pembuangan? Rupanya dia tidak mau ambil pusing. Pendek kata dia berucap, "Aku harus mencari tahu. Ini pipa apa. Karena ada di bawah rumahku, aku berhak mengetahui ini pipa apa."
Pipa Bensin Tinggal Sebulan
"Ayo Yah..lanjut lagi ngebornya..," ujar Lenath melihat ayahnya selesai membasuh tangan.