“Kalau alasannya cemburu harusnya kita-kita ini sekali-kali mbok ya dipijat suami, jangan hanya janji belaka. Giliran mau dipijat ada saja alasannya” gigih perlawan perempuan-perempuan dusun Kapuran
"Pokoknya tukang pijat laki-laki hanya untuk laki-laki, bukan untuk perempuan" demikian serangan balik para laki-laki jika istrinya terus-terusan protes.
Di saat genting itulah Bu Siti tiba-tiba kembali pulang. Perempuan-perempuan dusun Kapuran yang sedang membelah batu marmer seperti satu komando. Mereka tinggalkan palu gada dan linggis begitu saja di bukit kapur. Berlarian menyambut kebenaran berita bahwa Bu Siti pulang.
"Sekarang, ibu-ibu jika ingin pijat, bisa sama saya. Mulai besok malam akan saya ladeni" jelas Bu Siti di depan kerumunan perempuan-perempuan pembelah batu marmer itu.
Riuh suara lega seperti lebah. Nampak wajah gosong perempuan-perempuan itu bahagia. Seperti menemukan jawaban dari persoalan rumit yang selama ini tak terpecahkan. Bahkan lebih sulit ketimbang memecah batu marmer. Konon selama kepergiannya, Bu Siti telah belajar memijat pada seseorang di kota.
Maka, jika malam tiba, perempuan-perempuan dusun Kapuran mulai mengantre merasakan pijatan Bu Siti. Konon, menurut mereka pijatan Bu Siti ini lebih bertenaga dan cepat memulihkan kebugaran. Tak hanya itu, karena sesama perempuan, mereka bisa bebas menahan sakit campur nikmat dengan mata merem melek. Kesimpulan sementara, lebih enak dipijat Bu Siti dibanding Pak Sarjono.
Bagaimana dengan Pak Bakri serta para pekerja laki-laki lainnya? Rupanya karena cerita dari mulut ke mulut tentang keahlian Bu Siti itulah akhirnya satu persatu pasien Pak Sarjono mulai berpikir ulang. Siapa lagi yang dipikirkan jika bukan Bu Siti?
Bu Siti sendiri warga asli dusun Kapuran, ia tak tega mematok tarif kepada tetangganya. Jadi sama-sama sukarela, sekedarnya, semampunya.
"Wah kalau tarifnya sama-sama sukarela tapi kualitas lebih bagus, mengapa tak pilih Bu Siti saja?" pendapat salah satu laki-laki saat ngobrol di pos ronda.
Diam-diam beberapa laki-laki mulai berani menanyakan atau ijin untuk bisa dipijat Bu Siti. Pak Bakri tak keberatan, asalkan dia bisa mengawasi prosesi itu dan tentu tak lupa dengan urusan tarif (meski sukarela).
Bagaimanapun juga dada Pak Bakri masih menyala rasa cemburu dengan Pak Sarjono. Ia ingin pemijat tuna netra itu tergantikan istrinya, lalu biarkan enyah dari dusun Kapuran ini.