"Pak Sarjono itu laki-laki bu, sedangkan kamu perempuan! sudah minta dipijat anak-anak saja " papar Pak Bakri.
"Hiiiiih gemes aku, uang belanja untuk pijat, tapi tubuhku masih pegal. Emang ya laki-laki maunya enak sendiri" gumam Bu Siti cemberut.
Esok paginya Bu Siti pura-pura tidak enak badan. Ia tidur-tiduran saja di kamar. Pak Bakri berangkat sendiri ke bukit kapur untuk membelah batu marmer.
Ini merupakan kesempatan emas bagi Bu Siti. Diam-diam ia menuju rumah Pak Sarjono. Maka, dipijatlah seluruh tubuh Bu Siti hingga lepas seluruh rasa pegal dari tubuhnya. Sementara, di saat itu pula Pak Bakri berfirasat tidak enak. Ia segera pulang bermaksud menengok kondisi istrinya.
"Lha, kemana ibumu Nduk?" tanya Pak Bakri pada anaknya yang asyik menonton televisi.
"Katanya tadi mau pijat Pak, nggak tahu kemana gitu" sahut anaknya yang langsung membuat pikiran Pak Bakri mengarah ke Pak Sarjono.
Tak ada seorangpun pada jam segini rela memijat tubuh istrinya. Orang-orang juga pada sibuk membelah batu. Perempuan di dusun ini juga tak ada yang membuka jasa pijat. Pikiran Pak Bakri meruncing pada satu tuduhan.
Sontak melesatlah tubuh Pak Bakri ke rumah dinas mantri hutan. Disana didapati Pak Sarjono sedang memijat tubuh istrinya. Karena emosi dan terbakar cemburu, Pak Bakri tak terima jika istrinya dipegang-pegang Pak Sarjono.
"Saya tak pilih-pilih, siapapun boleh dipijat. Saya nggak bisa lihat bagaimana rupa orang yang dipijat. Jadi buat apa Pak Bakri marah-marah pada saya?" jelas Pak Sarjono menimpali amarah Pak Bakri.
Ganti istrinya yang diamuk. Pak Bakri menyalahkan apapun tindakan istrinya itu. Karena tak tahan omelan suaminya, Bu Siti akhirnya lari kecil untuk pulang duluan.
Pak Bakri terus membabi buta nyerocos tak terima atas perlakuan Pak Sarjono yang dianggap melecehkan harga dirinya. Untung beberapa warga berusaha melerai keributan itu.