"Pokoknya kalau kamu pegang-pegang istriku lagi, awas kamu" amarah Pak Bakri meletup-letup.
Lalu ia pulang menyusul istrinya. Namun, sampai di rumah tak didapati istrinya. Anaknya tak mampu menjelaskan kemana ibunya pergi.
Pak Bakri kebingungan mencari keberadaan istrinya. Orang-orang turut membantu bertanya kemana perginya Bu Siti. Hingga seluruh warga dusun menyimpulkan bahwa: Bu Siti minggat!
---------- ********** ----------
Berbulan-bulan lamanya Bu Siti tak ada di rumah. Pak Bakri terus mencari di sela-sela hari liburnya. Baik ke kota maupun ke "orang pintar" (dukun). Namun tak ada hasil.
Malahan sekarang anaknya disuruh membelah batu marmer juga. Jika anaknya membelah batu marmer, maka Pak Bakri mencari keberadaan istrinya. Ke dukun, ke desa sebelah, ke pasar hingga ke kota.
Tidak seperti warga lainnya yang rutin dipijat Pak Sarjono. Emosi dan cemburu membuat Pak Bakri enggan bertemu Pak Sarjono.
Sehingga saat perempuan-perempuan mulai berontak dan mengancam akan meniru gaya Bu Siti maka laki-laki dusun Kapuran seperti terbelah-belah pendapatnya.
Mereka ada yang mengancam balik, ada pula yang pasrah. Celakanya, semakin hari makin bertambah perempuan-perempuan yang protes kepada suami mereka sendiri.
“Masak iya hanya laki-laki saja yang dipijat. Mengapa perempuan tak boleh dipijat, padahal sama-sama capek” protes perempuan-perempuan dusun Kapuran membukit.
Sementara laki-laki dusun Kapuran hanya beralasan cemburu. Pak Sarjono laki-laki tulen, sedang istri mereka perempuan asli. Tapi, alasan itupun seperti bumerang.