Awal mula sebelum Bu Siti minggat dimulai dengan kedatangan seorang tuna netra. Namanya Pak Sarjono. Kehadirannya sangat misterius, meskipun Pak RT sudah mengantongi data diri Pak Sarjono. Ia tiba-tiba singgah begitu saja dan menetap di dusun kami. Beruntung Pak Sarjono punya keahlian yang kami butuhkan, yaitu: tukang pijat!
Ya, tukang pijat. Keahlian yang katanya di dapat dari seseorang di kota. Pak RT memberi kelonggaran agar Pak Sarjono menempati rumah dinas mantri hutan yang dindingnya terbuat dari kayu. Sebab selama ini tak ada satu pun mantri hutan yang sudi tinggal disitu. Selain berada di pinggir hutan, rumah dinas itu juga berada diatas dusun kami. Sehingga harus naik turun jika memerlukan keperluan hidup sehari-hari.
Pak Sarjono sepertinya tahu betul apa yang kami butuhkan. Ya, apa lagi jika bukan karena tubuh yang pegal, otot tegang serta menjaga stamina untuk terus membelah batu?
Selama ini untuk urusan pegal, kami menyuruh anak-anak untuk menginjak-injak bagian punggung. Itu pun dengan berbagai rayuan serta imbalan. Tahu sendiri kan bagaimana anak-anak jika disuruh injak-injak punggung? Masih untung jika mereka sebatas berddiam diatas punggung, sebab terkadang anak-anak malah berlompatan diatas punggung. Tentu bukannya meredakan pegal, tapi malah menambah sakit.
Mau menyuruh istri? yang ada malah bersitegang dulu. Buktinya, sangat jarang para suami yang sepenuh hati memijat istrinya sendiri. Justru yang sering terjadi malah para istri itu rela dipijat belakangan sesuai janji suami.
Sialnya para suami keburu mendengkur saat tiba giliran memijat. Jadi, para istri itupun pasrah. Padahal mereka juga membantu suami membelah batu. Tubuh mereka juga pegal. Belum lagi mereka masih mengurus anak, memasak, mencuci baju dan terkadang juga masih menuruti kemauan bercinta suaminya. Duh, nelangsa sekali.
Oleh karena itu, kehadiran Pak Sarjono menjadi pilihan tepat untuk urusan pijat-memijat. Jika malam tiba, laki-laki dusun Kapuran silih berganti menunggu giliran dipijat Pak Sarjono. Situasinya mendadak berubah, seolah pijat menjadi hal berharga. Pijat telah menjadi candu!
Rumah dinas mantri hutan yang semula sepi kini semakin ramai. Pos ronda kalah ramai. Apalagi saat mengantre itu ada papan catur dan karambol yang diboyong dari pos ronda.
Perempuan-perempuan dusun Kapuran juga mulai ramai. Mereka ramai dalam urusan menuntut keadilan. Resah melanda. "Apakah pijatanku sudah tak enak lagi? Mengapa uang belanja hanya untuk pijat? Bukankah di rumah kami masih bisa memijat? " Keresahan para istri terus dibelah-belah seperti batu marmer. Kini semua perempuan juga ingin dipijat oleh Pak Sarjono.
Hingga akhirnya peristiwa itu datang juga. Diam-diam Bu Siti yang tak pernah dipijat suaminya melayangkan protes. Baru kali ini seorang perempuan dusun Kapuran tak pasrah begitu saja.
"Ini harus segera diakhiri. Kami sama-sama membelah batu, sama-sama capek, sama-sama tersengat matahari. Masak kami tidak boleh dipijat Pak Sarjono? Yang benar saja, ini tidak adil namanya” protes Bu Siti berapi-api.