Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengintip Aktivitas Relawan Mother Teresa House di Kolkata, India

2 Februari 2022   14:47 Diperbarui: 8 Februari 2022   16:35 2163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para biarawati yang tergabung dalam Missionaries of Charity (MoC) global, berjalan melewati spanduk besar Bunda Teresa menjelang upacara kanonisasinya, di Kolkata, India pada 3 September 2016. (Rupak De Chowdhuri via kompas.com)

Beberapa tahun lalu, saya dan dua travelmates (Ahlan dan Indra) berkesempatan untuk menjelajahi India selama 3 minggu. Berbekal tiket promo pesawat yang tersedia, kami menjadikan Kolkata sebagai pintu masuk dan pintu keluar, dari dan menuju India. 

Saat menyusun itinerary, Ahlan mencetuskan sebuah ide, "gimana kalau di hari-hari terakhir, kita habiskan waktu untuk menjadi relawan di rumah Bunda Teresa?"

Penawaran itu saya dan Indra sambut dengan baik. Terus terang, saya pribadi pun penasaran gimana sih cara kerjanya seorang relawan itu. Terutama yang ada di Mother Teresa House di mana, relawan yang datang dari banyak negara. Itu akan jadi pengalaman pertama yang saya yakin akan meninggalkan kesan dan pengalaman yang luar biasa.

Sayangnya, perjalanan ala backpacking yang kami lakukan memberikan begitu banyak kejutan di perjalanan (baik dan buruknya, vice versa). Niat hati menghabiskan waktu 2 atau 3 hari terakhir di Kolkata, kami bertiga terjebak peraturan buka-tutup jalan menuju Kashmir, India Utara sehingga banyak waktu terbuang di jalan.

Bunda Teresa semasa hidup | Sumber gambar: bbc.co.uk
Bunda Teresa semasa hidup | Sumber gambar: bbc.co.uk

Ahlan pun ternyata harus pulang duluan ke Indonesia karena pekerjaan barunya menunggu. Jadilah, di akhir perjalanan hanya saya dan Indra yang berhasil menuntaskan perjalanan ke India secara penuh. 

Dan, walaupun kami baru tiba di Kolkata di hari terakhir sebelum pulang ke Indonesia, kami berdua masih berkesempatan untuk datang ke Mother Teresa House sambil melihat kehidupan para relawan yang ada di sana.

"MENJUMPAI" BUNDA TERESA

Berada di kawasan Taltala, Kolkata, dari stasiun kereta seharusnya kediaman Bunda Teresa itu dengan mudah kami temukan. Nyatanya, dikarenakan tidak teliti membaca petunjuk di buku perjalanan, setelah bertanya ke banyak orang akhirnya kami tiba di sana setelah nyasar hampir 1 jam lamanya.

Sedikit informasi mengenai Bunda Teresa yang aslinya bernama Agnes Gonxha Bojaxhiu ini. Beliau lahir di Skopje, Makedonia Utara di tanggal 26 Agustus 1910. Ia pertama kali datang ke India di tahun 1929 dan memulai novsiatnya (pendidikan awal bagi seorang selibat/religius dalam Katolik).

Lorong sempit menuju Mother Teresa House | Sumber gambar: omnduut.com
Lorong sempit menuju Mother Teresa House | Sumber gambar: omnduut.com

Butuh proses yang panjang untuknya hingga kemudian saat pindah ke Kolkata, beliau mendirikan Misionaris Cinta Kasih/Missionaries of Charity pada tahun 1950.

Selama 47 tahun sejak misionaris didirikan, sebelum kemudian beliau wafat di tahun 1997, Misionaris Cinta Kasih ini terus berkembang dan telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk memberi penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC.

Selain itu ada pula program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan dan sekolah. Memang luar biasa jasa Bunda Teresa atas misi kemanusiaan itu. Paus Yohanes Paulus II bahkan memberikan gelar Beata (blessed dalam bahasa Inggris), dan Bunda Teresa disebut sebagai wanita terkudus yang pernah ia temui.

Pusara Bunda Teresa | Sumber gambar omnduut.com
Pusara Bunda Teresa | Sumber gambar omnduut.com

Nah, sebelum tiba di rumah tempat beliau tinggal, terlebih dahulu saya mampir ke gerejanya yang menjadi satu lokasi dengan sekolah bernama St Teresas Girls Primary School. 

Baru saja tiba di sini, saya sudah merasakan aura toleransi yang tinggi sebab penjaga gerejanya seorang muslim dan salah satu pengunjung pengunjung lokal yang saya jumpai ternyata juga beragama Islam namun turut berdoa di depan pintu masuk gereja untuk Bunda Teresa.

Salah satu biarawati yang menjadi bagian dari Misionaris Cinta Kasih | Sumber gambar: www.catholicnewsagency.com
Salah satu biarawati yang menjadi bagian dari Misionaris Cinta Kasih | Sumber gambar: www.catholicnewsagency.com

"Saya datang ke sini, berdoa atas dasar kemanusiaan. Beliau sangat berjasa bagi orang-orang terdahulu," ujarnya saat kami melakukan perbincangan.

Wah luar biasa. Hal ini sesuai dengan apa yang Bunda Teresa pernah bilang, "if you judge people, you have no time to love them."

Begitu tiba di lokasi utama tempat Bunda Teresa tinggal, saya dan Indra disambut oleh suster (biarawati, namun dikenal dengan nama suster/suzter dalam bahasa Belanda yang berarti saudara perempuan) yang betugas di pintu depan.

Asrama tempat Bunda Teresa tinggal | Sumber gambar: omnduut.com
Asrama tempat Bunda Teresa tinggal | Sumber gambar: omnduut.com

Awalnya, saya dan Indra tidak diizinkan masuk karena itu waktu mereka beribadah. Namun kami kemudian diizinkan untuk menunggu di bangunan tempat Bunda Teresa dimakamkan. Pusara Bunda Teresa berada di bagian tengah ruangan. Berbentuk persegi panjang dengan lapisan marmer.

Jika tidak ada nisan dan patung Bunda Maria di bagian atasnya, bisa jadi orang tidak menyangka jika itu sebuah makam. 

Di atasnya terdapat pula tulisan Jesus is my all in all yang dirangkai dari bunga Kanola. Ternyata, untaian kata ini diganti setiap hari dan sisa bunga yang digunakan di hari sebelumnya dapat dibawa pulang oleh pengunjung.

Saya berdoa untuk beliau. Seraya berterima kasih atas segala perjuangan yang ia lakukan untuk kaum papa di belahan dunia terutama di India. Di sebelah ruangan utama, ada pula museum mini yang menyimpan segala macam benda yang pernah dipakai oleh Bunda Teresa.

Kamar Bunda Teresa | Sumber gambar: motherteresa.org 
Kamar Bunda Teresa | Sumber gambar: motherteresa.org 

Dari selimut, baju, sepatu, sandal bahkan peniti. Puluhan foto dan berbundel arsip pemberitaan mengenai beliau juga tersimpan baik.

Tepat di depan museum, ada bangunan bertingkat tempat kamar Bunda Teresa berada. Saat melihatnya, saya terenyuh sebab ukurannya sangat kecil dan sangat sederhana.

"Kalian tahu, tepat di lantai atas kamar ini adalah dapur. Kadang, kamar Bunda Teresa ini terasa sangat panas," ujar seorang biarawati yang kebetulan berada di sana.

Membayangkan Bunda Teresa menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar itu saya semakin terbawa perasaan. Kebayang ya, apalagi jika masuk puncak musim panas di India yang biasanya ekstrim. Satu yang pasti, apa yang sudah beliau perbuat dan korbankan selama ini telah memunculkan gerakan atas dasar kemanusiaan yang masif dan masih berlangsung hingga sekarang.

MELIHAT BULE JADI RELAWAN

Sekali lagi, karena kami tidak punya cukup waktu, dengan berat hari kami harus mengurungkan niat untuk menjadi relawan di Mother Teresa House. Walau begitu, di kunjungan singkat itu, kami sempat melihat aktivitas para relawan yang datang dan melakukan misi kemanusiaan di sana.

Saat jam kunjungan dibuka pukul 3 sore, sederet wisatawan asing menyeruak masuk. Mereka mulai mendatangi pusara Bunda Teresa dan keluar masuk ke museum mini. 

Namun, sebagian wisatawan asing ras blasteran/hispanik tampak datang dengan membawa tentengan berupa air mineral dan makanan. Rupanya, mereka inilah, anak-anak muda yang datang ke Mother Teresa House sebagai relawan.


Dilansir lewat situs motherteresahouse.org, tujuan dibentuknya kegiatan relawan ini adalah untuk menyediakan rumah dan perawatan bagi orang-orang yang sakit parah yang tinggal sendiri atau tidak memiliki perawatan yang mereka butuhkan selama hari-hari terakhir kehidupan mereka. Semua diberikan tanpa dipungut biaya sedikitpun.

Saat itu, saya memang tidak melihat proses relawan mengurusi orang sakit. Hal-hal lain yang dibutuhkan misionaris dari para relawan yakni untuk memasak, membersihkan ruangan, menjawab telepon, membantu pekerjaan di kantor serta memberikan layanan kepada setiap tamu. Nah, kegiatan sederhana ini yang waktu itu saya lihat di Mother Teresa House.

Para biarawati, yang mungkin datang untuk belajar juga membantu segala macam urusan lain di rumah tersebut. Relawan yang bekerja juga diberikan "jam kerja". Yakni, dalam satu sesi hanya 4 hingga 6 jam berkegiatan dengan komitmen setidak-tidaknya "bekerja" selama 12 jam dalam satu bulan atau lebih.

Salah satu relawan Misionaris Cinta Kasih. Sumber gambar thechicseeker.com
Salah satu relawan Misionaris Cinta Kasih. Sumber gambar thechicseeker.com

Saya dan Indra memang tidak berkesempatan untuk mendatangi tempat-tempat lain di mana kegiatan relawan dilaksanakan. 

Tempat-tempat itu tersebar di Kolkata, misalnya Nirmala Sishhu Bhavan tempat anak yatim piatu berada. Prem Dan tempat para lansia, atau Daya Dan tempat anak-anak berkebutuhan khusus.

Untuk menjadi relawan juga tidak susah. Tinggal datang dan melapor ke petugas. Sepengetahuan saya, juga disediakan ruangan khusus bagi para relawan untuk menginap. Para relawan ini memang tidak dibayar, tapi untuk akomodasi dan konsumsi disediakan oleh pihak Misionaris Cinta Kasih.


Pertanyaan kemudian, dari mana mereka memperoleh dana untuk misi kemanusiaan? Rupanya, biaya operasional itu didapatkan dari sumbangan yang datang dari banyak sumber. 

Menurut situs chatolicnewsagency.com, di tahun 2021 saja, Misonaris Cinta Kasih tercatat memperoleh sumbangan sebanyak 13 juta dolar. Jumlah yang sangat besar dan tentu saja sangat membantu masyarakat yang membutuhkan.

MENJADI SUKARELAWAN KOK HARUS BAYAR?

Kegiatan voulenteering sudah umum diadakan di banyak negara. Sebelum ke India, saya pernah iseng mendaftar di Volunteer Programme yang diadakan oleh Seoul International Youth Hostel (SIYH). 

Berbeda dengan aksi sukarelawan di Misionaris Cinta Kasih yang sepenuhnya gratis, di program yang diadakan oleh SIYH itu para pelamar malah diharuskan untuk mendaftar dan membayar.

Biayanya akan digunakan untuk akomodasi dan konsumsi. Ibaratnya nih, udahlah mesti jauh ke Korea Selatan sana, disuruh "bekerja" eh harus bayar pula. Tapi... jangan salah, kegiatan semacam ini ternyata banyak peminatnya. Termasuk saya dulu.

Motivasi orang yang ingin mendaftar juga bervariasi. Sederhananya, ya bisa mendatangi tempat baru yang jauh, refreshing, pelesiran sambil berbuat sesuatu demi orang lain sehingga berlibur tak hanya melulu untuk bersenang-senang, namun juga berbagi.

Salah satu kegiatan sukarelawan dengan proses seleksi yang sempat ingin saya ikuti namun tidak saya lanjutkan | Dokpri.
Salah satu kegiatan sukarelawan dengan proses seleksi yang sempat ingin saya ikuti namun tidak saya lanjutkan | Dokpri.

Di Indonesia, kegiatan relawan juga mulai banyak diadakan. Walaupun harus "dibumbui" dengan kompetisi dan membawar uang registrasi antara Rp.80.000 sd Rp.100.000. Lalu, para pelamar akan dites. Bagi yang skornya bagus, akan diajak berkegiatan dengan sistem fully funded alias semua biaya akan ditanggung penyelenggara.

Bagi pelamar lain yang skornya tidak begitu bagus, dikasih opsi untuk membayar uang kegiatan separuh harga. Atau, ada juga yang harus membayar penuh semua semua elemen biaya.

Saya tidak mengelak jika muncul suara-suara sumbang dari kegiatan voluntrip semacam ini.

"Kalau yang daftar 300 orang, masing-masing bayar Rp.100.000, panitianya udah dapat 30 juta tuh! Nah dari situlah biaya untuk ngongkosin orang yang terpilih di kategori fully funded diperoleh."

Belum lagi, kabar lain bahwa peserta program yang lolos kategori fully funded diprioritaskan ke orang-orang yang tinggal di kota besar (dan umumnya di Pulau Jawa). Kenapa? Ya biar ongkos pesawatnya lebih murah. Memilih peserta dari Surabaya jelas lebih murah ketimbang peserta yang dari Aceh atau dari Papua, bukan?

Menjadi relawan di program kelas Inspirasi | Sumber gambar omnduut.com
Menjadi relawan di program kelas Inspirasi | Sumber gambar omnduut.com

Saya pribadi, pernah coba mendaftar di salah satu program semacam ini. Ketika kemudian saya memutuskan untuk tidak lanjut, ya tidak semata-mata karena isu tersebut. Ada alasan-alasan lain yang membuat saya tidak melanjutkan proses seleksi.

Apalagi panitia sudah melakukan klarifikasi bahwa dana pendaftaran peserta yang terhimpun sepenuhnya akan digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat di lokasi tempat kegiatan berlangsung.

Saya pribadi, belum berkesempatan untuk ikut kegiatan sukarelawan yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang. Sejauh ini, hanya kegiatan jadi relawan sehari Kelas Inspirasi (turunan dari kegiatan Indonesia Mengajar) yang pernah saya coba.

Memperkenalkan tokoh-tokoh inspiratif Indonesia ke siswa sekolah dasar | Sumber gambar omnduut.com
Memperkenalkan tokoh-tokoh inspiratif Indonesia ke siswa sekolah dasar | Sumber gambar omnduut.com

Yeah, walaupun hanya berlangsung singkat dan tidak berkesinambungan, saya cukup senang bisa membagi inspirasi kepada murid-murid sekolah yang saya dan tim temui.

Harus diakui kegiatan itu melelahkan, menyita waktu dan juga dibutuhkan biaya (minimal transportasi, konsumsi dan biaya untuk membuat materi peraga) yang harus ditanggung sendiri. Namun, itu semua terbayar dengan kebahagiaan yang didapatkan setelah melaksanakan program tersebut.

So, apapun jenis kegiatan sukarelawannya, selama itu memiliki secuil dampak positif, mudah-mudahan saja menjadi bentuk kecil peran serta kita dalam kegiatan sosial, ya!

Penulis bagian dari Kompal
Penulis bagian dari Kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun