Analis Fenomena Diglosia dalam Siswa Kelas X SMK di Kota Bekasi
Ollvia Mega Oktaviani
Universitas Indraprasta PGRI
Olliviamegaoktaviani@gmail.com
Abstract
Language is a human communication tool in conveying messages between people. Diglosia is a language situation where there is a functional division of language variants or languages in society. Diglosia can also be demonstrated in the context of communication for people in countries with diverse languages. Language is a symbol of the sound produced by a speech tool that has meaning or meaning
. Language is a communication tool used by living things to interact with each other, especially humans. The kinds of languages in this world are truly diverse, especially in Indonesia which has many ethnicities, cultures and languages. The process of mastering language involves external problems such as the social background of the speaker, the position, and culture of the speaker in the community. Language can also be interpreted as a system, meaning that language is formed by a number of components that are permanently patterned, and can be educated. The hallmark of the nature of language is that language is a symbolic system, in the form of sound, which is arbitrary, productive, dynamic, diverse and human.
Keywords: Language, diglosia, Society
Abstrak
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam menyampaikan pesan antar sesama. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Diglosia dapat juga ditunjukkan dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang memiliki ragam bahasa.Â
Bahasa adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi sesamanya, terutama manusia. Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa
. Proses menguasai bahasa melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur, kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat. Bahasa juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri dari hakikat bahasa adalah, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi.
Kata Kunci : Bahasa, diglosia, Masyarakat
Pendahuluan
Bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam menyampaikan pesan antar sesama, terutama di sekolah bahasa sangat penting. Karena kegiatan pembelajaran di sekolah tentu erat kaitannya dengan proses berbahasa (Setiawan dkk. 2018). Pembelajaran tersebut, tentunya perlu di imbangi dengan minat.Â
Minat yang besar terhadap sesuatu merupakan modal yang besar untuk mencapai atau memperoleh tujuan yang diminati. Siswa yang memiliki minat belajar yang tinggi akan senantiasa memberikan perhatian penuh dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran (Yahya dkk, 2018). Keterampilan berbahasa berhubungan erat dengan proses-proses yang mendasari pikiran,Â
semakin terampil seseorang berbahasa semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya (Siti dkk, 2013). Membaca dapat menggunakan bacaan apapun, dibuktikan dalam (Darmuki dkk. 2015) yang menyatakan bahwa membaca buku referensi akan membantu para pembaca untuk meningkatkan keterampilan berbahasa.Â
Dalam fungsinya, bahasa juga mampu merubah keadaan seseorang tanpa disadari dan disadari, seperti marah, bahagia dan sedih. Orang akan marah ketika dia mendapatkan pesan yang menyinggung perasaan dirinya.Â
Dan orang akan bahagia ketika dia mendapatkan kata-kata yang mampu membangkitkan rasa ketengan dan rangsangan semangat hidup melalui otak kanannya. Susmita (2015:1) mengatakan bahwa anak manusia mewarisi kesanggupan biologis untuk menguasai dan menggunakan bahasa, dan warisan ini bisa menjelaskan ciri-ciri universal yang terdapat dalam suatu bahasa-bahasa yang belum diketahui;Â
tetapi tidak mewarisi sebuah bahasa tertentu. Anak-anak yang sejak kecil dikenalkan dengan bahasa ibu akan menggunakan bahasa ibunya untuk memenuhi kebutuhan seperti berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial.
Walaupun hampir setiap bahasa di dunia ini memiliki bentuk tertentu untuk mengungkapkan rasa hormat, tetapi tidak banyak yang memiliki bentuk sekompleks dan serumit kelima bahasa yang di Indonesia, yaitu: Bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura, dan Sasak (Ramendra, 2013).Â
Kaitan bahasa dengan pengguna bahasa (masyarakat) dalam kajian ilmu bahasa masuk dalam ranah keilmuan sosilinguistik. Fishman (1972) dalam Chaer dan Agustina (2004:3) mengemukakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi variasi bahasa, dan pengunaan bahasa karena ketiga unsur ini berinteraksi dalam dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur,Â
identitas sosial dari penutur, lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi serta tingkatan variasi dan ragam linguistik. Jadi masyarakat adalah penentu dari munculnya keanekaragaman bahasa. Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa atau lebih.
 Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa dan ada yang menggunakan bahasa yang dua atau lebih. Masyarakat bahasa yang menggunakan satu bahasa disebut monolingual dan masyarakat bahasa yang menggunakan dua bahasa atau labih disebut biligualisme. Bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolingustik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh penutur dalam kegiatan berkomunikasi dengan orang lain, Mackey dan Fishman (Chaer, 2010)
Sedangkan Bilingualitas atau kedwibahasawanan merupakan pemerolehan dua bahasa karena di dalam individu sudah terdapat suatu kemampuan untuk berdwibahasa (Nababan, 1993).
Menurut Ferguosa, diglosia adalah fenomena penggunaan ragam bahasa yang dipilih sesuai dengan fungsinya. Diglosia dalam masyarakat bahasa yang memiliki satu bahasa dengan dua ragam(tinggi dan rendah) yang memiliki peranya masing-masing. Penggunaan dua bahasa atau lebih merupakan fenomena yang biasa terjadi. Bahasa daerah sebagai salah satu warisan budaya nasional harus dipelihara dan ditumbuh kembangkan agar nilai-nilai budaya yang berkembang di dalamnya tetap hidup di tengah masyarakat (Marni, 2016).
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Diglosia dapat juga ditunjukkan dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang memiliki ragam bahasa. Bahasa adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi sesamanya, terutama manusia. Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Proses menguasai bahasa melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur, kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat.
Kajian Teori
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa masyarakat di suatu tempat, atau bisa di bilang bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang menganalisis kebahasaan sehari-hari masyarakat, pendapat ini didukung oleh Hickerson (1980: 81) yang beragumen bahwa sosiolinguistik merupakan sebuah pembelajaran pengembangan linguistik yang mengambil variasi bahasa sebagai fokusnya, dan melihat variasi bahasa itu sendiri dalam konteks sosialnya.Â
Dan berdasarkan sebuah statement dari Fishman (1972:4), yang menerangkan bahwa sosiolinguistik adalah pembelajaran mengenai karakteristik fungsi-fungsi penggunaan bahasa dengan karakteristik pengguna bahasa itu sendiri. Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004:92) menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasu dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunayi peranan tertentu.
Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus di mana dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa, dan di mana masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu (Ferguson dalam Sumarsono dan Partana, 2002:36-37). Achmad dan Abdullah (2012:164) memaparkan bahwa diglosia diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur.
Dari pemaparan beberapa ahli di atas, dapat diambil sintesis bahwa diglosia merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R) yang disesuaikan dengan situasi komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi resmi seperti pada lingkup pemerintahan dan pendidikan, sedangkan ragam rendah digunakan pada situasi tidak resmi
seperti percakapan dengan teman, saat terjadi transaksi jual beli, dan lain sebagainya. Jika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa, terutama fungsi ragam tinggi (T) dan fungsi ragam rendah (R), maka bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam suatu masyarakat. Dwibahasan adalah mereka yang dapat menggunakan dua bahasa, tetapi ini pun tingkatannya bermacam-macam
 dari tingkatan dwibahasawan permulaan, yaitu mereka yang sedang mempelajari bahasa kedua pada langkah awal, sampai kepada mereka yang telah menguasai bahasa kedua itu dengan baik, sehingga dapat dibandingkan dengan penguasaan oleh para penutur asli (Rusyana, 1988). Faktor yang menimbulkan kedwibahasaan adalah intensitas penggunaan bahasa Indonesia yang sekarang lebih banyak digunakan daripada bahasa Inggris.
Selain itu, juga karena pengaruh pola komunikasi yang dibentuk Sarah Sechan yang menanyainya menggunakan bahasa Inggris. Faktor tersebut sesuai dengan penelitian (Bahri, 2018). Suandi (2014:25) menjelaskan tentang kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia dalam sebuah tabel.
Tabel dan penjelasannya adalah sebagai berikut.
Diglosia
+-
Bilingualisme+Bilingualisme dan DiglosiaBilingualisme tanpa diglosia
-Diglosia tanpa bilingualismeTidak diglosia tidak bilingualisme
Tabel 1: Kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia
Metode
Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dimana metode ini digunakan untuk mengetahui dan memecahkan masalah yang berdasarkan serta berkaitan dengan data-data narasi dari sebuah observasi, wawancara. Hal ini didukung dengan pendapat menurut (Narbuko dan Achmadi, 2002) yang mengatakan bahwa metode ini digunakan untuk memecahkan masalah aktual dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, menglasifikasikan, menganalisis, serta menginterpreta-sikannya. Dan pengertian bentuk penelitian deskriptif kualitatif yang disampaikan Sutopo (2002) yaitu, "Penelitian deskriptif kualitatif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam tentang potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya" .
Menurut Gubrium et.al., (1992: 1577) Setidaknya, terdapat lima jenis metode penelitian kualitatif yang banyak dipergunakan, yaitu: (1) observasi terlibat; (2) analisa percakapan; (3) Analisa wacana; (4) analisa isi; dan (5) pengambilan data ethnografis. Observasi terlibat biasanya melibatkan seorang peneliti kualitatif langsung dalam setting sosial. Ia mengamati, secara lebih kurang "terbuka", di dalam aneka ragam keanggotaan dari peranan-peranan
subjek yang ditelitinya.
Data dikumpulkan dari fenomena yang ada di dalam Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi seperti berikut ini : Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa sunda di Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi, Diglosia pada siswa-siswi kelas X Tutur pada Penggunaan Bahasa sunda (Kajian Kebahasaan terhadap Bahasa Sunda Halus Dan Bahasa Sunda Kasar Dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik),Â
enelitian Diglosia antara bahasa bahasa indonesia dan Sunda (study kasus Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi) dalam Penelitian melalui Kualitatif Metode yang di gunakan adalah Observasi.
Pada tahap ini, data yang sudah didapatkan oleh penulis tersebut, kemudian diidentifikasi dan di analisis diglosianya. Setelah itu penulis menyimpulkan kenapa fenomena itu terjadi secara rinci sesuai dari data yang ada.
Pembahasan dan Hasil
Berikut ini adalah penelitian yang relevan mengenai Fenomena Diglosia :
1. Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Sunda di Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahasa yang digunakan dan untuk mengetahui situasi diglosia pada penutur Bahasa Sunda di Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif.Â
alam penelitian tersebut, data tentang diglosia dilihat dari tujuh ranah, yakni ranah keluarga, ranah pergaulan/pertemanan, ranah lingkungan sekolah, ranah agama, ranah pemerintahan, ranah pendidikan, dan ranah profesi/pekerjaan. Selain itu juga, data diperoleh dari pemilihan bahasa, seperti di observasi secara langsung, melalui editorial surat kabar, media sosial, siaran berita, dan sastra rakyat.Â
erdasarkan temuan penelitian menunjukan bahwa penutur Bahasa Sunda merupakan bilingual dan multilingual. Hal ini terlihat dengan beragamnya bahasa yang digunakan dan penguasaan dari masing-masing penutur Bahasa Sunda. Hasil penelitian berdasarkan ranah keluarga dan ranah pergaulan dengan teman sesuku, menunjukan bahwa masih dominannya penutur menggunakan Bahasa Sunda
 dalam ranah pendidikan, terlihat bahwa Bahasa Sunda lebih dominan. Fungsi bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi yang digunakan sehari-hari dalam proses pembelajaran di Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi. Dalam ranah agama, khususnya Pembinaan Akhlaqul Karimah (penggunaan bahasa sunda dan bahasa Indonesia seimbang), sedangkan khotbah di Masjid lebih dominan menggunakanÂ
ahasa Indonesia sebagai bahasa tinggi (T). Ranah pemerintahan, ranah pendidikan dan ranah profesi, situasi diglosia yang terjadi adalah lebih dominan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), walaupun terjadi diglosia yang kurang mantap pada ranah pendidikan yang dituturkan pelajar penutur sunda akibat penguasaan bahasa Indonesia yang masih kurang mantap.Â
emilihan bahasa yang digunakan dalam editorial surat kabar dan siaran berita menggunakan bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa tinggi (T), sedangkan sastra rakyat lebih dominan menggunakan Bahasa Sunda (R) walaupun terdapat juga menggunakan Bahasa Indonesia.
2. Diglosia Kelas Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi Tutur pada Penggunaan Bahasa Sunda (Kajian Kebahasaan terhadap Bahasa Sunda Halus dan Bahasa Sunda Kasar Dilihat dari Perspektif Sosiolinguistik).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peristiwa diglosia yang muncul dalam bahasa sunda yang digunakan Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di lingkungan sekolah. Maksud tersebut ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal.
Contohnya misalkan di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan. Kemudian dalam berkomunikasi sehari-hari terdapat perbedaan dimana jika sesama teman sebaya bahasa yang digunakan menggunakan Bahasa Sunda Kasar, namun ketika seorang siswa berbicara dengan seseorang lebih tua maka menggunakan Bahasa Sunda Halus.
Maka dari itu penggunaan Bahasa Sunda Halus dan Bahasa Sunda Kasar digunakan pada forum yang juga berbeda. Bahasa Sunda Halus digunakan pada forum-forum dan media media yang bersifat formal. Sebaliknya, Bahasa Sunda Kasar sering digunakan dalam aktivitas dan komunikasi sehari-hari yang bersifat non formal.
3. Penelitian Diglosia antara Bahasa Indonesia dan Sunda (study kasus Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi.).
Berdasarkan hasil penelitian fenomena diglosia dalam suatu masyarakat khususnya bahasa indonesia dan bahasa Sunda yang dilakukan oleh ollvia mega dengan menggunakan pendekatan Ferguson, dapat disimpulkan bahwa Bahasa indonesia berfungsi sebagai komunikasi sehari-hari yang digunakan dalam lingkungan sekolah dengan teman sebaya, guru maupun karyawan sekolah yang berbahasa sunda.Â
sedangkan bahasa Sunda digunakan sebagai komunikasi sehari-hari bagi sebagaian besar Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi. Tidak ada ragam yang tinggi (T) atau rendah (R) pada diglosia bahasa indonesia dan bahas Sunda di lingkungan sekolah Siswa Kelas X Smk Bina Karya Mandiri Bekasi.. Posisi kedua bahasa tersebut sama dan tidak ada "derajat" bahasa. Pemerolehan Ragam T diperoleh dari pergaulan
bagi komunitas masyarakat yang menggunakan ragam R, sedangkan komunitas ragam R memperoleh bahasanya dari bahasa ibu sendiri. Penggunaan ragam T sebagian besar digunakan dalam ruang lingkup lingkungan sekolah di Smk Bina Karya Mandiri Bekasi. Stabilitas Diglosia yang terjadi pada Smk Bina Karya Mandiri Bekasi sudah berlangsung lama, dinamika kehidupan yang terjadi menjadikan adanya perubahanÂ
masyarakat dalam hal ini komposisi kependudukan bahasa. Penggunaan ragam T jarang menggunakan ragam R untuk berkomunikasi dengan masyarakat penggunaan ragam R. Sedangkan pada masyarakat ragam R ketika menggunakan ragam T akan terdengar seperti masyarakat ragam T dalam struktur kalimat dan intonasinya. Keseluruhan kosakata dan gramatikal bahasa kedua ragam tersebut memiliki perbedaan yang kuat.Â
Seperti kata "mau kemana?" dengan "bade kamana?" kedua kosa kata ini memiliki makna sama yaitu mempertanyakan orang lain "mau pergi kemana?",
Simpulan
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Dilihat dari jumlah yang digunakan dalam masyarakat bahasa, ada masyarakat bahasa yang menggunakan lebih dari satu bahasa. Diglosia merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R)Â
yang disesuaikan dengan situasi komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi resmi, sedangkan ragam rendah digunakan pada situasi tidak resmi. Sedangkan, bilingualisme merupakan keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam suatu masyarakat. Jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme,Â
(4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Mengambil dari empat penelitian yang relevan mengenai fenomena diglosia, dapat disimpulkan bahwa dalam terdapat perbedaan penggunaan bahasa dalam masyarakat berkaitan dengan fungsinya sebagai alat komunikasi transaksi bisnis atau sebagai alat komunikasi sehari-hari bagi sebagaian besar warga. Fenomena diglosia yang ditemukan dalam interaksi masyarakat terbukti dengan adanya ragam bahasa yang terjadi dalamÂ
setiap percakapan, terdiri atas ragam bahasa formal dan ragam bahasa nonformal. Penggunaan variasi bahasa terjadi karena faktor sosial yang meliputi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Diglosia adalah suatu situasi bahasa dengan pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa di masyarakat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H