Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas varian-varian bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Diglosia dapat juga ditunjukkan dalam konteks komunikasi bagi masyarakat di negara yang memiliki ragam bahasa. Bahasa adalah lambang bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap yang mempunyai makna atau arti. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh makhluk hidup untuk berinteraksi sesamanya, terutama manusia. Macam-macam bahasa di dunia ini sungguh beragam, terutama di Indonesia yang mempunyai banyak suku bangsa, budaya dan bahasa. Proses menguasai bahasa melibatkan soal-soal luaran seperti latar belakang sosial penutur, kedudukan, dan kebudayaan penutur dalam masyarakat.
Kajian Teori
Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa masyarakat di suatu tempat, atau bisa di bilang bahwa sosiolinguistik merupakan bidang yang menganalisis kebahasaan sehari-hari masyarakat, pendapat ini didukung oleh Hickerson (1980: 81) yang beragumen bahwa sosiolinguistik merupakan sebuah pembelajaran pengembangan linguistik yang mengambil variasi bahasa sebagai fokusnya, dan melihat variasi bahasa itu sendiri dalam konteks sosialnya.Â
Dan berdasarkan sebuah statement dari Fishman (1972:4), yang menerangkan bahwa sosiolinguistik adalah pembelajaran mengenai karakteristik fungsi-fungsi penggunaan bahasa dengan karakteristik pengguna bahasa itu sendiri. Ferguson (dalam Chaer dan Agustina, 2004:92) menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasu dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunayi peranan tertentu.
Diglosia adalah sejenis pembakuan bahasa yang khusus di mana dua ragam bahasa berada berdampingan di dalam keseluruhan masyarakat bahasa, dan di mana masing-masing ragam bahasa itu diberi fungsi sosial tertentu (Ferguson dalam Sumarsono dan Partana, 2002:36-37). Achmad dan Abdullah (2012:164) memaparkan bahwa diglosia diidentikkan dengan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya pemakaian bahasa tinggi dan rendah dalam suatu masyarakat tutur.
Dari pemaparan beberapa ahli di atas, dapat diambil sintesis bahwa diglosia merupakan situasi kebahasaan yang menunjukkan adanya penggunaan bahasa tinggi (ragam T) dan bahasa rendah (ragam R) yang disesuaikan dengan situasi komunikasinya. Ragam tinggi digunakan untuk berkomunikasi pada situasi resmi seperti pada lingkup pemerintahan dan pendidikan, sedangkan ragam rendah digunakan pada situasi tidak resmi
seperti percakapan dengan teman, saat terjadi transaksi jual beli, dan lain sebagainya. Jika diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa, terutama fungsi ragam tinggi (T) dan fungsi ragam rendah (R), maka bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam suatu masyarakat. Dwibahasan adalah mereka yang dapat menggunakan dua bahasa, tetapi ini pun tingkatannya bermacam-macam
 dari tingkatan dwibahasawan permulaan, yaitu mereka yang sedang mempelajari bahasa kedua pada langkah awal, sampai kepada mereka yang telah menguasai bahasa kedua itu dengan baik, sehingga dapat dibandingkan dengan penguasaan oleh para penutur asli (Rusyana, 1988). Faktor yang menimbulkan kedwibahasaan adalah intensitas penggunaan bahasa Indonesia yang sekarang lebih banyak digunakan daripada bahasa Inggris.
Selain itu, juga karena pengaruh pola komunikasi yang dibentuk Sarah Sechan yang menanyainya menggunakan bahasa Inggris. Faktor tersebut sesuai dengan penelitian (Bahri, 2018). Suandi (2014:25) menjelaskan tentang kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia dalam sebuah tabel.
Tabel dan penjelasannya adalah sebagai berikut.
Diglosia
+-
Bilingualisme+Bilingualisme dan DiglosiaBilingualisme tanpa diglosia
-Diglosia tanpa bilingualismeTidak diglosia tidak bilingualisme
Tabel 1: Kaitan antara kedwibahasaan (bilingualisme) dengan diglosia