“Iya ayah” Jawabku sambil mengangguk, semua mata tertuju padaku dan Aisyah mengangkat wajahnya untuk melihatku juga.
“Siapa dia nak?” Kini wajah sedih ibuku terlihat jelas, karena ibuku begitu menginginkan gadis itu menjadi menantunya. Menantu terakhirnya.
“Siapa Zin?” tanya kakak-kakakku
Seulas senyum aku lontarkan lalu mengangkat tanganku dan menunjuk seseorang “Dia, Aisyah Kholifatun Nisa, gadis berkerudung merah aku mencintainya sejak dulu kak. Gadis yang telah membuat tidurku tak nyenyak. Dia gadis yang hilang ditelan alam yang membuat hidupku tak karuan karena berusaha melupakannya. Aku mencintainya ayah, aku mau mewujudkan impian ibu, menjadikannya menantu terakhir dirumah ini” Aku mendekati Ibu dan memeluknya. Airmata ibu jatuh berlinang karena bahagia. Aisyah tersipu malu lalu menundukkan kepalanya dan ia berusaha menyembunyikan airmata yang menitik dari pelupuk matanya.
“Kalo sudah begitu tinggal kita tentukan saja tanggal pernikahannya” seru ayahku.
Aku berjalan mendekati Aisyah yang masih menunduk.
“Sudah lama aku mencarimu Ais, saat terakhir kita bertemu aku ingin ucapkan kalo aku sayang sama kamu tapi kamu pergi dan tak memberikanku waktu untuk mengungkapkan isi hatiku padamu dan akhirnya orangtuaku sanggup temukanmu bidadariku. Selamat datang diistana cintaku dan akan aku bangunkan singgasana terindah untukku setelah akad nikah dariku terucap untukmu”
“Terima kasih Mas Zian” hanya itulah yang ia ucapkan padaku yang kemudian disambut senyum manis dari bibirnya.
***
“Saya terima nikahnya Aisyah Kholifatun Nisa dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan cincin emas dibayar tunai” hatiku lega setelah aku dengan lancar mengucapkan akad nikah untuk seseorang yang aku cintai. Dan kelegaanku itu bertambah setelah bapak penghulu menyatakan sah pernikahan kami, untuk pertama kalinya tanganku dan tangan Aisyah bersentuhan.
Barakallahu laka wabaraka alaika, wajama’a bainakuma fii khoir. Doa itu mengalir indah dalam mahligai pernikahan kami. Berkatilah ikatan dua hati ini ya Allah.