Kini aku bukan seorang mahasiswa lagi karena 4 bulan yang lalu aku telah di nyatakan lulus dengan IPK tertinggi di kampusku, aku bersyukur begitupula dengan keluargaku, kini aku bekerja di sebuah perusahaan ternama di kota Gresik.
Aku masih ingat saat aku selesai wisuda aku melihat sekilas bayangan Aisyah dibawah pohon cemara di halaman aula kampus, tapi aku yakin itu bukan bayangan Aisyah. Itu benar-benar Aisyah, saat senyumnya terlontar manis untukku. ku dekati dia yang mengenakan kebaya Merah hati. Ternyata dia juga salah satu wisudawati hari ini.
“Aisyah” Dia mengulumkan senyumnya padaku.
“Congratulations” hanya itu saja kata yang ia ucapkan, sebelum aku sempat berkata ataupun bertanya apa-apa dia berlalu pergi, seandainya dia tahu ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya. Aisyah tahukah kau bahwa sesungguhnya kau telah menyiksa hatiku, entah karena apa Aisyah tiba-tiba aku jatuh cinta pada dirimu.
Aku tertegun mengingat Aisyah, ah aku harus melupakan gadis itu, dia adalah masa laluku. Aku tak mungkin lagi bisa mendapatkannya karena hari ini orangtuaku akan mempertemukanku dengan seorang gadis yang dipilih orangtuaku untukku, aku belum pernah melihatnya memang, namun aku tidak ingin menyakiti hati kedua orangtuaku karena mereka bilang dia gadis yang baik, anak yatim piatu, dia sholehah. Akupun menurut apa kata mereka. Karena aku yakin di dunia ini tidak ada orang tua yang ingin anaknya hidup menderita.
Jam 4 sore aku pulang kerumah dan suasana rumah mendadak rame dengan celotehan2 dan tawa dari para keponakanku. Keluarga besarku berkumpul.
“Lha ini Is, calon suamimu udah datang” Kata kakak iparku pada seorang gadis yang tertunduk diruang tamu itu.
Mataku seakan gak percaya dengan gadis yang aku lihat itu, gadis berkerudung merah, gadis yang aku coba lupakan dari hidupku.
“Calon suami??”tanyaku
“Iya Zin, ayah kan sudah bilang kalo kamu akan dijodohkan dengan Aisyah. Kamu mau nggak jadi suaminya Aisyah?” tanya Ibu. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Sementara dalam hatiku berkecamuk rasa yang mungkin tak bisa lagi aku ungkapkan dalam baitan kata.
“Apakah kamu mencintai gadis lain nak?” tanya Ayahku padaku