“Aku ngomong beneran nih, kalo nggak percaya buktikan sendiri atau kamu bisa tanya-tanya sama cowok-cowok yang pernah jadi korban penolakan Ais”
Aisyah membuatku penasaran setelah Edy berkata bahwa banyak laki-laki yang menyatakan cinta pada gadis itu namun semuanya tertolak dengan alasan bahwa dia tidak diijinkan orangtuanya untuk pacaran.
Dari jauh aku mengamati Aisyah yang sedang menata konsumsi siang ini, karena dia adalah koordinator konsumsi untuk acara seminar yang organisasi kami selenggarakan hari ini. Tangan mungilnya dengan lincah menata kotak-kota makanan itu. Dengan begitu sangat teliti ia menata setiap kotak makan siang kami. Padahal ia sedang sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia tak mengeluh.
Baru aku tahu bahwa memang Aisyah hanya biasa terlibat dalam acara-acara besar yang diadakan oleh organisasi ini. Kalau diskusi mingguan ia takkan pernah terlihat karena kesibukannya bekerja untuk membayar biaya kuliahnya.
“Gadis yang mandiri” itulah kesan pertamaku padanya. Aku tak pernah bertatap muka secara langsung dengan Aisyah. Aku hanya mengamatinya dari jauh, gadis itu hari ini memakai kemeja hitam dengan hiasan bunga mawar merah dipadu dengan rok hitam panjang dan sekali lagi dia berkerudung merah polos dengan sedikit bordiran warna hitam dipinggir-pinggirnya.
Apakah warna kesukaannya adalah merah? Dua kali aku melihatnya dan dua kali pula ia mengenakan kerudung merah yang berbeda.
Mungkin terlalu lama aku mengamatinya, atau mungkin ia merasa ada yang mengamatinya? hingga tanpa sengaja ia menoleh kearahku, aku terpaku menatapnya walau dari kejauhan dan tanpa aku sangka ia lontarkan sebuah senyuman padaku.
Sebuah senyum yang memang baru pertama kali ini aku dapatkan dari gadis berkerudung merah itu, aku tersipu malu saat aku kembali menoleh padanya ia telah beranjak pergi entah kemana.
Oh Aisyah …. Ternyata senyummu ………..
***
Aku masih tak percaya bahwa Aisyah mengulumkan senyumnya padaku, baru kali ini aku mendapatkannya. Dan baru aku ketahui juga bahwa senyum gadis itu begitu indah, menenangkan jiwa.