Anindhita mencari kunci motor dan masker  kemudian melaju perlahan. Menelusuri jalanan yang sepi. Hari ini hari yang berat untuk Anindhita. Tapi ia tidak tahu kalau di luar sana ada orang yang harinya jauh lebih berat.
Anindhiya berjalan lemas entah harus ke mana kakinya ia ayunkan. Ia memegang perutnya yang terasa lapar, tiba-tiba matanya tertuju pada sosok seseorang tergeletak di ujung jalan.
"Astafirulloh, ". Anindhiya terhenyak. Spontan ia berlari mendekati orang itu.
"Toloooong...". teriak Anin.
Anin terpekik. Ia sangat mengenali wajah orang itu. Orang yang selama ini ia cari. Lidahnya terasa kelu. Ia tak sanggup membendung air matanya. Tak berani untuk menyentuh tubuh sahabatnya. Karena kontak fisik dapat membahayakan dirinya. Ia masih tak percaya melihat sahabatnya terkapar di pinggir jalan.
"Kak Dara... bangun, Kak..." isak Anin sambil duduk di sebelah tubuh Dara. Ia tetap menahan agar tak menyentuhnya.
Beberapa orang datang mendekati tubuh Dara yang tergeletak. Masing-masing dari mereka tak ada yang berani menyentuh, mengingat wabah pandemi yang begitu bisa menyerang siapa saja.
"Barangkali dia terserang corona" , kata salah seorang warga yang ikut berkerumun.
"Coba hubungi rumah sakit".
"Eneng saudaranya?"
"Bukan pak, saya temannya, saya akan telepon rumah sakit". Jawab Anin panik. Tangannya masih gemetar, mencoba mengetik tombol kontak rumah sakit.