"Ibu sudah dipanggil Allah nak, kira-kira 7 menit yang lalu" kata Ayah dengan suara rapuh.
Refleks. Detik pertama, aliran darahku membeku, pikiranku terhenti, dan jantungku seakan dipacu dengan cepat. Detik selanjutnya, aku berteriak dan menangis sekencang mungkin yang kubisa. Tangisan itu disusul oleh nenek dan kakak laki-lakiku. Aku tak menyangka hal itu terjadi begitu cepat. Aku ingat betul 7 jam sebelumnya diriku masih sempat curhat kepada beliau.
"Eh bu, seumpama nanti nilai ujianku ada satu yang jeblog gimana?" tanyaku memakai suaraku saat masih kecil dulu.
Kemudian Ibu menjawab, "Gini ya nak, Ambisi hidup memang perlu. Tapi ingat!. Kehidupan tidak selamanya berada di atas dan takdir Allah adalah yang terbaik untuk kita,"
"Benar juga ya bu, Mawar minta maaf kalau Mawar belum bisa persembahin yang terbaik untuk ibu," pinta maafku pada ibu.
Ibu memelukku sambil berbisik, "Tingkah baikmu adalah wujud kebahagiaan utama ibu." bisik beliau.
Pikiranku tertuju pada kejadian itu. Ternyata itu adalah pelukan terkhir yang diberikan ibu padaku. Ibuku benar-benar sudah tiada. Sebenarnya aku masih tidak mempercayai semua yang terjadi. Aku masih berharap semua itu hanya mimpi buruk. Tapi tidak !. Realitanya lebih buruk dari harapanku. Harap dan anganku runtuh seketika. Keputus-asaan hidup bersarang di atas tubuhku. Rasa ingin bangkit seakan hanya berupa bayangan hitam yang akan sirna diterpa cahaya.
***
Setelah prosesi pemakaman, banyak kerabat, teman, dan tetangga datang. Jati diriku belum kembali seperti semula. Aku menyalami para pelayat dengan tatapan dan perasaan kosong.
"Turut berduka cita ya mbak Mawar, pasti semua ada hikmahnya." kata seorang pelayat.
Aku tidak membalas ungkapan pelayat itu. Mungkin diriku masih sangat tertekan dengan keadaan yang terjadi. Bukan hanya diriku, ayahku bahkan turut pingsan sebelum jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Tak lama kemudian, sebuah elf bertuliskan 'SMPN 1 Karangbayu' terlintas di depan gerbang rumahku. Kemudian, semua orang yang ada didalamnya turun. Aku sudah mengenali semua wajahnya, karena memang itu adalah teman-teman VII A2. Difa pun turut menyambangi rumahku. Namun, dia tidak mengungkapkan sepatah kata penyemangat kepadaku. Saat bersalaman, aku sempat melihat tatapan kaget yang keluar dari pancaran bola matanya.