Sudah satu minggu ini kampungku berubah sepi. Semua orang kini mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Tak ada satupun orang yang keluar dari rumahnya, kecuali para bapak-bapak yang bergantian patroli keliling desa.
Aku sendiri juga seminggu ini menahan bosan karena tidak pergi ke warung kopi. Rasanya mulutku gatal ingin mengobrol soal pemeran utama di film bokep kesukaanku dengan Lek Paimo, si pemilik warung. Sebuah obrolan yang menjadi tiket bagiku untuk bisa dapat segelas kopi tanpa perlu bayar. Belum lagi jika aku menunjukkan videonya ke Lek Paimo, aku bisa menjarah apapun di warungnya.
Tapi belakangan, semua warga ketakutan. Termasuk Bapakku yang menjadi galak jika ada siapapun yang melangkah keluar rumah selain dia. Sebab, hanya Bapak yang boleh keluar untuk keperluan patroli atau mengambil persediaan beras dan sayur di balai desa.Â
Aku, ibu dan adek perempuanku seperti tawanan di rumah kami sendiri. Jika melanggar, maka Bapak tak akan segan menghajar. Sejujurnya, pernah suatu hari aku mengendap-endap keluar, dan setelah itu, Bapak memukul kakiku dengan sapu.
Aku sendiri heran dengan kekompakan seluruh kepala keluarga di kampung ini. Merekalah yang memutuskan gerakan mengunci diri di rumah. Mereka juga mengatur pembagian sembako dan sayur mayur hingga kebutuhan pokok lainnya. Dalam proses berdiam diri di rumah itu, para bapak-bapak memastikan bahwa tak ada yang kekurangan makanan. Dan tetap aman di dalam rumah.
Sikap itu tentunya bukan tanpa sebab. Semua itu bermula ketika Siti, janda kembang yang pergi merantau jadi pembantu di Batam pulang. Warga mendadak ketakutan saat melihat Siti yang penuh bintil-bintil kemerahan. Bintil-bintil yang memenuhi wajah, tangan dan kaki.Â
Menurut cerita yang beredar, Siti tertular penyakit dari orang asing yang berkunjung ke Batam. Warga pun pelan-pelan menjauh dari rumah Siti. Termasuk Ibuku yang bahkan membuang oleh-oleh dari Siti.Â
Sejujurnya, ibuku membakarnya. Katanya, itu mengandung virus. Aku sendiri hanya memandangi coklat yang leleh terbakar itu dengan hati yang hancur. Sayang sekali, coklat dari Singapura itu dimusnahkan begitu saja.
Menjadi janda muda memang bukan beban yang ringan. Semua bapak-bapak yang senang melihat Siti dengan kecantikannya, tak sejalan dengan kejijikan para ibu-ibu yang memandang Siti adalah penggoda lelaki orang . Kini ditambah, Siti pulang dengan berpenyakit aneh. Kulitnya penuh bintil, dan hidungnya terus berair. Dia juga sering terlihat mual.
Pernah satu hari, Siti datang ke bidan di kampung kami. Dan semua berawal dari sana. Ketika si bidan menyebut Siti terjangkit virus dari luar negeri.
Usaha Siti pun tak berhenti. Kudengar dari Lek Paimo, Siti juga bahkan berobat ke rumah sakit di kabupaten. Tapi semua memulangkan Siti dengan dalih Siti tidak apa-apa dan penyakitnya tidak bahaya. Lalu mereka memberikan obat alergi dan juga obat lambung. Siti pun kembali ke rumahnya.
Menjadi sebatang kara dan penyakitan, membuat Siti justru semakin dikucilkan. Semua orang menatap ngeri dan jijik pada binti-bintil di kulit Siti yang kian hari kian banyak dan bernanah.
Dan buruknya, ketika anak Pakde Jali tak sengaja ke rumah Siti. Tak lama kemudian, anak Pakde Jali demam tinggi dan dibarengi bintil bintil merah di kulit. Semua orang mulai panik dan menuduh Siti yang tidak-tidak.
Tak berhenti di situ, anak Bu Idah juga mengalami gejala yang sama. Semua anak-anak teman bermain anak Bu Idah juga. Para orang tua lalu berbondong-bondong membawa anaknya ke bidan.
Dan bidan menyebut itu hanyalah penyakit cacar. Tak puas dengan jawaban bidan, para ibu membawa anaknya ke Mbah Yarsi. Kepala desa yang juga berprofesi sebagai orang pintar, yang kemudian menyebut bahwa anak-anak tertular virus dari Siti.
Dan itulah mengapa semua warga kini mengunci diri. Sembunyi dari kengerian penyakit Siti yang disebut Mbah Yarsi sebagai sial bagi kampung ini.
Sebenarnya pilihan mengunci diri di rumah ini adalah pilihan terakhir. Pilihan pertama tetaplah mengusir Siti dari kampung.Â
Sayangnya, kampung sebelah sudah tahu kabar ini lebih dulu. Mereka lalu buru-buru menutup kampungnya dari kami. Alhasil, kampung kami terjebak dan tak punya akses kemana-mana, terjebak dengan Siti yang penyakitan, ditambah beberapa bocah yang mengalami hal yang serupa.
"Mau sampai kapan Pak, kita di rumah?" tanyaku pada Bapak di suatu malam.
"Sampai Siti mati."
"Lha kalau lebih dulu kita yang mati?"
"Husst! Jangan sembarang omong!"
Jelas aku tidak sembarang bicara. Nyatanya seminggu ini, sudah ada tiga warga yang meninggal. Dengan dalih menunggu Siti mati, justru mereka yang mati lebih dulu dan kudengar karena hipertensi. Mungkin takut berlebihan bisa bikin darah tinggi.
Dan di tengah semua kebingungan ini, aku memikirkan Siti. Entah bagaimana rasanya jadi dia. Seminggu ini, tak ada satupun orang menengok ke rumahnya. Aku juga tidak yakin apa dia punya bahan makanan. Kurasa arti kalimat 'sampai Siti mati' sama dengan membunuh Siti pelan-pelan lewat kelaparan.
Seminggu desa ini dalam isolasi, seminggu pula tak ada yang berdagang bahan makanan. Semua yang dibagikan ke warga (kecuali Siti tentunya) adalah hasil sawah dan kebun para warga. Entah apa yang dimakan Siti, tidak ada yang tahu. Mungkin, coklat singapura yang enggan diambil warga sebagai oleh-oleh itu.
"Daripada begini, mending bunuh aja Siti!" gumamku lirih.
Sementara itu, kulihat Bapak sedang menyeruput kopinya, tanpa rasa bersalah bahwa dia adalah salah satu dalang yang merencanakan kematian Siti.
"Anak-anak gimana kondisinya Pak?"
"Masih demam dan muncul bintil-bintil. Ngeri, mirip Siti."
"Kata bidan apa?"
"Embuh. Cacar apa gitu. Dibilang juga alergi apa gitu. Ga paham. Pokoknya kata Mbah Yarsi itu penyakit sial dari Siti."
"Lho kok percaya Mbah Yarsi ketimbang bidan? Bidan sekolah lho, mbah Yarsi baca aja nggak bisa."
"Hust! Jangan ngawur! Bisa dipisahin kepala dan kakimu tanpa perlu megang, kalau mbah Yarsi mau. Dia itu kan tetua kampung."
"Ya susah kalau semua tunduk sama Mbah Yarsi."
Aku meninggalkan ruang tamu dengan kecewa karena Bapak (dan mungkin warga yang lain) mendengarkan ucapan Mbah Yarsi lebih dari apapun.Â
Penyakit bintil-bintil di kampung ini, terasa konyol jika dipercayai sebagai sebuah kesialan atau virus yang menyebar. Tapi aku bisa bilang apa, jika statusku sekarang hanya bocah lulusan SMA 2 tahun lalu yang masih nganggur dan mencari kopi gratisan dengan membicarakan cewek-cewek pemain video porno.
***
Bapak sudah tidur dan dari caranya mengorok, kurasa dia sudah sangat nyenyak. Ini adalah saat tepat bagiku mengendap-endap keluar. Kulihat ibu juga sudah tidur bersama bapak di kamar.
Sementara itu adik perempuanku, memergokiku memasukkan beras, cabe dan sayur ke baskom. Kuberi sinyal padanya untuk menutup mulut dan dia menangguk. Tentu saja anggukannya itu tidak gratis.  Bocah SMP itu besok akan menagihku uang  5 ribu rupiah.
Sebelum keluar rumah, aku celingak-celinguk memastikan tak ada warga yang tengah keluar. Dengan pelan-pelan, aku melangkah keluar rumah, berjalan menuju rumah Siti yang berjarak 7 rumah dari sini.
***
Rumah Siti gelap. Entah karena dia malu dengan keadaannya, atau karena dia kehabisan uang untuk membayar listrik. Akupun meletakkan baskom yang kubungkus kresek hitam itu, di atas sebuah bangku panjang di teras.
Tapi tiba-tiba, aku mendengar sesuatu yang aneh. Seperti ada suara erangan laki laki, dan diikuti desahan perempuan. Suara yang tidak asing kudengar. Suara yang biasa muncul di film porno yang kutonton. Tapi, bukankah Siti tinggal sendiri?
Aku penasaran. Kudekatkan telingaku di pintu, dan suara itu kini berganti tangisan seorang perempuan, yang jelas saja itu tangisan Siti. Jelas sekali kudengar itu.
Tanganku reflek memegang gagang pintu. Tapi beberapa saat aku menjadi ragu. Jika aku terlibat ini, jelas besok aku akan dikunci bersama Siti dan dikucilkan sampai mati. Tapi jika kubiarkan ini, maka aku juga tetap membiarkan Siti mati dikucilkan. Kedua pilihan itu akan membunuh Siti, tapi aku punya pilihan untuk hidup.
Brak!!!
Suara benda patah dari dalam membuatku langsung membuka pintu yang tak dikunci itu. Aku langsung merangsek ke dalam dan mencari keberadaan Siti.
Dan di dalam remang itu, yang hanya bersumber cahaya bulan yang masuk lewat dua buah genteng kaca, aku melihat Siti tertutup kain sarung, dan Mbah Yarsi ada di atasnya.
Mulutku terkunci. Kakiku beku. Badanku mengumpulkan emosi karena pemandangan di depan mataku ini terlalu biadab.
"Jangan bilang ini cara Mbah Yarsi memenangkan Siti dari semua bapak-bapak di kampung ini."
Mbah Yarsi buru-buru beranjak dari kasur dan memakai kembali celananya. Sungguh aku merasa sangat jijik dengan apa yang baru saja kulihat meski dalam remang.
"Jangan sembarangan kamu!"
Aku menoleh ke Siti. Kulihat wajahnya begitu lemas dan tubuhnya tergolek lemah. Meski penuh bintil-bintil, wajahnya masih cantik dan elok seperti saat kulihat dia menikah di musala kampung dua tahun lalu, dan sehari setelahnya menjanda karena suaminya meninggal kecelakaan.
"Mbak Siti. Jangan kawatir. Ayok kita buktikan kebejatan Mbah Yarsi ini!"
Air mata Siti luruh di pipi, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk merespon apapun ucapanku.
"Jangan ngawur kamu!" seru Mbah Yarsi yang kini mencengkeram lenganku.
Dukun yang dipercaya tetua itu membuatku jijik melihatnya begitu dekat berdiri di depanku. Sungguh kejam ia menuduh Siti berpenyakit sial, sementara ia hanya ingin tidur dengan Siti diam-diam.
"Semua warga kampung juga melakukan ini. Hari ini giliranku!"
Omongan Mbah Yarsi itu seperti petir di malam dengan rembulan yang cerah. Semua warga? Itu artinya, Bapakku juga?
"Kalau kamu mau, akan kuselipkan giliran untukmu."
Mbah Yarsi menepuk pundakku, lalu pergi meninggalkan rumah Siti. Sementara aku masih mematung, menyadari betapa semua lelaki di kampung bergantian menyetubuhi Siti. Dan tatapanku kini menumbuk pada Siti yang sedang tergolek lemah di kasur, dengan tubuhnya yang tertutup sarung.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI