Menjadi sebatang kara dan penyakitan, membuat Siti justru semakin dikucilkan. Semua orang menatap ngeri dan jijik pada binti-bintil di kulit Siti yang kian hari kian banyak dan bernanah.
Dan buruknya, ketika anak Pakde Jali tak sengaja ke rumah Siti. Tak lama kemudian, anak Pakde Jali demam tinggi dan dibarengi bintil bintil merah di kulit. Semua orang mulai panik dan menuduh Siti yang tidak-tidak.
Tak berhenti di situ, anak Bu Idah juga mengalami gejala yang sama. Semua anak-anak teman bermain anak Bu Idah juga. Para orang tua lalu berbondong-bondong membawa anaknya ke bidan.
Dan bidan menyebut itu hanyalah penyakit cacar. Tak puas dengan jawaban bidan, para ibu membawa anaknya ke Mbah Yarsi. Kepala desa yang juga berprofesi sebagai orang pintar, yang kemudian menyebut bahwa anak-anak tertular virus dari Siti.
Dan itulah mengapa semua warga kini mengunci diri. Sembunyi dari kengerian penyakit Siti yang disebut Mbah Yarsi sebagai sial bagi kampung ini.
Sebenarnya pilihan mengunci diri di rumah ini adalah pilihan terakhir. Pilihan pertama tetaplah mengusir Siti dari kampung.Â
Sayangnya, kampung sebelah sudah tahu kabar ini lebih dulu. Mereka lalu buru-buru menutup kampungnya dari kami. Alhasil, kampung kami terjebak dan tak punya akses kemana-mana, terjebak dengan Siti yang penyakitan, ditambah beberapa bocah yang mengalami hal yang serupa.
"Mau sampai kapan Pak, kita di rumah?" tanyaku pada Bapak di suatu malam.
"Sampai Siti mati."
"Lha kalau lebih dulu kita yang mati?"
"Husst! Jangan sembarang omong!"