"Ya susah kalau semua tunduk sama Mbah Yarsi."
Aku meninggalkan ruang tamu dengan kecewa karena Bapak (dan mungkin warga yang lain) mendengarkan ucapan Mbah Yarsi lebih dari apapun.Â
Penyakit bintil-bintil di kampung ini, terasa konyol jika dipercayai sebagai sebuah kesialan atau virus yang menyebar. Tapi aku bisa bilang apa, jika statusku sekarang hanya bocah lulusan SMA 2 tahun lalu yang masih nganggur dan mencari kopi gratisan dengan membicarakan cewek-cewek pemain video porno.
***
Bapak sudah tidur dan dari caranya mengorok, kurasa dia sudah sangat nyenyak. Ini adalah saat tepat bagiku mengendap-endap keluar. Kulihat ibu juga sudah tidur bersama bapak di kamar.
Sementara itu adik perempuanku, memergokiku memasukkan beras, cabe dan sayur ke baskom. Kuberi sinyal padanya untuk menutup mulut dan dia menangguk. Tentu saja anggukannya itu tidak gratis.  Bocah SMP itu besok akan menagihku uang  5 ribu rupiah.
Sebelum keluar rumah, aku celingak-celinguk memastikan tak ada warga yang tengah keluar. Dengan pelan-pelan, aku melangkah keluar rumah, berjalan menuju rumah Siti yang berjarak 7 rumah dari sini.
***
Rumah Siti gelap. Entah karena dia malu dengan keadaannya, atau karena dia kehabisan uang untuk membayar listrik. Akupun meletakkan baskom yang kubungkus kresek hitam itu, di atas sebuah bangku panjang di teras.
Tapi tiba-tiba, aku mendengar sesuatu yang aneh. Seperti ada suara erangan laki laki, dan diikuti desahan perempuan. Suara yang tidak asing kudengar. Suara yang biasa muncul di film porno yang kutonton. Tapi, bukankah Siti tinggal sendiri?
Aku penasaran. Kudekatkan telingaku di pintu, dan suara itu kini berganti tangisan seorang perempuan, yang jelas saja itu tangisan Siti. Jelas sekali kudengar itu.