Jelas aku tidak sembarang bicara. Nyatanya seminggu ini, sudah ada tiga warga yang meninggal. Dengan dalih menunggu Siti mati, justru mereka yang mati lebih dulu dan kudengar karena hipertensi. Mungkin takut berlebihan bisa bikin darah tinggi.
Dan di tengah semua kebingungan ini, aku memikirkan Siti. Entah bagaimana rasanya jadi dia. Seminggu ini, tak ada satupun orang menengok ke rumahnya. Aku juga tidak yakin apa dia punya bahan makanan. Kurasa arti kalimat 'sampai Siti mati' sama dengan membunuh Siti pelan-pelan lewat kelaparan.
Seminggu desa ini dalam isolasi, seminggu pula tak ada yang berdagang bahan makanan. Semua yang dibagikan ke warga (kecuali Siti tentunya) adalah hasil sawah dan kebun para warga. Entah apa yang dimakan Siti, tidak ada yang tahu. Mungkin, coklat singapura yang enggan diambil warga sebagai oleh-oleh itu.
"Daripada begini, mending bunuh aja Siti!" gumamku lirih.
Sementara itu, kulihat Bapak sedang menyeruput kopinya, tanpa rasa bersalah bahwa dia adalah salah satu dalang yang merencanakan kematian Siti.
"Anak-anak gimana kondisinya Pak?"
"Masih demam dan muncul bintil-bintil. Ngeri, mirip Siti."
"Kata bidan apa?"
"Embuh. Cacar apa gitu. Dibilang juga alergi apa gitu. Ga paham. Pokoknya kata Mbah Yarsi itu penyakit sial dari Siti."
"Lho kok percaya Mbah Yarsi ketimbang bidan? Bidan sekolah lho, mbah Yarsi baca aja nggak bisa."
"Hust! Jangan ngawur! Bisa dipisahin kepala dan kakimu tanpa perlu megang, kalau mbah Yarsi mau. Dia itu kan tetua kampung."