Tanganku reflek memegang gagang pintu. Tapi beberapa saat aku menjadi ragu. Jika aku terlibat ini, jelas besok aku akan dikunci bersama Siti dan dikucilkan sampai mati. Tapi jika kubiarkan ini, maka aku juga tetap membiarkan Siti mati dikucilkan. Kedua pilihan itu akan membunuh Siti, tapi aku punya pilihan untuk hidup.
Brak!!!
Suara benda patah dari dalam membuatku langsung membuka pintu yang tak dikunci itu. Aku langsung merangsek ke dalam dan mencari keberadaan Siti.
Dan di dalam remang itu, yang hanya bersumber cahaya bulan yang masuk lewat dua buah genteng kaca, aku melihat Siti tertutup kain sarung, dan Mbah Yarsi ada di atasnya.
Mulutku terkunci. Kakiku beku. Badanku mengumpulkan emosi karena pemandangan di depan mataku ini terlalu biadab.
"Jangan bilang ini cara Mbah Yarsi memenangkan Siti dari semua bapak-bapak di kampung ini."
Mbah Yarsi buru-buru beranjak dari kasur dan memakai kembali celananya. Sungguh aku merasa sangat jijik dengan apa yang baru saja kulihat meski dalam remang.
"Jangan sembarangan kamu!"
Aku menoleh ke Siti. Kulihat wajahnya begitu lemas dan tubuhnya tergolek lemah. Meski penuh bintil-bintil, wajahnya masih cantik dan elok seperti saat kulihat dia menikah di musala kampung dua tahun lalu, dan sehari setelahnya menjanda karena suaminya meninggal kecelakaan.
"Mbak Siti. Jangan kawatir. Ayok kita buktikan kebejatan Mbah Yarsi ini!"
Air mata Siti luruh di pipi, tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk merespon apapun ucapanku.