Ujang semakin mempererat dekapannya pada ransel hitam. Samin kini mulai penasaran apa isinya.
"Bang, jika memang itu isinya uang, pakailah itu untuk kabur ke Surabaya. Akan kucarikan kawanku di sana. Kau bisa beli rumah dan hidup tenang. Berhentilah menipu orang. Lihatlah, kau diperbudak oleh uang."
Samin terpaksa mengucapkan itu. Ia sudah yakin bahwa uang dalam ransel itu membuat Ujang mulai gila. Ia seolah menjadi pemuja uang itu.
"Aku tak punya uang Min," kata Ujang.
"Lalu yang ada dalam ransel itu? Bukankah uang?"
Ujang lalu menyodorkan ransel hitam itu. Ransel yang sudah semalaman ia dekap.
Samin mengambil alih ransel itu dan kini memeganginya. Isinya tak terasa berat. Mungkin hanya seperti berat daging dua kiloan yang biasa ia timbang.
Samin membuka ranselnya perlahan. Dengan tangan sedikit gemetar. Baru satu sentimeter terbuka, bau menyengat langsung ke luar dari dalamnya. Samin pun menghentikan tangannya membuka releting itu.
"Kenapa Min?"
Samin menelan ludah. Dia kaget dengan bau yang baru saja menerobos hidungnya. Bau yang tidak asing baginya. Bau yang sama persis dia cium saat menghadiri pemakaman Koh Acong. Yang jenazahnya sengaja diawetkan demi upacara pemakaman menurut tradisi leluhurnya.
Samin mengumpulkan keberaniannya lalu melanjutkan membuka resleting ransel hitam itu. Saat selesai membuka, Samin melongok  dalam ransel.