"Rumahmu Min. Aku memang membelinya, tapi nama di suratnya adalah namamu. Itu milikmu."
Samin merasa tak enak hati dengan kenyataan itu. Ujang memang membagi hartanya dalam banyak aset bangunan dan tanah. Yang kesemuanya dialihkan ke nama Samin, istri dan anak anak Samin.
Sudah dua hari ini, orang-orang bak intel mengawasi rumah Samin. Hanya selang lima jam dari kedatangan Ujang ke rumah itu. Hal itu membuat Samin merasa kawatir. Apalagi seisi kampung mulai bergosip. Hingga orang-orang di pasar, Â tempat Samin berjualan daging sapi.
"Ini Boyolali Bang, kenapa mereka mencari sampai sini? Kan terakhir Bang Ujang nipu di Bandung. "
Ujang tak merespon pertanyaan Samin. Dia malah melirik ransel hitamnya. Yang tergolek lemah di ranjang. Yang sudah semalaman tadi ia dekap.
"Kau tenang saja Min, aku akan pindah tempat tinggal," kata Ujang sambil mengalihkan pandangannya ke Samin.
"Mau ke mana kamu Bang? Aku rasa yang kali ini tidak main main. Mereka berusaha masuk ke dalam. Kau pasti dengar teriakan mereka. Beruntung pak RT mrmbantuku dan mengusir mereka," Samin terus menerocos.
Semua kata-kata itu seolah bergema di gendang telinga Ujang. Ia pun tetap menatap tas ransel hitam yang tergeletak di ranjang. Seolah menagih untuk kembali ia peluk semalaman.
"Kau kembalikan saja Bang uang itu. Atau kita jual saja lah rumah-rumahmu, kita kembalikan uang bank!" lanjut Samin.
Ujang mendengus. Lalu terkikik. Matanya menatap kembali ransel hitam di ranjang. Yang ia dekap semalaman.
"Tidak cukup itu Min. Tidak akan pernah cukup untuk membayar," katanya dengan nada geli. Seolah itu adalah lelucon.