Ujang tidur mendekap ransel hitam. Matanya terpejam, tapi pikirannya mengawang. Jauh. Amat jauh ke hari itu. Hari saat Ujang melangkah keluar dari bank dan membawa uang tunai satu miliar.
Dok dok dok! Suara ketokan pintu membuyarkan pejaman mata Ujang. Meski enggan turun dari ranjang, Ujang mamaksa badannya untuk beranjak bangun. Melepaskan sejenak ransel hitam yang sudah semalaman ia dekap.
"Bang ujang! Bang Ujang!" Suara di balik pintu.
Meski tanpa melihat, Ujang tahu pasti siapa orang itu. Suara serak dengan nada medok kental itu adalah milik Samin, adik iparnya.
Sesaat setelah Ujang membuka pintu kamar, Samin merangsek ke dalam. Ia segera menutup pintu itu dan menguncinya. Sangat cepat. Bak orang kesetanan.
"Ada yang nyari Bang Ujang. Badannya gede Bang! Mereka bilang mau bunuh Bang Ujang," ujar Samin dengan nada ketakutan.
Ujang hanya tersenyum. Ia seperti sudah tahu bahwa tempat persembuyiannya ini sudah tidak aman. Meskipun Ujang punya seribu identitas palsu, toh pada akhirnya akan ketahuan juga yang paling asli.
"Kau sudah bilang seperti yang kukatakan?"
Samin mengangguk cepat. Semua jenis dan derivat kebohongan sudah ia lontarkan. Meskipun sudah dua hari ini Ujang berada satu atap dengannya, Samin terus membual pada semua orang yang menanyakan Ujang.
"Istri dan  anakmu di mana?"
"Aku mengirim mereka ke rumah Abang di Semarang. Anak-anak juga sedang liburan," jelas Samin.
"Rumahmu Min. Aku memang membelinya, tapi nama di suratnya adalah namamu. Itu milikmu."
Samin merasa tak enak hati dengan kenyataan itu. Ujang memang membagi hartanya dalam banyak aset bangunan dan tanah. Yang kesemuanya dialihkan ke nama Samin, istri dan anak anak Samin.
Sudah dua hari ini, orang-orang bak intel mengawasi rumah Samin. Hanya selang lima jam dari kedatangan Ujang ke rumah itu. Hal itu membuat Samin merasa kawatir. Apalagi seisi kampung mulai bergosip. Hingga orang-orang di pasar, Â tempat Samin berjualan daging sapi.
"Ini Boyolali Bang, kenapa mereka mencari sampai sini? Kan terakhir Bang Ujang nipu di Bandung. "
Ujang tak merespon pertanyaan Samin. Dia malah melirik ransel hitamnya. Yang tergolek lemah di ranjang. Yang sudah semalaman tadi ia dekap.
"Kau tenang saja Min, aku akan pindah tempat tinggal," kata Ujang sambil mengalihkan pandangannya ke Samin.
"Mau ke mana kamu Bang? Aku rasa yang kali ini tidak main main. Mereka berusaha masuk ke dalam. Kau pasti dengar teriakan mereka. Beruntung pak RT mrmbantuku dan mengusir mereka," Samin terus menerocos.
Semua kata-kata itu seolah bergema di gendang telinga Ujang. Ia pun tetap menatap tas ransel hitam yang tergeletak di ranjang. Seolah menagih untuk kembali ia peluk semalaman.
"Kau kembalikan saja Bang uang itu. Atau kita jual saja lah rumah-rumahmu, kita kembalikan uang bank!" lanjut Samin.
Ujang mendengus. Lalu terkikik. Matanya menatap kembali ransel hitam di ranjang. Yang ia dekap semalaman.
"Tidak cukup itu Min. Tidak akan pernah cukup untuk membayar," katanya dengan nada geli. Seolah itu adalah lelucon.
Samin menggaruk rambutnya. Entah karena bingung atau memang gatal karena sudah tiga hari dia tak keramas.
"Jadi bagaimana Bang? Atau mungkin... Abang bisa dipenjara? " kata Samin hati hati.
Ujang terbahak. Membuat Samin kaget dan jantungnya berdegup tak karuan.
"Halah! Hidup di penjara terlalu enak sekarang Min. Hukuman seperti itu tak pantas buat penjahat kecil sepertiku," jelasnya.
Samin tidak paham dengan apa yang diucapkan Ujang. Dia pun semakin yakin bahwa Ujang sudah hilang kewarasan.
"Hidup dalam pelarian, sendirian dan kesepian. Aku telah menjalani hukuman penjaraku Min."
Mendengar ucapan itu, Samin kembali menggaruk kepalanya. Kali ini bisa dipastikan kalau rambut kriwulnya sudah jadi sarang ketombe karena tak rajin keramas.
"Tak paham aku dengan maksut Bang Ujang. Sebetulnya aku juga takut terlibat ini. Meski aku orang kampung, tapi kata anak pak RT yang kuliah di Jogja, membantu buronan bisa dihukum juga bang. Kau tau kan, omongan anak kuliah itu bener Bang. Mereka orang pinter. Ayolah Bang, aku tak mau dipenjara. Aku harus jualan daging di pasar, menghidupi istri dan anak anakku" ujar Samin panjang lebar. Ia sebetulnya hanya ingin bilang 'Pergi lah kau dari sini bang Ujang!'
Tiba tiba Ujang terkikik. Dan masih tetap memandang ransel hitam yang sudah semalaman ia dekap.
"Aku ini bukan buronan Min. Aku tak dilaporkan ke polisi. Bank hanya menyewa orang berbadan gempal untuk mencariku. Kalau tak menemukanku, mereka akan melupakan kasusku. Tenanglah Min, yang kuambil dari bank hanya recehan bagi bank itu," imbuh Ujang.
"Jadi mereka tidak meminta uang itu kembali? "
Ujang mengangguk. Dia sudah lihai bermain ini. Sudah puluhan kali dia menipu. Hampir semuanya mulus.
Ya, Ujang punya segudang jurus dalam mengajukan pinjaman palsu ke bank. Nominalnya juga beragam. Menurut Ujang, hal itu bergantung seberapa lalai pihak bank yang dia temui. Semakin tampak lalai dan tak hati hati, Ujang berani mengajukan pinjaman besar. Setelah dua atau tiga kali angsuran, biasanya dia akan mangkir lalu kabur. Ujang pun sudah punya puluhan dokumen palsu, yang nyatanya tak pernah benar-benar diperhatikan oleh pihak yang lalai itu.
Samin tetap tak bisa tenang. Bagaimana mungkin urusan penipuan uang itu bisa semudah itu? Bukankah Ujang seharusnya memang layak diburu dan dijebloskan ke penjara? Pikiran Samin mengawang liar. Tapi hanya sebatas itu yang ia bisa capai. Batas bagi seorang yang hanya sekolah hingga SD.
"Bang, kau pulangkan saja semua yang kau ambil. Ini semua tidak baik Bang."
"Takut kau Min? Kan aku yang menanggungnya. Kau tinggal hidup nyaman dengan keluargamau di rumah ini. Kalau tetanggga semakin berisik, pindahlah selamanya di Semarang."
"Tidak Bang. Aku mencintai kampung ini. Juga pekerjaanku di sini. Aku akan mulai mencicil untuk membeli rumah yang kecil. Tak apa," ungkap Samin. Setelah bertahun-tahun, akhirnya Samin bisa memperjuangkan harga dirinya. Bisa menyampaikan uneg uneg itu pada Ujang.
"Aku juga suka pekerjaanku Min. Rasanya lega mengingatkan orang untuk hati-hati."
"Apa maksutnya Bang?'
"Kau tahu? Setelah aku menipu, petugas yang mengurus pinjamanku akan ditegur. Bisa jadi dipecat. Tapi itu juga jadi pengingat baginya, agar bekerja lebih hati-hati. Kenapa dia gampang percaya pada semua bualanku? Pada dokumen palsu yang dia tidak cek dulu? Kau tahu kenapa Min? Semua orang sedang malas mencari kebenaran. Mereka terlalu cepat percaya. Setelah aku menipu mereka, seisi bank itu akan berbenah dan belajar dari kasusku," jelas Ujang.
Dan begitulah Ujang. Masih merasa bahwa pekerjaannya bukan sebuah kejahatan.
"Tapi Bang.."
"Apa? Kau mau bilang aku dosa?" potong Ujang.
Samin tak enak hati bilang iya. Meskipun dia bukan orang yang taat, Samin masih ingat untuk solat. Dan puasa yang kadang-kadang masih diselingin merokok jika tak ada yang melihat.
"Aku memakai uang itu untuk membeli cinta. Membeli perempuan. Tapi semua orang pembohong Min. Aku pun juga pembohong."
Samin kembali ingat dengan Rasmi, perempuan yang pernah Ujang kenalkan sebagai istrinya. Satu tahun lalu saat Samin dan keluarga berkunjung ke Depok. Tempat tinggal Ujang sebelum ia pindah ke Bandung. Rasmi adalah perempuan ke sekian yang menikah siri dengan Uang. Setelah Yuli, istri sahnya meninggal bersama bayi yang dikandungnya dalam sebuah kecelakaan bis, Ujang rajin menikah siri. Mungkin sudah lima kali.
"Ada apa dengan mbak Rasmi?" tanya Samin dengan hati hati.
Ia takut membahas soal perempuan perempuan dalam hidup Ujang.
"Tidak ada apa apa. Dia sudah bahagia."
"Dan kenapa Abang ke sini sendirian?"
Ujang tersenyum tipis. Sambil terus membelai ransel hitam di sebelahnya.
"Aku tidak sendirian."
Samin sebetulnya tahu bahwa Ujang datang sendirian. Dia datang jam dua pagi, Membawa ransel hitam yang sekarang sedang dia pangku. Ransel yang ia dekap semalaman. Ransel hitam yang sedari tadi ia tatap bak kekasih hatinya.
Ujang semakin mempererat dekapannya pada ransel hitam. Samin kini mulai penasaran apa isinya.
"Bang, jika memang itu isinya uang, pakailah itu untuk kabur ke Surabaya. Akan kucarikan kawanku di sana. Kau bisa beli rumah dan hidup tenang. Berhentilah menipu orang. Lihatlah, kau diperbudak oleh uang."
Samin terpaksa mengucapkan itu. Ia sudah yakin bahwa uang dalam ransel itu membuat Ujang mulai gila. Ia seolah menjadi pemuja uang itu.
"Aku tak punya uang Min," kata Ujang.
"Lalu yang ada dalam ransel itu? Bukankah uang?"
Ujang lalu menyodorkan ransel hitam itu. Ransel yang sudah semalaman ia dekap.
Samin mengambil alih ransel itu dan kini memeganginya. Isinya tak terasa berat. Mungkin hanya seperti berat daging dua kiloan yang biasa ia timbang.
Samin membuka ranselnya perlahan. Dengan tangan sedikit gemetar. Baru satu sentimeter terbuka, bau menyengat langsung ke luar dari dalamnya. Samin pun menghentikan tangannya membuka releting itu.
"Kenapa Min?"
Samin menelan ludah. Dia kaget dengan bau yang baru saja menerobos hidungnya. Bau yang tidak asing baginya. Bau yang sama persis dia cium saat menghadiri pemakaman Koh Acong. Yang jenazahnya sengaja diawetkan demi upacara pemakaman menurut tradisi leluhurnya.
Samin mengumpulkan keberaniannya lalu melanjutkan membuka resleting ransel hitam itu. Saat selesai membuka, Samin melongok  dalam ransel.
Samin kembali menatap Ujang. Ia melihat tatapan Ujang yang nanar. Kesepian itu tampak jelas di mata Ujang. Dan satu satunya keinginan Ujang dalam ransel itu adalah hal paling mengerikan yang pernah Samin lihat.
"Rasmi pergi min. Aku sudah memberikannya uang lebih dari tiga miliar. Kukira dia bisa mencintaiku karena aku sudah membayar pekerja karaoke itu dengan harga yang lebih dari cukup," Ujang menghentikan ucapannya. Ia kembali mengingat lesung pipi Rasmi. Rambut hitamnya yang tergerai dan selalu direbonding. Juga alis sulaman dari salon pinggiran di wajahnya.
Rasmi yang berkulit putih mulus karena pemutih yang dijual online dan tanpa standar kesehatan yang jelas. Rasmi yang sudah mengajarinya menipu Bank. Rasmi, istri siri kelimanya yang sudah tiga tahun mendampinginya menipu. "Tapi dia justru membuang apa yang aku titipkan padanya, yang cuma dia yang bisa menjaga itu di tubuhnya. Dia mengeluarkan itu sebelum waktunya..."
Samin kini merasa iba dengan Ujang. Semua kejahatan yang ia kerjakan, hanya untuk mendapat satu hal. Sesuatu yang saat ini dipegang Samin. Gumpalan daging tak bernyawa yang sering Samin pegang di pasar. Sama beratnya dengan daging sapi dua kilo yang biasa ia timbang. Hanya saja, yang dipegangnya sekarang berbentuk bayi manusia. Lengkap dengan semua alat gerak dan panca indera. Namun tak satupun berfungsi. Karena bayi itu sudah mati.
"Anakku, Â Min..." desis Ujang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H