Ujang mengangguk. Dia sudah lihai bermain ini. Sudah puluhan kali dia menipu. Hampir semuanya mulus.
Ya, Ujang punya segudang jurus dalam mengajukan pinjaman palsu ke bank. Nominalnya juga beragam. Menurut Ujang, hal itu bergantung seberapa lalai pihak bank yang dia temui. Semakin tampak lalai dan tak hati hati, Ujang berani mengajukan pinjaman besar. Setelah dua atau tiga kali angsuran, biasanya dia akan mangkir lalu kabur. Ujang pun sudah punya puluhan dokumen palsu, yang nyatanya tak pernah benar-benar diperhatikan oleh pihak yang lalai itu.
Samin tetap tak bisa tenang. Bagaimana mungkin urusan penipuan uang itu bisa semudah itu? Bukankah Ujang seharusnya memang layak diburu dan dijebloskan ke penjara? Pikiran Samin mengawang liar. Tapi hanya sebatas itu yang ia bisa capai. Batas bagi seorang yang hanya sekolah hingga SD.
"Bang, kau pulangkan saja semua yang kau ambil. Ini semua tidak baik Bang."
"Takut kau Min? Kan aku yang menanggungnya. Kau tinggal hidup nyaman dengan keluargamau di rumah ini. Kalau tetanggga semakin berisik, pindahlah selamanya di Semarang."
"Tidak Bang. Aku mencintai kampung ini. Juga pekerjaanku di sini. Aku akan mulai mencicil untuk membeli rumah yang kecil. Tak apa," ungkap Samin. Setelah bertahun-tahun, akhirnya Samin bisa memperjuangkan harga dirinya. Bisa menyampaikan uneg uneg itu pada Ujang.
"Aku juga suka pekerjaanku Min. Rasanya lega mengingatkan orang untuk hati-hati."
"Apa maksutnya Bang?'
"Kau tahu? Setelah aku menipu, petugas yang mengurus pinjamanku akan ditegur. Bisa jadi dipecat. Tapi itu juga jadi pengingat baginya, agar bekerja lebih hati-hati. Kenapa dia gampang percaya pada semua bualanku? Pada dokumen palsu yang dia tidak cek dulu? Kau tahu kenapa Min? Semua orang sedang malas mencari kebenaran. Mereka terlalu cepat percaya. Setelah aku menipu mereka, seisi bank itu akan berbenah dan belajar dari kasusku," jelas Ujang.
Dan begitulah Ujang. Masih merasa bahwa pekerjaannya bukan sebuah kejahatan.
"Tapi Bang.."