Kasus kekerasan rumah tangga yang sering kita dengar di luar negeri, kita dengar juga di dalam negeri. Bahkan kadang kurang mendapat respon yang serius karena tidak adanya kekuatan hukum yang memberikan perlingungan terhadap hak-hak para PRT.
Kasus kekerasan pada PRT yang muncul ke permukaan beberapa waktu terakhir hanya merupakan fenomena gunung es, oleh sebab itu, perlindungan dan jaminan yang pasti sangat diperlukan.
Pada periode 2015, International Labour Organzation (ILO) mencatat bahwa PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Sedangkan data Jala PRT, pada 2010 ada kurang lebih 10 juta PRT di Indonesia.
Saat ini angka itu sudah terlampaui, tapi tidak satu payung hukum yang memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi para PRT. Hanya ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2013 yang tidak bisa menjadi jaminan untuk memberikan perlindungan kepada para PRT.
Data dari ILO tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah PRT di Indonesia merupakan terbanyak kedua di dunia setelah Tiongkok.
Payung hukum yang pasti dibutuhkan mengingat presentase PRT didominasi perempuan dan juga anak yang rentan ekploitasi.
Maka dari itu, RRU PPRT secepatnya segera menjadi Undang-Undang (UU) sehingga bisa menjadi landasan dalam mengatur dan mengelola permasalahan bidang ketenagakerjaan, terutama melindungi para pekerja rumah tangga domestik.
Di dalam negeri sendiri, PRT merupakan penopang perekonomian negara baik makro maupun mikro.
PRT adalah manusia biasa sebagaimana siapapun yang butuh perlindungan dan kepastian terhadap hak-haknya.
Nantinya UU itu akan memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak yang mendasar bagi PRT seperti kepastian upah, perlindungan sosial, perlindungan atas keamanan dan kenyamanan dalam bekerja dari sisi kesehatan dan keselamatan, hingga perlindungan mendapatkan hak cuti.
Semua elemen bangsa harus bergerak bersama untuk mendukung percepatan RUU PPRT menjadi UU agar perlindungan terhadap pekerja rumah tangga segera terwujud sehingga prinsip-prinsip hak asasi manusia benar-benar ditegakkan.