Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang Terhimpit di Antara Kultur dan Ketidakpastian Hukum

2 Februari 2023   13:36 Diperbarui: 3 Februari 2023   03:00 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa pertanyaan bagi mereka yang mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga, berapa upah yang kalian berikan kepada mereka? Sudahkah Anda memberikan kepada mereka hak-hak mereka sebagai pekerja?

Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya mau memantik persoalan yang selama ini terkubur dan tidak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan di senayan dan pemerintahan, yaitu soal pekerja rumah tangga (PRT) domestik.

Kita selalu berteriak soal ketidakadilan yang dialami para PRT kita di luar negeri. Tetapi permasalahan di dalam negeri tidak pernah diselesaikan.

Pekerja Rumah Tangga (PRT) bagi sebagian orang barangkali merupakan sebuah pekerjaan rendahan. Lazimnya orang menyebut pekerja rumah tangga sebagai pembantu rumah tangga. Bahkan ada satu istilah yang diwariskan dari zaman Belanda yang kini sangat berkonotasi negatif yaitu babu (Belanda: baboe). 

Istilah ini artinya hampir sama dengan budak. Babu atau budak dianggap barang milik tuan atau majikannya. Mereka kehilangan hak-hak mereka karena dianggap sebagai barang milik majikannya.

Pekerja rumah tangga sebenarnya adalah orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya.

Dari pengalaman selama ini, pola kerja PRT domestik dengan majikan di Indonesia cenderung bersifat kultural dan kekeluargaan  dan tidak memiliki landasan hukum yang konkret.  

Banyak majikan yang sudah menganggaap pekerja rumah tangga mereka sebagai pembantu yang bisa disuruh melakukan ini dan itu tanpa mempedulikan hak-hak mereka. Sayangnya hal itu sudah dianggap sebagai sebuah budaya yang diterima begitu saja. Sudah ada berbagai kritik yang berhubungan dengan PRT domestik ini, namun semua berlalu tanpa ada tanggapan yang serius.

Pola yang lain adalah pola kekeluargaan. Ada pekerja rumah tangga yang dianggap keluarga oleh majikan. Kelihatan sangat manusiawi tapi problemnya, para pekerja rumah tangga ini memiliki keluarga yang harus dihidupi atau dibiayai. Dari mana mereka memperoleh biaya itu, bila pekerjaan rumah tangga yang mereka kerjakan dianggap sebagai pekerjaan dari kerabat tanpa upah.

Biasanya dalam sistem kerabat atau kekeluargaan, yang diutamakan di sana ada sifat sosialnya. Semua yang dilakukan atau dikerjakan sifatnya membantu dan menolong. Sehingga tidak jelas upahnya. Hal ini menyebabkan majikan kadang melupakan hak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun