Beberapa pertanyaan bagi mereka yang mempekerjakan Pekerja Rumah Tangga, berapa upah yang kalian berikan kepada mereka? Sudahkah Anda memberikan kepada mereka hak-hak mereka sebagai pekerja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanya mau memantik persoalan yang selama ini terkubur dan tidak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan di senayan dan pemerintahan, yaitu soal pekerja rumah tangga (PRT) domestik.
Kita selalu berteriak soal ketidakadilan yang dialami para PRT kita di luar negeri. Tetapi permasalahan di dalam negeri tidak pernah diselesaikan.
Pekerja Rumah Tangga (PRT) bagi sebagian orang barangkali merupakan sebuah pekerjaan rendahan. Lazimnya orang menyebut pekerja rumah tangga sebagai pembantu rumah tangga. Bahkan ada satu istilah yang diwariskan dari zaman Belanda yang kini sangat berkonotasi negatif yaitu babu (Belanda: baboe).Â
Istilah ini artinya hampir sama dengan budak. Babu atau budak dianggap barang milik tuan atau majikannya. Mereka kehilangan hak-hak mereka karena dianggap sebagai barang milik majikannya.
Pekerja rumah tangga sebenarnya adalah orang yang bekerja di dalam lingkup rumah tangga majikannya.
Dari pengalaman selama ini, pola kerja PRT domestik dengan majikan di Indonesia cenderung bersifat kultural dan kekeluargaan  dan tidak memiliki landasan hukum yang konkret. Â
Banyak majikan yang sudah menganggaap pekerja rumah tangga mereka sebagai pembantu yang bisa disuruh melakukan ini dan itu tanpa mempedulikan hak-hak mereka. Sayangnya hal itu sudah dianggap sebagai sebuah budaya yang diterima begitu saja. Sudah ada berbagai kritik yang berhubungan dengan PRT domestik ini, namun semua berlalu tanpa ada tanggapan yang serius.
Pola yang lain adalah pola kekeluargaan. Ada pekerja rumah tangga yang dianggap keluarga oleh majikan. Kelihatan sangat manusiawi tapi problemnya, para pekerja rumah tangga ini memiliki keluarga yang harus dihidupi atau dibiayai. Dari mana mereka memperoleh biaya itu, bila pekerjaan rumah tangga yang mereka kerjakan dianggap sebagai pekerjaan dari kerabat tanpa upah.
Biasanya dalam sistem kerabat atau kekeluargaan, yang diutamakan di sana ada sifat sosialnya. Semua yang dilakukan atau dikerjakan sifatnya membantu dan menolong. Sehingga tidak jelas upahnya. Hal ini menyebabkan majikan kadang melupakan hak mereka.
Untuk itu, pekerja rumah tangga harus dilihat sebagai sebagai yang sebaliknya. Pekerjaan rumah tangga adalah sebuah pekerjaan yang layak sama seperti pekerjaan-pekerjaan lain yang lebih prestisius.Â
Mesti ada payung hukum yang pasti, sehingga mereka mendapatkan perlindungan akan hak-hak mereka.
Pola PRT sebagai budaya atau kultur dan kekeluargaan sangat merugikan PRT sendiri.Â
PRT tidak memiliki pegangan yang pasti baik itu soal sistem upah maupun perlindungan-perlindungan yang harus mereka dapatkan.Â
Pola kultural dan kekeluargaan menyebabkan majikan memberikan upah kepada PRT-nya hanya berdasarkan rasa kekeluargaan ataupun belas kasihan.
Sebagai perbadingan, di luar negeri baik itu di Hongkong, Macao, Singapura, maupun Brunai Darusalam, upah para PRT kita yang bekerja di sana sangat layak, bahkan ada yang mengaku upah mereka lebih tinggi beberapa kali lipat dari gaji para ASN di tanah air.
Sementara para PRT domestik tidak memiliki sistem pengupahan yang jelas, tapi mereka tidak pernah mengeluh ataupun mengadu. Sebab memang tidak aturan hukum yang melindungi dan mengatur hak PRT selain budaya atau kultur dan sistem kekeluargaan yang dibangun antara PRT dan majikannya.
Padahal PRT tidak memiliki batasan jam kerja. Hampir semua pekerjaan majikan di rumah dikerjakan oleh PRT. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan sebagainya. Sedangkan mekanisme pengupahan tidak jelas dan tidak ada perlindungan terhadap jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Ada degradasi nilai kerja manusia pada PRT. Nilai kerja yang seharusnya menempatkan manusia pada levelnya, tidak mempunyai arti sama sekali di dalam pekerja rumah tangga.
Seharusnya di dalam pekerjaannya manusia mengekepresikan dirinya sebagai homo faber tapi kenyataannya pada PRT justru ada degradasi kemanusiannya sebagai homo faber.
Sesungguhnya manusia tidak mempunyai arti tanpa pekerjaan. Tapi masalahnya kemudian adalah orang mengklasifikasikan setiap pekerjaan ke dalam dua kelompok, yaitu pekerjaan yang prestisius atau layak dan pekerjaan yang rendahan atau tidak layak. PRT masuk dalam klasifikasi yang kedua ini.
Pekerja rumah tangga (PRT) selama ini memang tidak terlalu dihargai sebagai sebuah pekerjaan yang layak di Indonesia. Keberadaan PRT di Indonesia sering dianaktirikan. Padahal di negara-negara lain, hak mereka dilindungi oleh negara. Mereka memiliki jaminan yang baik dan diperlakukan sama seperti pekerja-pekerja lainnya.
Tidak heran jika banyak orang-orang kita lebih memilih menjadi pekerja rumah tangga di negara-negara lain yang memiliki jaminan yang pasti terhadap hidup mereka.
Mungkin kita banyak mendengar tentang perlakuan yang tidak senonoh dan biadap dari beberapa majikan di luar sana terhadap para PRT kita, tetapi kita juga tidak menampik beberapa kisah sukses dari para penyumbang visa negara ini.
Data statistik menunjukkan bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan sektor ekonomi yang tumbuh. Sektor ini memberi kontribusi penting pada berfungsinya rumah tangga dan pasar tenaga kerja tapi sering dikecualikan dari perlindungan sosial dan ketenagakerjaan dan jauh dari standar kerja layak secara serius.
Saya mengenal beberapa orang yang merupakan teman dan mantan anak murid yang memiliki kisah sukses menjadi PRT di luar negeri. Informasi tentang gaji para PRT saya dapatkan dari mereka.
Pemerintah kita di konsulat dan kedutaan sangat menjamin keselamatan mereka. Tetapi anehnya di dalam negeri sendiri, pemerintah seolah-olah menutup mata.
Mereka dibiarkan tanpa perlindungan. Kita lebih peduli dengan mereka yang ada di luar negeri. Kita selalu berteriak-teriak tentang ketidakadilan yang mereka hadapi di sana, sementara nasib para PRT domestik tidak ada yang peduli.
Inilah kenyataan yang terjadi. Sebenarnya saat kita memberontak, memberikan cap negatif terhadap perlakuan-perlakuan yang tidak adil yang dialami oleh para pembantu rumah tangga kita di luar negeri, kita harus memperhatikan nasib mereka yang ada di dalam negeri dulu.
Kita harus mempunyai aturan yang jelas untuk menjamin hak-hak mereka. Agar setiap orang yang mempekerjakan mereka tidak hanya menuntut hak dari mereka, tetap juga harus disertai kewajiban untuk memberikan jaminan yang layak bagi para pekerja tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerjaan Rumah Tangga (Jala PRT) dengan menuntut agar RUU Perlindungan Pekerjaan Rumah Tangga (PPRT) kepada DPR agar segera disahkan merupakan langkah bijak.
Kasus kekerasan rumah tangga yang sering kita dengar di luar negeri, kita dengar juga di dalam negeri. Bahkan kadang kurang mendapat respon yang serius karena tidak adanya kekuatan hukum yang memberikan perlingungan terhadap hak-hak para PRT.
Kasus kekerasan pada PRT yang muncul ke permukaan beberapa waktu terakhir hanya merupakan fenomena gunung es, oleh sebab itu, perlindungan dan jaminan yang pasti sangat diperlukan.
Pada periode 2015, International Labour Organzation (ILO) mencatat bahwa PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Sedangkan data Jala PRT, pada 2010 ada kurang lebih 10 juta PRT di Indonesia.
Saat ini angka itu sudah terlampaui, tapi tidak satu payung hukum yang memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi para PRT. Hanya ada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2013 yang tidak bisa menjadi jaminan untuk memberikan perlindungan kepada para PRT.
Data dari ILO tersebut juga menunjukkan bahwa jumlah PRT di Indonesia merupakan terbanyak kedua di dunia setelah Tiongkok.
Payung hukum yang pasti dibutuhkan mengingat presentase PRT didominasi perempuan dan juga anak yang rentan ekploitasi.
Maka dari itu, RRU PPRT secepatnya segera menjadi Undang-Undang (UU) sehingga bisa menjadi landasan dalam mengatur dan mengelola permasalahan bidang ketenagakerjaan, terutama melindungi para pekerja rumah tangga domestik.
Di dalam negeri sendiri, PRT merupakan penopang perekonomian negara baik makro maupun mikro.
PRT adalah manusia biasa sebagaimana siapapun yang butuh perlindungan dan kepastian terhadap hak-haknya.
Nantinya UU itu akan memberikan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak yang mendasar bagi PRT seperti kepastian upah, perlindungan sosial, perlindungan atas keamanan dan kenyamanan dalam bekerja dari sisi kesehatan dan keselamatan, hingga perlindungan mendapatkan hak cuti.
Semua elemen bangsa harus bergerak bersama untuk mendukung percepatan RUU PPRT menjadi UU agar perlindungan terhadap pekerja rumah tangga segera terwujud sehingga prinsip-prinsip hak asasi manusia benar-benar ditegakkan.
Padahal RUU PRT ini sudah diusulkan ke DPR pada 2004, tetapi hingga kini belum menemui titik terangnya untuk disahkan menjadi UU. Tahun ini sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas, namun nasibnya pun masih belum jelas. Â
Sudah saatnya mempekerjakan PRT berdasarkan budaya atau kultur dan  kekeluargaan  dihapus dan diganti dengan sebuah kepastian hukum.
RUU PRT harus segera dibahas dan kemudian disahkan menjadi Undang-Undang agar para PRT domestik memiliki landasan hukum untuk menuntut hak mereka yang selama ini diabaikan atas nama sebuah budaya dan kekeluargaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H