Bunyi dering telepon memecah kebuntuan di kosan seluas 3x 4 meter persegi yang sudah saya tempati selama dua tahun belakangan ini. Â
Di layar handpone tertera sebuah nama indah bertuliskan "Mamaku". Â Ah syukurlah. Sekejap saya bangun, walau kepala terasa berat dan badan masih menggigil. Sudah tiga hari ini sakit.Â
"Halo Uji," sapanya diujung telepon
"Saya mama," sahutku
" Suryadi tadi siang kasih tau, katanya suruh mama telepon," ujarnya mengingat pesan adiku.
"Iya mama. Hanya mau tanya keadaan mama," Ujarku
"Mama sehat-sehat saja, hanya sedikit sakit badan. Ini mama lagi di tempat jaringan," jelasnya.
"Sukurlah kalo sehat-sehat," sahutku
"Uji sehat-sehat saja? " tanya ia kemudian  dengan suara putus-putus diujung telepon karena ganguan jaringan.Â
"Uji sakit, sudah tiga hari ini," jawabku
" Astaga, Sakit apa? sudah minum obat apa belum?" Jawabnya dengan kwatir.
"Sudah mama, ini sudah mendingan,"Â
"Sukur Alhamdulilah. Jangan lupa makan terus minum obat, mama doakan semoga Uji cepat sembuh. " jawabnya.
"Terus kuliah bagaimana? ingat harus selesai," Pesannya.
"Alhamdullilah sudah mau selesai. Sekarang lagi tahap pengajuan wisuda" Jawabku meyakinkan.
"Iya sudah, cepat diselesaikan, cari kerja terus nikah," sahutnya kemudian
" Saya mama, kong ( Sudah) panen pala?" tanyaku kemudian.
Belum juga terjawab, suara diujung telepon sudah terputus. Ketika dihubungi kembali suara yang keluar ialah "nomor  yang anda  dituju tidak dapat dihubungi". Yah mau bagaimana lagi, jaringan di kampung sudah hilang.
Sehingga ketika ingin melepas rindu, saya harus menghubungi dulu adik saya di Ternate, kemudian ia menyampaikan pesan kepada penumpang yang hendak pulang kampung. Dari mereka, barulah sehari atau dua hari  saya akan dihubungi.
Ketika menelpon, beliau harus keluar dari rumah dan berjalan sekira 20 meter kedepan jalan bekas penggusuran. Walaupun begitu, bukan berarti langsung terhubung. Perlu upaya ekstra dengan memanggil beberapa kali hingga tersambung.
Terkadang sudah tersambung pun, suara yang dihasilkan putus-putus . Alhasil, ibuku harus menelpon lagi dan terus mencoba agar kembali tersambung.
Tak lelah memberi Nasihat
Saat ini, beliau sudah berumur 49 tahun dan berprofesi sebagai petani. Di kebunnya ia tanami cengkih dan pala. Bertani tak asing bagi beliau sebab orang tuanya juga berprofesi sebagai petani.Â
Di masa remaja ceritanya, mereka perempuan desa sebaya harus masuk keluar hutan membantu para ayah dan ibu menanam cengkih, pala dan kelapa. Akivitas ini mereka lakoni saat libur sekolah.Â
Mereka yang kebanyakan bersekolah di Ternate akan pulang setiap libur Caturwulan (3 bulan sekali) memetik pala hingga cengkih. Pohon-pohon  yang tinggi itu tersebut tak segan dipanjat . Sesekali ikut membantu mengumpulkan kelapa dan mencungkil dagingnya untuk dibuat kopra.
Hasilnya, kemudian dipakai untuk ongkos pulang dan biaya sekolah. Di Ternate sendiri, ibuku dan satu saudaranya tinggal di pengampu berdarah Ambon. Pengampunya tersebut adalah seorang guru. Guru-guru Ambon, Kata ibuku, terkenal sangat disiplin dan tegas. Sehingga didikan tersebut terpatri sangat kuat. Didikannya itupula kemudian ia tanamkan ke saya sedari kecil.Â
Proses kelahiran saya sendiri juga dilalui secara susah payah. Sebab, sebulan sebelum masa melahirkan, gunung di kampung kami, Kie Besi meletus. Semua penduduk pulau  harus mengungsi menuju  Halmahera.
Ibu saya dan keluarga besar mengungsi ke Pulau Tawa Kecamatan Kasiruta Barat. Mereka menumpang kapal yang diarahkan pemerintah kabupaten saat itu dari Ternate. Sementara keluarga yang lain, mengayuh menggunakan sampan dan sampai tiga hari kemudian.Setelah lahir dan tinggal hingga beberpa tahun, kami kembali ke kampung halaman pada tahun 1991.Â
Di sini kehidupan berlahan di tata kembali. Aktifitas kami waktu itu hanya bertani, mengganti tanaman-tanaman yang habis disapu abu vulkanik.
Sementara sekolah, tidak pernah kami lalui hingga tahun 1995. Â Lantaran tidak ada bangunan sekolah atau guru. Satu-satunya sekolah adalah alam dan guru terbaik ialah orang tua terutama ibu.
Beliau mengajarkan banyak soal tentang hidup sedari kecil yang sampai sekarang dipegang teguh dan berperan sebagai sekolah pertama bagi saya.
Ibu, sekolah pertamaku. Dari kecil, beliau sudah menjadi sekolah pertama yang  menanamkan jiwa saling menghargai terutama adab, etika hingga budaya terhadap orang tua.Â
Beberapa pelajarannya antara lain, Saya bakal dimarahi ketika lewat di hadapan orang tua tidak membungkukan badan. Makan mendahului orang tua, bertutur kata yang baik dengan pemilihan kata untuk yang tua, muda hingga sebaya serta dilarang memaki. Selain itu, adab makan, mandi hinggamengajarkan ilmu religius..
Bahkan hal-hal yang baik dan tidak seperti boboso; yang tidak boleh dilakukan sudah diajarkan. Bobosos adalah sesuatu yang dilarang dilakukan, seperti tak boleh makan ditempat gelap, tak boleh kencing sembarangan dll.
Pelarajan disiplin dan kerja keras juga diberikan. Setiap subuh, kami harus bangun terlebih dulu, menimbah air ke bak penampung, mencuci piring kemudian menuju rumah guru ngaji. Setelah selesai, kami akan ke kebun, memaras rumput dan mengerjakan apa saja yang bisa dilakukan.
Pada sore hari, ketika kami bermain di pantai, ibuku akan selalu aktif memantau. Dan, jika sudah masuk ba'dah magrib kami akan dipanggil pulang kemudian dimandikan, berganti pakaian, diarahkan berwudu kemudian menuju mesjid. Terjadang pemilihan baju juga sering diajarkan.
Sepulang dari masjid ada dua pelajaran yang diberikan. Pertama mengulangi hafalan Qur'an subuh tadi dan kedua diajarkan membaca, menulis dan menghitung.Â
Semua ajaran itu sangat begitu saya rasakan. Bahkan ketika belum masuk sekolah, saya sudah mampu membaca dengan lancar, menulis dan menghafal perkalian.Â
Jika saya salah maka sering di beri hukuman, namun jarang dipukuli. Pernah beberapa kali saya tidak belajar dan diam-diam memainkan permainan balengko; permainan bersembunyi dengan satu orang pencari dan permainan tradisional lainnya. Ketika pulang, ia menunggu dan menasehat.
" Kalau tidak mau  belajar, maka jangan salahkan mama jika kedepan kalian tak jadi orang; sukses. Setelah itu ia menyuruh kami membersihkan diri lalu tidur.
Pelajaran yang paling melekat ialah. "Milik orang kepunyaan orang, milik kamu kepunyaan kamu,"
Sebuah nasihat yang sampai kini saya pegang teguh. Ibu juga mengajarkan tentang bagaimana menjalani kehidupan sejak kecil. Ia sering berpesan agar mensucikan hati, berpikiran dewasa dan tak gampang menyerah.Â
Pendorong Mimpi
Pada tahun 1995, ibu dan kakek memutuskan untuk menyekolahkan saya di Ternate. Keputusan itu lantaran mereka tak ingin kami buta huruf atau tidak menerima pendidikan.Â
Jadilah saya diantar ke Ternate dan tinggal  di saudara ibuku. Ia berpesan agar selalu bangun pagi dan membersihkan rumah, mencuci pakaian kotor sendiri, dan belajar dengan giat. Semua ia tanamkan, bahkan ketika libur tiba dan saya kembali ke desa.Â
Bagi dia, sesulit apapun kondisi ekonomi yang dialami, jangan sekali-kali putus sekolah. Ia mendorong begitu kuat untuk bersekolah setinggi mungkin dan belajar dari setiap tahapan kehidupan. Dan, mendorong saya menyelesaikan apapun yang sudah saya mulai. Baik itu kecil ataupun besar.Â
Tak lupa ia berpesan, jika sudah sukses ataupun belum hal utama yang tak boleh dilupakan adalah agama, keluarga dan masyarakat bawah. Inipula yang membentuk jiwa sosial saya hingga sekarang.
Sebagai sandaran jiwa, ibuku adalah tempat mengadu paling sabar. Beliau akan memberikan solusi atau pencerahan disetiap masalah yang saya hadapi baik cinta, pendidikan hingga pekerjaan. Â
Itulah Ibu, sekolah pertamaku. Lewat kegigihannya saya mampu melanjutkan pendidikan dan meriah banyak hal. Sudah begitu banyak nasihat dan pesan yang selalu ia berikan. Â Mimpinya hanya satu, agar anak-anaknya hidup sesuai dengan kodratnya sebagai manusia serta memberikan banyak manfaat selama hidup.Â
*
Di kebanyakan masyarakat, pada periode ini  ketika bayi masih dalam perut, seorang ibu selain memberikan asupan gizi juga seringkali memberikan nasihat, harapan, doa atau pelajaran semisal mendengarkan musik hingga dimensi spritual.
Ibu memiliki peran kursial dalam kehidupan keluarga. Di lingkungan  ini seorang anak di didik dengan memberikan pembinaan tumbuh kembang menanamkan nilai-nilai moral dan membentuk karakter seorang anak.  Selain itu, tempat  mengembangkan diri dan mengenal diri serta hati nurani anak hingga nanti  bersosialisasi di lingkungan luar. Perannya dalam keluarga tersebut termaktub dalam delapan fungsi keluarga. Â
Saya mengingat ketika saya sakit dan tak mau minum obat, ibu akan memberikan sebuah pengalaman tak terduga. obat yang di berikan Mantri desa dimasukan kedalam potongan papeda lalu disuapi. Tanpa sadar kami sudah minum obat walau sebelumnya mati-matian tak ingin.Â
Begitu hebatnya seorang ibu dalam mendidik baik secara tersirat maupun secara nampak.  Kewajibannya dijalankan dengan penuh tanggung jawab, walaupun sudah dirinci  didalam UU No 35 Tahun 2004 pasal 26 ayat 1, yakni orang tua berperan 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; 2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Namun, bagi saya perannya jauh lebih dalam dan lebih luas terutama yang  saya rasakan hingga saat ini. (Sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H