Mohon tunggu...
Obed Antok
Obed Antok Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang tulis

Berminat Dalam Bidang Sosial, Politik, Iptek, Pendidikan, dan Pastoral Konseling.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Megalomania" yang Mengaburkan Batas antara Realitas dan Ilusi

14 Agustus 2024   10:53 Diperbarui: 14 Agustus 2024   15:18 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era modern ini, istilah megalomania semakin sering digunakan untuk menggambarkan perilaku individu yang memiliki pandangan sangat berlebihan tentang diri mereka sendiri dan pencapaian mereka. 

Megalomania merupakan kondisi psikologis di mana seseorang merasa memiliki kebesaran yang luar biasa dan keyakinan yang tidak realistis terhadap kemampuan serta prestasi pribadi mereka. 

Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, di mana "megas" berarti "besar" dan "mania" berarti "kegilaan" atau "obsesi," yang secara harfiah diterjemahkan sebagai "kegilaan tentang kebesaran." 

Orang yang mengalami megalomania sering merasa superior dibandingkan orang lain dan memiliki obsesi terhadap kekuasaan, status, atau prestasi pribadi yang berlebihan. 

Dalam konteks medis atau psikologis, megalomania digunakan untuk menggambarkan pandangan yang mengabaikan realitas dan cenderung melihat diri mereka lebih penting atau unggul dibandingkan orang lain. 

Meskipun tidak termasuk dalam diagnosis resmi DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), megalomania dapat muncul sebagai gejala dalam gangguan kepribadian narsistik atau gangguan kepribadian antisosial. 

Berikut 6 Ciri orang dengan Megalomanisa, yaitu:

1. Grandiosity

Salah satu ciri utama megalomania adalah rasa kebesaran yang ekstrem atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "grandiosity". Individu dengan kondisi ini sering memiliki pandangan yang sangat berlebihan tentang kekuatan, kemampuan, atau prestasi mereka.

Mereka mungkin meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan istimewa atau keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain, dan ini sering kali membuat mereka merasa bahwa mereka berhak mendapatkan perlakuan istimewa.

Dalam bahasa Latin, istilah yang menggambarkan konsep ini adalah "magnificentia", yang berarti kemegahan atau kebesaran yang berlebihan.

Pengalaman masa kecil seperti pujian yang berlebihan atau perbandingan yang tidak sehat dengan saudara kandung dapat membentuk rasa superioritas yang tidak realistis. 

Trauma psikologis juga dapat berperan, di mana individu mengembangkan pandangan yang sangat tinggi tentang diri mereka untuk mengatasi rasa tidak aman yang mendalam. 

Beberapa penelitian menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara ketidakseimbangan neurotransmitter tertentu dengan munculnya gejala megalomania. 

Dampaknya bisa berupa hubungan interpersonal yang terhambat dan kesulitan bekerja sama, karena mereka merasa lebih tahu dari orang lain.

2. Obsesi Kekuasaan

Obsesi dengan kekuasaan dan status adalah ciri lain dari megalomania. Individu yang mengalami megalomania sering kali memiliki dorongan kuat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan serta status yang tinggi. 

Kecenderungan ini membuat mereka sangat fokus pada pencapaian posisi-posisi penting dan pengakuan sosial, serta berusaha keras untuk mencapai dan menjaga posisi tersebut. Mereka memandang kekuasaan dan status sebagai simbol utama dari nilai dan keberhasilan mereka.

Orang dengan megalomania sering kali menginginkan jabatan tinggi dan akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan dan mempertahankan posisi tersebut, bahkan jika itu berarti meremehkan atau mengorbankan orang lain. 

Keinginan untuk mengontrol dan rasa tidak aman bisa menjadi pendorong utama obsesi ini. Dampaknya bisa berupa eksploitasi orang lain dan lingkungan kerja yang toksik, di mana kepemimpinan otoriter dan manipulatif menciptakan suasana yang tidak sehat.

3. Rasa Superioritas

Rasa superioritas adalah ciri ketiga dari megalomania. Individu dengan megalomania sering kali memiliki pandangan yang sangat tinggi tentang diri mereka sendiri, merasa bahwa mereka lebih unggul dibandingkan orang lain. 

Mereka mungkin menganggap bahwa mereka memiliki kualitas atau kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, sehingga merasa berhak mendapatkan perlakuan khusus atau penghargaan yang lebih tinggi. Sikap ini biasanya disertai dengan penilaian negatif terhadap orang-orang di sekitar mereka.

Sikap merendahkan orang lain merupakan hal yang umum terjadi pada individu dengan megalomania dan dapat berdampak negatif pada hubungan interpersonal. 

Karena mereka cenderung menganggap diri mereka lebih baik, mereka sering kali mengabaikan atau meremehkan kontribusi dan perasaan orang lain. 

Hal ini dapat mengarah pada kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat dan harmonis, baik dalam konteks pribadi maupun profesional. 

Misalnya, mereka mungkin mengabaikan pendapat atau masukan dari rekan kerja mereka, yang dapat menimbulkan konflik dan mengganggu kerjasama tim.

4. Sulit Menerima Kritik

Kesulitan dalam menerima kritik adalah ciri keempat dari megalomania. Individu dengan megalomania cenderung sangat sensitif terhadap kritik atau penilaian negatif dari orang lain. Bagi mereka, kritik dianggap sebagai ancaman serius terhadap citra diri mereka yang sangat penting. 

Mereka mungkin merasa bahwa kritik merusak atau membahayakan pandangan mereka tentang diri mereka sendiri yang sangat idealistik dan berlebihan.

Akibat dari kesulitan ini, orang dengan megalomania sering bereaksi secara emosional saat menghadapi kritik. Mereka mungkin menunjukkan kemarahan, defensif, atau bahkan perilaku agresif untuk menanggapi apa yang mereka anggap sebagai serangan pribadi. 

Reaksi ini sering kali memperburuk hubungan interpersonal dan menghambat proses pertumbuhan pribadi atau profesional. Hambatan dalam menerima kritik dapat menghambat pertumbuhan pribadi dan menyebabkan ketidakmampuan beradaptasi.

5. Manipulatif

Perilaku manipulatif dan dominan merupakan ciri kelima dari megalomania. Individu yang mengalami megalomania sering menggunakan teknik manipulasi atau perilaku dominan untuk mencapai tujuan mereka atau mempertahankan posisi superioritas mereka. 

Mereka mungkin mengendalikan atau memanipulasi orang lain dan situasi agar sesuai dengan keinginan mereka, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang lain.

Sebagai contoh, seseorang dengan megalomania mungkin menggunakan taktik manipulatif seperti menyebar informasi yang menyesatkan, memutarbalikkan fakta, atau menekan orang lain untuk mendukung agenda mereka. 

Perilaku ini sering kali didorong oleh kebutuhan untuk mempertahankan kontrol dan dominasi, mengabaikan dampak negatif terhadap hubungan dan lingkungan di sekitar mereka. Dampaknya termasuk kerusakan hubungan dan reputasi yang buruk, di mana mereka mungkin dikenal sebagai orang yang tidak dapat dipercaya.

6. Ketidakmampuan untuk mengakui kesalahan

Ketidakmampuan untuk mengakui kesalahan adalah ciri keenam dari megalomania. Individu dengan megalomania biasanya mengalami kesulitan dalam mengakui kesalahan atau kekurangan pribadi. 

Mereka sering kali tidak mau menerima tanggung jawab atas kegagalan atau kesalahan yang mereka buat, dan lebih cenderung menyalahkan orang lain atau situasi eksternal.

Dalam praktiknya, ini berarti bahwa ketika terjadi kegagalan atau masalah, orang dengan megalomania mungkin mencari kambing hitam atau menyalahkan faktor-faktor di luar kendali mereka, alih-alih mengakui peran mereka sendiri dalam situasi tersebut. 

Ketidakmampuan ini sering kali menghambat pertumbuhan pribadi dan profesional, karena tidak ada refleksi atau pembelajaran dari kesalahan yang dilakukan. Hal ini bisa menyebabkan kegagalan berulang dan kerugian finansial yang signifikan.

Tindakan Perlu

Ada beberapa hal penting untuk menghindari megalomania, penting untuk menjaga kesadaran diri dengan memahami kekuatan dan kelemahan secara jujur. 

Terima kritik dengan terbuka dan gunakan sebagai alat untuk pertumbuhan pribadi. Pertahankan hubungan yang sehat dengan orang-orang yang mendukung dan memberikan umpan balik yang seimbang. 

Mempraktikkan rasa syukur dan rendah hati, menghargai kontribusi orang lain, dan jangan terlalu berfokus pada diri sendiri. Jika ada tanda-tanda perilaku yang mengarah pada megalomania, segera konsultasikan dengan profesional kesehatan mental. 

perlu bagi kita untuk melakukan refleksi diri secara rutin dan tetapkan tujuan yang realistis sesuai dengan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara ambisi dan kenyataan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun