Pengalaman masa kecil seperti pujian yang berlebihan atau perbandingan yang tidak sehat dengan saudara kandung dapat membentuk rasa superioritas yang tidak realistis.Â
Trauma psikologis juga dapat berperan, di mana individu mengembangkan pandangan yang sangat tinggi tentang diri mereka untuk mengatasi rasa tidak aman yang mendalam.Â
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kemungkinan hubungan antara ketidakseimbangan neurotransmitter tertentu dengan munculnya gejala megalomania.Â
Dampaknya bisa berupa hubungan interpersonal yang terhambat dan kesulitan bekerja sama, karena mereka merasa lebih tahu dari orang lain.
2. Obsesi Kekuasaan
Obsesi dengan kekuasaan dan status adalah ciri lain dari megalomania. Individu yang mengalami megalomania sering kali memiliki dorongan kuat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan serta status yang tinggi.Â
Kecenderungan ini membuat mereka sangat fokus pada pencapaian posisi-posisi penting dan pengakuan sosial, serta berusaha keras untuk mencapai dan menjaga posisi tersebut. Mereka memandang kekuasaan dan status sebagai simbol utama dari nilai dan keberhasilan mereka.
Orang dengan megalomania sering kali menginginkan jabatan tinggi dan akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan dan mempertahankan posisi tersebut, bahkan jika itu berarti meremehkan atau mengorbankan orang lain.Â
Keinginan untuk mengontrol dan rasa tidak aman bisa menjadi pendorong utama obsesi ini. Dampaknya bisa berupa eksploitasi orang lain dan lingkungan kerja yang toksik, di mana kepemimpinan otoriter dan manipulatif menciptakan suasana yang tidak sehat.
3. Rasa Superioritas
Rasa superioritas adalah ciri ketiga dari megalomania. Individu dengan megalomania sering kali memiliki pandangan yang sangat tinggi tentang diri mereka sendiri, merasa bahwa mereka lebih unggul dibandingkan orang lain.Â