"Beginilah mbak, cari inspirasi buat nulis, kadang ngajarin anak-anak, kadang melukis" jawabnya spontan.
Kami lalu hanyut dalam obrolan soal kepenulisan sastra. Kang Didin bercerita ia sangat menyukai cerpen Agus Noor, dia juga penyuka puisi karya Alm. Sapardi. Aku mengangguk, selera kami tak jauh berbeda.
Lalu pada saat yang pas, aku memulai membuka percakapan sebenarnya. Entah kenapa perasaan ku begitu yakin, Kang Didin tahu sesuatu tentang kematian Ema.
"Kang, apa akang tau soal Ema, pelacur muda yang meninggal tempo hari di dalam kamar mandinya?"Â
"Pelacur itu selalu punya sisi gelap mbak" jawab kang Didin.
"Kenapa cerpen akang yang berjudul samar-samar, mengarah pada Ema, begitu detail kang" kataku.
"Didalam cerita itu, akang menulis bahwa seorang pelacur yang punya pengalaman hidup yang sedih menolak cinta seorang sastrawan, hanya karena ia miskin, karena tidak terima laki-laki itu lalu membunuh dan mengabadikannya" kata-kata ku membuncah begitu saja.
"Cerpen akang juga terasa begitu hidup" aku mencoba sedikit mendramatisir keadaan.
Hening, kang Didin diam beberapa saat. Sorot matanya agak redup. Lalu ia memalingkan wajahnya ke kanan.
"Saya kalau nulis memang berdasarkan pengalaman pribadi mbak" katanya pelan.
Tiba-tiba aku merasa duniaku gelap seketika.