Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kang Didin

25 September 2020   21:43 Diperbarui: 25 September 2020   22:08 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tadi malam, aku telah menyiapkan beberapa pertanyaan tentang kasus ini. Menurutku, kematian pelacur ini patut untuk diungkap. Memang tidak mungkin jika kang Didin  orang yang membunuh pelacur itu. Tapi, karena kang Didin menuangkan cerita kematian pelacur itu dalam cerita pendeknya aku jadi penasaran.

"Mungkin kang Didin mengenal perempuan itu" pikirku. Mungkin juga ia pernah memiliki hubungan khusus dengan perempuan itu. Sementara pikiranku terbang pada perempuan itu, kang Didin berkelebat di depan mataku.

Orang-orang mengenal kang Didin sebagai seorang seniman yang murah hati. Tinggal di sebuah rumah kecil dekat taman budaya di kota ini. Jarak yang dekat dengan taman budaya itu memungkinkannya untuk menulis dan sesekali melukis di pendopo yang ada disana.

Anak-anak sekolah sering ia ajarkan secara cuma-cuma, pribadinya yang periang dan mudah dekat dengan orang baru membuat siapa saja yang ingin mengenalnya menjadi tak canggung.

Pagi itu, matahari bersinar cukup sayu, pakaian sejak tadi ku jemur di belakang meneteskan air perlahan. Aku telah menyiapkan ransel berisi bolpoin, buku, kamera dan alat perekam. Berstatus sebagai wartawan lepas membuatku menikmati hal ini, maklum saja, aku tak terlalu suka pekerjaan yang mengikat.

Dalam perjalanan ku menuju taman budaya, tempat kang Didin biasa menghabiskan hari, pikiran ku melayang pada Ema, perempuan tuna susila yang sedang ku selidiki kematiannya. Aku dan Ema sempat satu sekolah saat menengah atas.

Perempuan itu sebenarnya pendiam, setidaknya selama 3 tahun aku sekolah disana. Kami sama-sama berasal dari jurusan IPA, meskipun tidak pernah satu kelas.

Aku kerap mendapatinya duduk sendiri di belakang kelas. Ketika hendak menegur, Ema selalu saja menghindar, seperti ada ketakutan di matanya. Aku juga jarang melihatnya ikut organisasi sekolah, belakangan saat akan lulus, dari teman-teman aku mendengar kalau dia adalah anak korban broken home.

Ibunya pernah hamil dari lelaki lain, saat itu bapaknya sedang kerja diluar kota. Jadilah hal itu menimbulkan pertengkaran hebat, hingga anak di kandungan ibunya lahir, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Akibatnya Ema lah yang paling menderita, setiap hari ia harus melihat adegan percekcokan ayah dan ibunya. Para tetangga pun telah maklum dengan kondisi itu.

Setamat SMA, kudengar Ema bekerja di salah satu toko pakaian yang tak jauh dari rumahnya. Memang ada sedikit perubahan yang terjadi, ia jadi lebih suka berdandan! Kupikir tak masalah, perempuan di umur kami memang sedang berusaha memperlihatkan dirinya, apalagi ia berdandan dengan uangnya sendiri, kan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun