Sejak tadi malam, aku telah menyiapkan beberapa pertanyaan tentang kasus ini. Menurutku, kematian pelacur ini patut untuk diungkap. Memang tidak mungkin jika kang Didin  orang yang membunuh pelacur itu. Tapi, karena kang Didin menuangkan cerita kematian pelacur itu dalam cerita pendeknya aku jadi penasaran.
"Mungkin kang Didin mengenal perempuan itu" pikirku. Mungkin juga ia pernah memiliki hubungan khusus dengan perempuan itu. Sementara pikiranku terbang pada perempuan itu, kang Didin berkelebat di depan mataku.
Orang-orang mengenal kang Didin sebagai seorang seniman yang murah hati. Tinggal di sebuah rumah kecil dekat taman budaya di kota ini. Jarak yang dekat dengan taman budaya itu memungkinkannya untuk menulis dan sesekali melukis di pendopo yang ada disana.
Anak-anak sekolah sering ia ajarkan secara cuma-cuma, pribadinya yang periang dan mudah dekat dengan orang baru membuat siapa saja yang ingin mengenalnya menjadi tak canggung.
Pagi itu, matahari bersinar cukup sayu, pakaian sejak tadi ku jemur di belakang meneteskan air perlahan. Aku telah menyiapkan ransel berisi bolpoin, buku, kamera dan alat perekam. Berstatus sebagai wartawan lepas membuatku menikmati hal ini, maklum saja, aku tak terlalu suka pekerjaan yang mengikat.
Dalam perjalanan ku menuju taman budaya, tempat kang Didin biasa menghabiskan hari, pikiran ku melayang pada Ema, perempuan tuna susila yang sedang ku selidiki kematiannya. Aku dan Ema sempat satu sekolah saat menengah atas.
Perempuan itu sebenarnya pendiam, setidaknya selama 3 tahun aku sekolah disana. Kami sama-sama berasal dari jurusan IPA, meskipun tidak pernah satu kelas.
Aku kerap mendapatinya duduk sendiri di belakang kelas. Ketika hendak menegur, Ema selalu saja menghindar, seperti ada ketakutan di matanya. Aku juga jarang melihatnya ikut organisasi sekolah, belakangan saat akan lulus, dari teman-teman aku mendengar kalau dia adalah anak korban broken home.
Ibunya pernah hamil dari lelaki lain, saat itu bapaknya sedang kerja diluar kota. Jadilah hal itu menimbulkan pertengkaran hebat, hingga anak di kandungan ibunya lahir, orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Akibatnya Ema lah yang paling menderita, setiap hari ia harus melihat adegan percekcokan ayah dan ibunya. Para tetangga pun telah maklum dengan kondisi itu.
Setamat SMA, kudengar Ema bekerja di salah satu toko pakaian yang tak jauh dari rumahnya. Memang ada sedikit perubahan yang terjadi, ia jadi lebih suka berdandan! Kupikir tak masalah, perempuan di umur kami memang sedang berusaha memperlihatkan dirinya, apalagi ia berdandan dengan uangnya sendiri, kan.
Kabar kematian Ema 2 hari lalu  sukses membuatku terperanjat, di grup-grup SMA orang-orang ramai membicarakannya, bukan, bukan karena sebab kematian atau kebaikan Ema selama ini, tapi mereka membicarakan status Ema yang meninggal sebagai seorang tuna susila.
Barangkali pandangan mereka tentang sesuatu sudah menutupi rasa kemanusiaannya terhadap sesama. Pantas saja, jika para pejabat yang meninggal ramainya bukan main, tapi untuk yang lain, mereka biasa saja.Â
Pembicaraan tentang Ema membuatku tergerak, kepada kepala redaksi di kantor, aku meminta izin untuk membuat berita investigasi tentang kematian Ema, seorang pelacur yang tak pernah benar-benar menjadi temanku.
Kukatakan bahwa aku tertarik untuk mencari tahu sebab kematian Ema, kepala redaksi pun mengiyakan dengan memberi waktu selama 5 hari untuk investigasi.
Mulailah aku mencari informasi tentang Ema, semua keluarganya ku datangi, teman, karib, bahkan tempat biasa ia menjajakan tubuh, di bagian Utara kota ini. Namun nahas, tak ada satupun tanda-tanda yang mengarahkan pada sebab kematian Ema.
Pencarian ku berhenti pada sebuah cerpen yang terbit satu hari setelah Ema meninggal. Ditulis dengan gaya yang jenaka dan detail tentang kematian seorang pelacur.
Entah mengapa semua latar dan dan tokoh mengarahkan pada satu orang, Ema. Ya, aku tak mungkin salah. Dari semua data yang ku punya tentang Ema, bisa sama persis dengan apa yang ditulis oleh pengarang itu dalam cerpennya.Â
Begitulah kira-kira mengapa aku sangat ingin bertemu dengan kang Didin pagi ini. Aku menghela nafas. Motor kuparkirkan di dekat patung penari memegang cawan kecil, simbol tari sekapur sirih.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, aku dapat melihat kang Didin. Ia mengenakan topi kecil, dengan baju kaos oblong hitam dan celana levis coklat yang sudah memudar warnanya.Â
Wajah kang Didin sangat bersahabat. Senyumnya mengembang saat aku pertama kali melempar pandang padanya. Ia mengenakan tas pinggang kecil berwarna hitam polos. Saat berada berhadapan, kami bersalaman. Kang Didin lalu membuka tas dan mengeluarkan buku kecil dan pensil.
"Gimana kesibukannya sekarang kang?" Ucapku membuka percakapan.
"Beginilah mbak, cari inspirasi buat nulis, kadang ngajarin anak-anak, kadang melukis" jawabnya spontan.
Kami lalu hanyut dalam obrolan soal kepenulisan sastra. Kang Didin bercerita ia sangat menyukai cerpen Agus Noor, dia juga penyuka puisi karya Alm. Sapardi. Aku mengangguk, selera kami tak jauh berbeda.
Lalu pada saat yang pas, aku memulai membuka percakapan sebenarnya. Entah kenapa perasaan ku begitu yakin, Kang Didin tahu sesuatu tentang kematian Ema.
"Kang, apa akang tau soal Ema, pelacur muda yang meninggal tempo hari di dalam kamar mandinya?"Â
"Pelacur itu selalu punya sisi gelap mbak" jawab kang Didin.
"Kenapa cerpen akang yang berjudul samar-samar, mengarah pada Ema, begitu detail kang" kataku.
"Didalam cerita itu, akang menulis bahwa seorang pelacur yang punya pengalaman hidup yang sedih menolak cinta seorang sastrawan, hanya karena ia miskin, karena tidak terima laki-laki itu lalu membunuh dan mengabadikannya" kata-kata ku membuncah begitu saja.
"Cerpen akang juga terasa begitu hidup" aku mencoba sedikit mendramatisir keadaan.
Hening, kang Didin diam beberapa saat. Sorot matanya agak redup. Lalu ia memalingkan wajahnya ke kanan.
"Saya kalau nulis memang berdasarkan pengalaman pribadi mbak" katanya pelan.
Tiba-tiba aku merasa duniaku gelap seketika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H