Mohon tunggu...
Novita Sari
Novita Sari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Aktif di dunia literasi, pergerakan dan pemberdayaan perempuan

@nys.novitasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kang Didin

25 September 2020   21:43 Diperbarui: 25 September 2020   22:08 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar kematian Ema 2 hari lalu  sukses membuatku terperanjat, di grup-grup SMA orang-orang ramai membicarakannya, bukan, bukan karena sebab kematian atau kebaikan Ema selama ini, tapi mereka membicarakan status Ema yang meninggal sebagai seorang tuna susila.

Barangkali pandangan mereka tentang sesuatu sudah menutupi rasa kemanusiaannya terhadap sesama. Pantas saja, jika para pejabat yang meninggal ramainya bukan main, tapi untuk yang lain, mereka biasa saja. 

Pembicaraan tentang Ema membuatku tergerak, kepada kepala redaksi di kantor, aku meminta izin untuk membuat berita investigasi tentang kematian Ema, seorang pelacur yang tak pernah benar-benar menjadi temanku.

Kukatakan bahwa aku tertarik untuk mencari tahu sebab kematian Ema, kepala redaksi pun mengiyakan dengan memberi waktu selama 5 hari untuk investigasi.

Mulailah aku mencari informasi tentang Ema, semua keluarganya ku datangi, teman, karib, bahkan tempat biasa ia menjajakan tubuh, di bagian Utara kota ini. Namun nahas, tak ada satupun tanda-tanda yang mengarahkan pada sebab kematian Ema.

Pencarian ku berhenti pada sebuah cerpen yang terbit satu hari setelah Ema meninggal. Ditulis dengan gaya yang jenaka dan detail tentang kematian seorang pelacur.

Entah mengapa semua latar dan dan tokoh mengarahkan pada satu orang, Ema. Ya, aku tak mungkin salah. Dari semua data yang ku punya tentang Ema, bisa sama persis dengan apa yang ditulis oleh pengarang itu dalam cerpennya. 

Begitulah kira-kira mengapa aku sangat ingin bertemu dengan kang Didin pagi ini. Aku menghela nafas. Motor kuparkirkan di dekat patung penari memegang cawan kecil, simbol tari sekapur sirih.

Dari jarak yang tak terlalu jauh, aku dapat melihat kang Didin. Ia mengenakan topi kecil, dengan baju kaos oblong hitam dan celana levis coklat yang sudah memudar warnanya. 

Wajah kang Didin sangat bersahabat. Senyumnya mengembang saat aku pertama kali melempar pandang padanya. Ia mengenakan tas pinggang kecil berwarna hitam polos. Saat berada berhadapan, kami bersalaman. Kang Didin lalu membuka tas dan mengeluarkan buku kecil dan pensil.

"Gimana kesibukannya sekarang kang?" Ucapku membuka percakapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun