Mohon tunggu...
Nuke Patrianagara
Nuke Patrianagara Mohon Tunggu... Freelancer - cerah, ceria, cetar membahana

rasa optimis adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Senandung Cinta Indonesia di Tanah Baduy

14 Februari 2016   14:56 Diperbarui: 15 Februari 2016   02:51 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dok. Pribadi"][/caption]Langit masih lumayan gelap, matahari sepertinya enggan muncul cepat menyambut saya dan suami  di titik kumpul yaitu di Ampera. Sang pemilik rumah menyambut kita dengan semangat 45, semangat merebut kemerdekaan 70 tahun yang lalu. Berkenalan dengan teman jalan baru adalah ritual yang paling menarik, karena diatas kepala kita seribu tanda tanya berterbangan seperti apa nanti perjalanan serta petualangan yang akan kita hadapi.

Cek semua logistik, packing, juga cek kesiapan mental menghadapi medan yang belum pernah diinjak oleh kami semua dari rombongan Jakarta.  Sang Hanoman sudah siap kita recokin dan siap bersabar dengan celoteh para perempuan. Dengan doa yang tulus di hati masing-masing kami ber 6 ; Pak Ganden, Mama Ade, Mbak Mala, Balqis, Abang Al Idrus suami saya dan saya tentunya.

Jalanan Jakarta pagi ini lumayan lengang padahal bersiap menghadapi long weekend, arah Bandung sepertinya mulai padat sejak semalam, kami agak dagdigdug juga takut jalanan tersendat, banyaknya orang yang akan liburan menuju arah ujung pulau Jawa bagian barat. Alhamdullilah jalanan lancar  melalui tol JORR arah Tangerang menuju Serang, sempat mampir untuk sesuatu yang tidak boleh ditahan, perjalanan kami teruskan untuk bertemu dengan rombongan Serang.  Sesuai di rencana perjalanan kami akan bertemu di Mall Of Serang, tetap aja meeting pointnya yang gampang adalah Mall alias pusat perbelanjaan modern, padahal kita akan berpetualang ke alam bebas.

Petunjuk di  atas jalan tol sudah terlihat jelas yaitu Serang Timur, kami harus keluar dari jalan bebas hambatan menuju jalan banyak perempatan, sempat menunggu beberapa ratus detik terlihatlah tanda merah di pipi oh maaf salah itumah lagu, Oktin dan rombongan Serang yaitu Ayi serta Kang Lukman siap memandu kami menjelajah alam bebas dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, sesuai jurnal yang dibagikan Oktin kepada kami, serasa mau ujian tesis nanti disana.

Perjalanan dilanjutkan dengan kejutan luar biasa, mobil didepan yang memandu kami tidak mengenal namanya lampu sign, belok yang langsung belok, berhenti yang ngerem mendadak, ujian pertama sudah dimulai.  Para pereli Putri Paris Dakar di Hanoman mengeluarkan seribusatu aturan mengemudi dengan aman tapi sepertinya di daerah Banten cukup pengemudi dan Tuhan saja yang tahu kapan belok dan kapan berhenti dan di Jakarta itu hanya berlaku untuk Bajaj.

Kita sempat mampir ke Pasar di daerah Rangkas Bitung, katanya belanja kebutuhan untuk memasak, karena nanti kita yang akan masak, terutama bumbu-bumbu, karena didalam sana tidak mengenal garam dan sebagainya. Jajanan kaki lima sepanjang pasar menggoda untuk dicicipi tapi karena kita harus menjaga asupan makanan, takutnya nanti bermasalah karena akan timbul masalah berikutnya yaitu tidak ketersediannya tempat untuk mengeluarkan sesuatu senyaman yang ada dirumah masing-masing.

Oktin sempat bertanya mau cari sarapan dulu, kami memutuskan untuk langsung cari makan siang, sarapan sudah kami lakukan dengan menguyah roti. Jalanan yang kami lalui lumayan bersahabat tidak seperti saat kami pergi ke Sawarna yaitu kehadiran jalanan zebra, 10km jalananan ancur 1km mulus.

Sepanjang jalan kami disuguhi macam-macam atraksi jalanan yang membuat kami seru membahasnya, dari mulai tiba-tiba mobil depan berhenti dan mengangkut penumpang, kami kira itu bagian dari rombongan tenyata di tengah jalan turun, lalu duren, pete, rambutan menyambut dengan senyum minta untuk dicoba dengan membeli tentunya, ternyata banyak terdapat tambang pasir dipinggir jalan yang kami lewati dan yang menarik ada tulisan “Pasir 24 jam” sepertinya pasir disini lebih darurat di banding dokter dan rumah sakit, kita bahas sepanjang jalan dimana tingkat kedaruratannya itu pasir.

Kurang lebih 2,5 jam dari Serang kami masuk kearea parkir tempat makan yang cukup sederhana, tolong dicatat bukan rumah makan ‘Sederhana’ yang bayarnya tidak sesederhana namanya.  Dengan menu yang tidak begitu banyak kita semua mengisi perut sebagai awal persiapan menuju medan perang, menurut sang Pemandu yaitu Kang Luqman memilih makan disini untuk menghindari penuhnya tempat makan di titik awal pertualangan karena sepertinya akan banyak yang menjelajah alam Baduy. Ujian awal datang dari kamar mandi yang penuh dengan lubang yang bisa intip sana intip sini, padahal ada yang sudah dibangun bagus tapi tidak bisa dipakai, justru kamar mandi dengan penuh lubanglah yang berfungsi.

Perut sudah diisi, foto bersama sudah diambil, upload ke sosmed pun dilakukan selain untuk mohon doa restu juga untuk menggoda mereka yang telah mengurungkan niatnya bergabung dengan tim Serang, perjalanan kami lanjutkan menuju Ciboleger, sampai di tugu ‘Selamat Datang di Ciboleger’ dengan patung keluarga Baduynya, ternyata lumayan penuh parkiran karena ada acara motor cross ‘Saba Baduy’ terdapat panggung hiburan pula, siapa sangka ternyata minimarket yang disepanjang jalan kenangan ada, disinipun sudah hadir.

Di warung-warung yang menghadap panggung banyak anak-anak dan warga Baduy yang sedang duduk-duduk seperti menunggu pertunjukkan dimulai. Wajah mereka yang polos dan menggemaskan tidak luput untuk disapa dan diambil gambarnya.

Kami semua digiring ke satu warung yang kelihatannya tempat berkumpul sebelum mulai penjelejahan, disitu sudah ditunggu sama porter dan sang empunya rumah yang akan kami inapi malam nanti. Yang mau kebelakang dulu silahkan, tersedia tempat yang bersih dengan air yang cukup melimpah, juga untuk menunaikan ibadah tersedia mushola.

Kami semua bersiap untuk mulai petualangan yang sesungguhnya, disegerakan supaya tidak kemalaman dijalan.  Sebelum kami masuk area penuh cinta, kami harus kulonuwun dulu ke penanggungjawab pemerintahan setempat atau biasa disebut Jaro. kami isi buku tamu, berkumpul diarea tanah kosong, kami berdoa bersama dan melangkah pasti menuju Baduy Dalam. Dengan ditemani tiga punggawa Baduy Dalam yaitu Mang Aja sang pemilik rumah, Darmin juniornya Mang Aja, Mang Sapri dan Mang Arji dari Baduy luar mereka juga sekalian porter barang kami.

Berjalan beriringan lalu kami dapat suguhan sarapan perjalanan adalah tanjakan yang lumayan membuat nafas saya tersengal, ini baru awal perjalanan, inilah akibat olahraga yang sudah lama tidak hadir di agenda harian, mingguan bahkan bulanan saya, padahal masih dibawah 30 menit sedangkan perjalanan masih harus ditempuh 3,5 jam berikutnya. Tekad yang kuat, semangat pantang mundur, pelan tapi pasti saya terus melangkahkan kaki ditemani suami, ini trekking pertama bersama suami. Tapi lihat lincahnya tiga dara didepan yaitu Mama Ade, Mbak Mala dan Balqis patut jadi penyemangat dan target yang harus dikejar langkahnya.

Rombongan kecil kami dibelakang yaitu Saya, suami, Ayi, Oktin dan sang pengawal juga penyapu yang setia Mang Arji berjalan perlahan sambil bercerita ngalor ngidul mengalihkan lelah yang mendera serta mengatur napas yang kadang agak sulit diajak kerjasama. Mulai dari urusan kerjaan, keluarga, teman, juga tidak lupa budaya Baduy itu sendiri sembari mengagumi alam Baduy yang masih asri walaupun sangat disayangkan ada saja sampah berserakan disepanjang jalan, dari mulai bungkus permen, bungkus makanan kecil, bungkus air mineral, malahan bungkus dan puntung rokok tidak ditemukan. Sampai kapan orang Indonesia sebagian besar mengerti apa itu sampah, kalau bagi saya bungkus permen yang kecil saja adalah sampah yang sangat besar, mencolok mata merusak pemandangan.

Setiap setelah tanjakan ketemu dataran bagaikan ketemu oase di padang pasir, kadang berjalan di tanah merah basah, kadang berjalan dibebatuan kadang berjalan melewati sungai-sungai kecil yang airnya sangat jernih, ketemu lahan padi gogo yang luas bagaikan padang savana, ketemu pemandangan indah lukisan alam sang Pencipta yang hanya terlihat diatas kanvas-kanvas para seniman lukis. Kalau kami menemukan jalanan berbatu yang rapi dan berundak menanandakan itu dekat perkampungan atau lumbung-lumbung padi. Perkampungan yang kami lewati terlihat para perempuannya sedang menenun kain yang bisa kami beli hasilnya, berbagai warna dan corak menawarkan keindahan dan kekayaan budaya Baduy. Kang Lukman kadang menanti rombongan kecil kita di tempat-tempat tertentu sambil berseru ayo ibu-ibu PAUD semangat, sebentar lagi ketemu danau. 

Adakalanya nafas sudah susah diatur, kaki sulit diangkat, mata sedikit kunang-kunang, radar otak langsung memberi sinyal untuk mencari senderan, dudukan, pegangan, baik dibatu, dipohon besar, didinding tanah, dirumah penduduk atau rumah ladang.

Jarak antara rombongan kecil kami dengan tiga dara didepan lumayan jauh, kadang suara derap mereka hilang ditelan suara alam, tapi ada saat suara mereka nyaring terdengar dan itu biasanya mereka sedang ngaso, saat kami sampai mereka sudah bersiap untuk meneruskan perjalanan beberapa kali terjadi, kami pasrah, tapi beda saat danau yang disebutkan Kang Lukman menyambut kami dengan pemandangan Indah, saya berteriak....ohhh Ranu kumbolo mimpiku yang belum jadi nyata untuk mengunjungimu, dan masih tetap bermimpi untuk kesana, sekarang latihan dulu mengunjungi “Dandang Ageung”, kami semua sibuk berfoto sebelum aturan memakai elektronik dilarang. Danau ini adalah sumber air untuk penduduk di bawah. Seharusnya tidak ada bab kekurangan air didaerah Baduy dansekitarnya. Foto-foto selesai dan sempat membuat adegan titanic antara saya dan suami buat sirik yang lain pokoknya, perjalanan kami teruskan, tiga dara tetap memimpin terdepan.

Pertanyaan yang selalu terlontar ke Mang Arji yang berada di posisi paling belakang, berapa tanjakan lagi yang harus kami persiapkan nafasnya, jawabannya adalah tiga dan itu hanya PHP ( Pemberi Harapan Palsu ) belaka, setelah empat tanjakan kami lewati masih dijawab dengan jawaban yang sama yaitu tiga tanjakan lagi, sepertinya kalau bukan tanjakan 45’ itu bukan tanjakan tapi jalanan datar biasa cuma panjang dan semakin tinggi.

Ketika ketemu tanjakan panjang dan posisi Oktin ada paling depan serta ada diatas puncak, saya selalu teriak, “datar Tin”, saat Oktin jawab “belum”, rasanya ingin berlari dan berteriak kenapa tidak ada eskalator.

Tanjakan dan turunan masing-masing punya tantangan tersendiri, saat ketemu tanjakan kami harus mempersiapkan nafas dan keteguhan hati bahwa kita harus sampai puncak tanpa pingsan, saat ketemu turunan kami harus mempersiapkan pertahanan kaki jangan sampai remnya blong dan glundung.

Ditengah perjuangan menaklukan tanjakan ada saatnya ketemu surga tersembunyi yaitu tempat istirahat dengan persedian minum yang sepertinya disediakan oleh penduduk setempat bahkan dengan bonus rambutan walaupun rasa rambutan itu lebih asem daripada jeruk nipis, dan itu membuat mata melek dan siap kembali berjalan mengejar matahari yang mulai meredup.

Disaat sudah tidak mau bertanya berapa lama lagi sampai, jalanan mulai remang-remang, Ayi sudah hampir putus asa padahal 2007 pernah ke Baduy Dalam, tapi saat itu Ayi berjalan bersama orang yang dicinta, jadi beda semangatnya, sekarang jalannya sama tim rempong. Punggung Oktin mulai terasa berat menggendong ranselnya yang tidak dititipkan ke Porter, tiba-tiba ada seorang bapak dan ibu dari Baduy Dalam yang melintas dan Ayi minta digendong. Bapak itu cuma ketawa, dan ternyata bapak itu adalah Jaro Baduy Dalam, wah salah minta gendong, dan ibu itu adalah istrinya, tambah gawat, begitu menurut Mang Arji yang sempat berbincang dengan Jaro tadi.  Sebenarnya tidak banyak kita berpapasan dengan orang dari luar Baduy seperti rombongan kami, hanya ketemu satu rombongan kaum adam yang katanya dari Bogor. Kalau dengan rombongan kecil Baduy Dalam baik anak-anak dan dewasa lumayan sering yang membuat panas hati mereka berjalan cepat, lincah, tanpa alas kaki.

Hari mulai gelap, beberapa kali terdengar halilintar, kalau turun hujan akan lebih sulit lagi kami berjalan, dan menurut cerita kalau ada orang baru datang berkunjung ke Baduy Dalam hujan dipastikan turun, seperti nyanyian selamat datang mungkin.  Hanya bisa berdoa jangan sampai hujan turun ketika kami masih berjuang sampai ke tujuan, walaupun hujan itu adalah rejeki, kata suami saya rejeki akan lebih nomplok kalau hujannya turun saat kami semua sudah sampai di rumah Mang Aja.

Samar-samar terdengar suara peradaban ada teriakan-teriakan kegirangan, menurut Mang Arji kalau dirinya hanya butuh waktu 5 menit sampai tujuan. Kami sudah tidak tahu harus menghabiskan berapa lama disela sisa-sisa nafas, hanya tempat rebahan yang kami bayangkan dan itu adalah dorongan utama untuk segera sampai tujuan.

Dan terlihatlah beberapa orang baik perempuan maupun laki-laki yang sedang menikmati air sungai yang jernih, dipisahkan oleh jembatan gantung mana bagian mandi perempuan dan laki-laki sesuai dengan cerita yang saya baca, ternyata banyak juga yang sedang berkunjung ke Baduy Dalam ini.

Terasa ada nyawa baru kalau dalam permainan, terlihat jejeran atap rumah, yaitu kampung Cibeo dimana kami akan menghabiskan malam sebelum besok kembali berjuang menaklukan jalan menuju pulang.

 Mang Arji memandu kami menuju rumah Mang Aja, dan terlihatnya jejeran alas kaki milik rombongan terdepan, ohhh senangnya, kami ucapkan salam dan terlihatlah muka-muka lelah tapi senang tiada tara sedang rebahan diatas tikar pandan. Rombongan terakhir layaknya bintang tamu dalam satu pertunjukkan, yang duluan biasanya disebut band pembuka, itu adalah motivasi kami datang terakhir dan masuk pada bab ngeles. Rumah mang Aja yang bisa menampung kira-kira 20 orang, terlihat Kang Lukman sedang sibuk didapur bersama seorang ibu yang menggendong anak laki-laki itu adalah istri Mang Aja dan anak bungsunya. Lalu Mang Arji pun ikut sibuk meracik bumbu untuk persiapan hidangan makan malam, rombongan terakhir bukan mikir soal makan malam tapi meluruskan badan serta mengistirahatkan kaki yang sedikit dipaksa kerja keras melintasi alam yang menantang dan memberikan keindahan.  Lelah itu hanya fisik kalau untuk berceloteh tidak ada kata lelah, sambil rebahan sambil sibuk bercerita tentang jalanan yang tidak wajar saking beratnya dan perjalanan yang luar biasa menantang serta patut dicatat jalanan yang akan dilalui besok akan berbeda sesuai dengan sunah nabi, pergi dan pulang dengan jalan berbeda, kalau itu untuk jalan ke Masjid. Jalan seperti apa besok? Lihat besok saja.

Kang Lukman berseru air panasnya sudah ada, mama Ade dan saya bersiap membuat minum buat suami kita masing-masing, yang lainya buat sendiri-sendiri, maaf ya.  Sepertinya lelah cepat berlalu, kami sudah sibuk kembali, ada yang bersiap ke sungai untuk mandi, bersiap mandi dengan tisue, bersiap tidurpun ada, bahkan ada yang touch up takut sebentar lagi kedatangan tamu ganteng penduduk Baduy, karena menurut aturannya kami harus bersiap dikunjungi oleh penduduk setempat untuk berbagi cerita, memanjangkan umur, melancarkan rejeki dengan jalan silahturahim.

Hujan mulai menampakkan wajahnya, rintik-rintik terlihat dibatu jalanan depan rumah-rumah warga Cibeo, Tuhan mengabulkan doa kami, hujan turun saat kami sudah sampai. Terima kasih Tuhan. Menurut suami saya, yang datang bukan orang baru tapi orang Banten sendiri, jadi hujan tidak akan turun saat kami dalam perjalanan.

Pedagang souvenir Baduy mulai berdatangan didepan pintu kami, tiba-tiba ada bapak tua yang tidak membawa apa-apa menawarkan sesuatu yang berbeda yaitu memijat, saya tawarkan kedalam ternyata Ayi mau dan membuat janji, jam delapan nanti Ayi siap long beach alias dipijat, biar besok segar bugar dan berlari pulang melewati jalanan yang super duper diluar dugaan pastinya.

Rumah panggung tanpa jendela, beratapkan daun, berdinding anyaman bambu, dengan lantai juga dari bambu yang disusun tapi sudah dipecah, tanpa perabot dengan sentuhan modernisasi. Nikmatnya liburan tanpa suara denting dan dering alat komunikasi, tidak ada orang-orang yang asyik dengan mainannya masing-masing, disinilah waktu sangat berharga untuk berbagi cerita.

 Ada sosok yang membuat perbincangan ini tidak akan berakhir sampai kapanpun, bahkan sangat ditunggu dewasanya, karena sosok ini boleh keluar dari Baduy Dalam untuk berjalan ke daerah sekitar diluar Baduy bahkan sampai ke Jakarta. Sosok ini bernama Darmin, anak Mang Aja yang berumur tigabelas tahun, Darmin ikut ambil bagian dalam perjalanan yang menurut kami adalah luar biasa tapi sepertinya bagi Darmin seperti jalan ke dapur, begitu dekat dan tidak ada kata lelah. Darmin begitu sigap memandu dan menjaga tiga dara, dengan senyum yang penuh misteri kepolosan, atau mungkin kagum dengan tim kami, yang tidak ada habisnya berceloteh. Darminpun bertugas mengantar kami yang mau kebelakang. Darmin oh Darmin namamu akan selalu kami kenang.

Semerbak masakan dari dapur tanpa sekat layaknya dapur-dapur modern di perumahan elit, yang membedakan disini dapur kotor dan dapur bersih jadi satu, jadi satu dengan ruang tamu, ruang keluarga, ruang tidur kami, kecuali ruang tidur keluarga Mang Aja yang ada pintu sendiri depan dapur.  Sepulang dari bersih-bersih Oktin langsung bergabung dengan Kang Lukman, Mang Arji, Mang Aja dan istri menjadi koki, sepertinya Oktin sedang memegang senjata pamungkas yaitu ulekan, terbayang sudah sambel pedas nan nikmat.

Ternyata Mbak Mala juga sudah pesan tukang pijat tapi perempuan tepatnya seorang ibu, katanya dukun beranak yang bisa memijat juga dan biasa profesi dukun beranak mempunyai beberapa keahlian lain selain membantu melahirkan yaitu memandikan bayi baru lahir, memijat ibu yang baru lahiran, memijat bayi juga, bahkan memimpin ritual upacara kehamilan dan kelahiran.

Kang Lukman terlihat keluar dari ring tinjunya lalu melintas pintu dan tidak lama pulang membawa hasil, setangkai daun pisang yang cukup panjang dan lebar, lalu diletakkan ditengah rumah, dilap, Kang Lukman melangkah ke dapur membawa nasi dan centongnya lalu membagi nasi diatas daun tadi bagian per bagian, lalu telur dadar disimpan disamping nasi, berikutnya ikan asin ditutup pete goreng dan sambal hasil keroyokan Oktin dll, lalu mama Ade mengeluarkan abon dan kering tempe yang boleh diambil sama yang berminat. Botram ini namanya, semua gatal ingin ambil gambar tapi harus menahan diri dan taat pada aturan yang berlaku, memang moment unik ini bisa jadi trending topic di media sosial tapi semua hanya bisa jadi bingkai cerita dalam rangkaian kata.

Yang tadinya makan sempat tidak jadi tujuan utama saat perjalanan yang sangat melelahkan, melihat sajian menu sederhana yang mengalahkan menu restoran mewah maupun sajian hotel bintang tujuh sekalipun. Kamipun mengkavling masing-masing bagian dan siap melahap tapi Ayi masih dipijat sama bapak tua tadi, Ayi mempersilahkan kami makan duluan, dan kamipun heboh makan dengan beralaskan daun sebagai pengganti piring, inilah arti kebersamaan. Dan ternyata masih ada sekuali mie instan, biasanya mie instan jadi magnet utama kalau sedang perjalanan, sekarang agak tersingkirkan, paduan nasi merah yang dicampur putih dengan ikan asin, telur dadar dan sambal yang pedasnya pas, meluber indah dalam mulut, maknyosss pemirsa. Kang Lukman menyediakan gundukan nasi terlalu banyak, jauh melebihi jumlah orang yang makan, dan menurut aturan Ayi lah yang harus menandaskan semuanya karena sebagai peserta terakhir. Sampailah Ayi mengisi perutnya dengan makanan yang superenak, sebagian dari kami jadi penonton, dan Ayi menyerah kalau harus menghabiskan semua makanan diatas daun, jadi sampai pada bab berbagi, termasuk mie instan, hanya Mbak Mala yang sempat mencicipi karena penasaran, yang katanya enak juga. Sebagian makanan dan mie dikasih ke Mang Sapri porter tadi yang rumahnya berbeda.

Filosofi telur menurut Balqis, kalau telur mata sapi itu menunjukan individualis, kalau telur dadar menunjukkan kebersamaan, sederhana tapi menohok. Tapi kalau menurut saya mie instan plus telur itu menunjukkan BRI (bubur kacang ijo, rok*k, Indomi*)nya orang Kuningan.

Ada yang menarik dari perabot di rumah mang Aja ini yaitu piring dan tempat minumnya, piringnya layaknya keramik Cina masa lampau, lebar, tebal dengan hiasan biru nan klasik, Mama Ade langsung gatal ingin membawanya biar bisa ditempel didinding rumah. Begitupun dengan tempat minumnya galon mini terbuat dari kaca tebal ada yang warna coklat dan warna biru. Sekali lagi, tidak bisa diambil gambar. Kalau untuk gelasnya dari potongan bambu dan ini membuat air panas awet walaupun udara dingin kami harus bersabar menunggu teh panasnya menjadi sedikit dingin begitupun dengan kopinya, karena kalau langsung diseruput bahaya buat bibir dan lidah bisa melepuh seperti yang dialami oleh Ayi.

Kembali ke tukang pijat, menurut Ayi bapak tua ini tukang pijat pofesional dan harganya langsung ditentukan, 100k sekali pijat, wow sama dengan refleksi di Jakarta, tapi sangat memuaskan, beda dengan ibu tadi membayarnya boleh seikhlasnya. Mbak Mala yang sudah selesai dipijat penasaran dengan pijatan bapak tua, saking penasarannya Mbak Mala kembali dipijat setelah Oktin ternyata dipijat juga setelah Ayi tadi, Oktin gila sudah makan langsung pijat, untung tidak apa-apa.

Makan malam sudah, diteruskan dengan ngobrol yang benar-benar ngobrol tanpa ada gangguan teknologi yang membuat masing-masing sibuk sendiri, karena tamu dari penduduk setempat tidak hadir jadi aja kita ngobrol dengan Mang Aja sekeluarga, termasuk Darmin yang terus digoda oleh tiga dara.  Kesempitan dunia memang terasa juga disini, Mang Aja kenal dengan Om nya Balqis, bahkan dengan rekan kerjanya Oktin, Ayi dan Kang Lukman, selain karena banyak yang melakukan penelitian disini, juga karena mereka yang pernah tinggal disini memberi alamat dan suatu hari nanti ada kunjungan balasan dari mereka. Kami harus bersiap, tiba-tiba ada mereka didepan pintu rumah kami masing-masing.  Mereka tidak mengenal baca tulis tapi kalau dikasih alamat pasti sampai, luar biasa pokoknya.

Urusan pijat memijat selesai kami terus ngobrol ngalor ngidul sambil cari posisi tempat rebahan yang pas, Pak Ganden dan mama Ade pindah kavling ke pojok. Balqis sudah mapan dipojok dekat pintu masuk, disebelahnya Mbak Mala, saya dan suami ada disebrang mereka, disamping saya ada Ayi dan dibelakang kepalanya ada Oktin.  Rebahan adalah pilihan istirahat terbaik, rebahan sambil ngobrol tepatnya, tapi sepertinya satu persatu matanya mulai berat, Pak Ganden nyeletuk belum jam sembilan, masih harus nunggu Dunia Dalam Berita, dan kamipun tertawa, jadi ingat masa itu, tontonan favorite tahun 80an.

Penerangan yang mengandalkan senter dan lilin yang kita bawa, jadi berasa remang-remang gimana gitu, ini namanya romantis asli. Bukan Pak Ganden kalau tidak mengeluarkan celetukan, tiba – tiba ada suara “kok mati lampunya lama banget” hahahaha.

Mang Aja dan istri yang bernama ibu Sani ini mempunyai 6 anak yaitu Kodo, Arni, Darman, Darma, Darmin, yang terakhir namanya Adik, kalau Adik punya adik lagi tidak tahu akan dikasih nama apa.  Di Cibeo ini terdapat 94 rumah, hanya Cibeo yang bisa diinapi oleh pengunjung, Baduy Dalam terdiri dari beberapa kampung yaitu Cikertawana dan Cikesik.

Disela-sela menuju peraduan satu persatu ke belakang, biar nanti tidurnya tidak terganggu, dan ini tidak berlaku untuk diri sendiri, karena sudah mengantuk jadi lebih memilih langsung tidur, akibatnya jam satu malam terasa ingin ke belakang, si cinta dibangunin malah suruh ditahan, baru jam 4 buat keributan lari kebelakang, eh ternyata Ayi juga sama nahan cuma nunggu teman. Dan menurut mereka saya dan suami paling cepat tidurnya dengan suara dengkuran yang mengganggu orang lain tapi bangunnya juga lebih cepat dan sangat menganggu juga, maafkan kita ya, maklum kompak, kalau kata Balqis sebelum reinkarnasi saya dan suami adik kakak, dan ini untuk kesekiankalinya orang-orang mengatakan kami berdua mirip.

Keramaian subuh itu berlanjut yang lainnya turut bangun karena waktu ibadah sholat shubuh sudah tiba, dan panggilan pagipun ikut berseru, jadi rombongan-rombongan kecilpun gantian kebelakang, jangan bayangkan ke belakang itu adalah MCK tapi ini langsung disungai yang mengalir dengan airnya yang sangat jernih, apa yang diributkan dari seminggu sebelum keberangkatan yaitu dilarangnya penggunaan pasta gigi. Karena tulisannya dilarang menggunakan pepsodent kita pikir colgate boleh.

Bab sabun mandi bisa diatasi dengan tidak mandi atau mandi dengan tumbukkan daun honje seperti yang Oktin lakukan, untuk bab pasta gigi ini yang tidak ada penyelesaian mutakhir, ada beberapa alternatif boleh gosok gigi tapi jigong dan pasta giginya ditelan sekalian atau sikat gigi tanpa pasta gigi, pokoknya ini akan jadi bahasan tidak akan terlupakan.

 Sebenarnya masih kerasan tinggal dirumah Mang Aja yang katanya peralatan perang dapurnya paling lengkap diseantero Cibeoa, tapi kita juga harus memikirkan kembali pulang, jangan sampai terlalu siang.  Pulang.....dengan medan yang berbeda, dengan kaki yang pegal, punggung yang berat, membutuhkan suntikan semangat dua kali lipat dibanding pergi.

Kang lukman tidak tidur bersama kami, sepertinya memilih tempat yang lebih sunyi dibanding disini yang baterenya tidak habis-habis dan perjalanan kembali ke Ciboleger membutuhkan stamina yang cukup, tapi pagi itu Kang Lukman sudah sibuk di dapur mempersiapkan sarapan, sarapan dengan menu nasional yaitu goreng nasi sisa semalam.

Pedagang souvenir dan madu kembali lalu lalang dipintu dan Mang Ajapun menjual beberapa gelang dan tas dari akar kayu. Ada pedagang souvenir bernama Mang Jali yang menyempatkan ngobrol, dia hapal betul daerah Ampera,Kemang, sency bahkan Central park, pernah menginap di Marbela dan makan makanan siap saji. Mereka bercerita tidak boleh naik alat transportasi kemanapun mereka pergi, hanya dengan jalan kaki mereka mencapai tujuan dan pulang kembali. Sampai Jakarta memerlukan 3 hari dengan jalan kaki.

Dipojokan Balqis dan Mbak Mala sudah sibuk dengan peralatan make up, ini jelajah alam tapi kalau soal poles memoles plus mempercantik diri memang tidak mengenal tempat, sebagian dari kami sibuk packing.

Setangkai daun pisang kembali tergelar, nasi goreng dibagikan bagian perbagian, kita kembali berkumpul di putaran daun pisang, menikmati sarapan yang sama nikmatnya saat makan malam tadi malam. Rasanya enggan meninggalkan kebersamaan ini,

Satu persatu barang sudah disusun oleh porter yang tidak lain adalah sang empunya rumah ditambah Mang Sapri dan Mang Arji, kita keluar dari rumah dan memakai alas kaki masing-masing, berat rasanya, sebelum kembali menempuh jalanan keren, kami diajak keliling dulu di perkampungan Cibeo, ditunjukkan mana alun-alunnya, yang hanya lahan luas ditengah – tengah kampung dan diarah tusuk satenya terdapat rumah Puun atau sesepuh kampung tersebut yang tidak semua orang bisa ketemu dengannya, kadang hanya hadir saat upacara kebesaran. Ada sekumpulan orang-orang yang sedang menikmati api unggun dipagi hari, salah satu diantaranya adalah Jaro yang kemarin ketemu dijalan, dan Jaro itu masih ingat sama kita, terutama Ayi yang minta digendong, kalau tidak bareng istri saya pasti di gendong sembari bercanda Jaro tersebut berseloroh. Ayi langsung salah tingkah. Jaro juga mengingatkan ada jembatan yang sedang diperbaiki.

Menurut berita yang kami dengar perjalanan pulang ini medannya tidak seekstrim kemarin, lebih landai katanya tapi kami tidak percaya karena disini penuh dengan PHP, karena pengertian datar, landai, tanjakan dan turunan beda semua. Jadi mari kita berdoa bersama agar dikuatkan dalam perjalanan walaupun mungkin tetap perlahan tapi pasti.

Dibuka dengan melintasi jembatan gantung yang berbeda dengan ketika masuk ke Cibeo, jalan dibawah pohon-pohon besar dengan aroma udara basah yang menyeruak, jejeran lumbung padi, dan dimulai dengan tanjakan curam nan tinggi dan panjang, jantung kembali diuji, setelah mengatur nafas sedemikian rupa, kita ketemu rumah ladang dan dataran yang agak panjang, terlihat Pak Ganden dan tiga dara sibuk berfoto ria, menurut Mang Sapri disitu sudah diperbolehkan alat elektronik, menurut Kang Lukman biasanya baru boleh setelah melewati sungai, yang penting izin dari Orang Baduy Dalam tapi mungkin juga para Baduy Dalam ini tidak kuat ingin narsis juga.

[caption caption="Mang Sapri, Pak Ganden, Mama Ade, Mang Aja dan Darmin"]

[/caption]

Selesai ambil gambar perjalanan kami teruskan, ini masih dalam tahap pemanasan, tak disangka tanpa dinyana kami diberikan medan turunan yang membutuhkan sholat penunjuk jalan yang benar, kiri jalanan tanah nan licin tanpa ada pijakan, tengah jalan berbatu bekas aliran air yang curam, kanan jalanan tepi jurang, disini dibutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, salah langkah bisa dung glundung, serasa perjalanan tanpa tepian panjang banget, kadang ada pegangan sebelah kanan, kadang tidak, tidak terbayangkan kalau kemarin lewat tanjakan ini, sepertinya tidak sanggup, lebih baik curam tapi ada pijakan daripada landai tapi tidak ada penahan buat kaki.

Menemukan rumah ditengah perjalanan biasanya buat istirahat meluruskan punggung tapi rumah ini menawarkan sesuatu yang berbeda, yaitu menawarkan durian yang baru jatuh, saya dan suami jalan terus tapi Kang Lukman, Ayi dan Oktin sedang barter dengan ibu penjual durian, barter dengan rupiah tentunya.  Sepertinya target Kang Lukman tercapai, karena beberapa kali ke Baduy belum datang musim durian.  Sepanjang jalan memang banyak ditemukan pohon buah-buahan, ada durian, rambutan, manggis, kecapi juga pohon petai, dari kemarin berharap ada durian jatuhan dan itu bisa jadi milik yang melihat pertama, kalau ambil dari pohon harus seijin yang punya pohon.

Sayup-sayup terdengar suara keramaian, sepertinya ada orang banyak dibawah, ada juga suara bambu yang dibelah, bambu diluncurkan dari atas, suara bambu beradu dan aliran air yang cukup deras. Semain dekat semakin jelas kerumunan orang, ternyata inilah tempat jembatan yang sedang diperbaiki itu. Saya berpikir apakah kami harus menunggu jembatan ini selesai atau melintasi sungai yang lumayan lebar dengan arus lumayan deras tanpa alat pengaman.  Sembari asyik lihat orang bekerja bakti dengan peralatan sederhana dan bahan-bahan jembatan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, bahan jembatan hanya terbuat dari bambu yang diikat oleh tali ijuk, pemandangan ini adalah perilaku asli manusia Indonesia, gotong royong, saling bahu membahu, tanpa meributkan perbedaan yang paling penting adalah manfaat yang didapatnya seperti apa.  Tiba-tiba Mang Sapri teriak durian, lalu durianpun dibuka rame-rame, ya durian yang tadi dibeli oleh Ayi dinikmati oleh kita semua, ini namanya rejeki nomplok yang tidak semua orang bisa rasakan, duriannya tidak setebal montong tapi rasanya juara, dilihat kasat mata seperti durian mentah tapi saat digigit nendang abis, uenake pake bingits.

[caption caption="Terima Kasih Ayi atas duriannya"]

[/caption]

Darmin sudah tidak ada depan mata ternyata sudah nyebrang sungai, dan kamipun harus siap-siap menyebrang juga, tiga dara sibuk buka sepatu, Mang Sapri, Mang Aja dan Mang Arji siap memandu, satu persatu kami turun ke sungai , menyebrang arus yang sepertinya asyik dipakai arung jeram atau body rafting, saya yang mungil dan lucu lumayan kelelep, jadi tangan kanan berpegangan Mang Arji dan tangan kanan pegang ke tangan suami, takut terbawa arus,  Kang Lukman ada dipaling akhir rombongan kami sewaktu menyebrang. Airnya dingin dan menyegarkan, tidak ada polusi bahan kimiawi, ini adalah hasil dari syarat dan ketentuan yang berlaku disini, tidak boleh pake pasta gigi dan sabun untuk menjaga kelestarian alam.  “mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah ke Samudera, bersama teman berpetualang” lagu yang sering disenandungkan oleh suami di rumah, semua menjadi nyata disini.

Jadi kangen sama Panji Family lengkap dengan si birunya, pasti dapat petualangan dan cerita berbeda seperti waktu di Pulau Sempu, siap dengan tali dsb, serasa jadi Pramuka. Trip edan yang tidak akan pernah lupa bersama tim cewek-cewek Bandung.

Disapa oleh alam liarnya Baduy dengan hadirnya tikus saat menyebrangi sungai yang dilihat Mama Ade, Kalajengking dengan posisi siap mempertahankan dirinya dengan racun terlihat diujung ekornya, kaki seribu yang berukuran tidak lazim yaitu lebih dari 15cm dan besarnya sebesar jempol kaki saya.

Langkah demi langkah terus kami susuri, kaki yang mulai terasa berat, tapi semangat cinta tanah air menggelora, terima kasih Tuhan kami dilahirkan dibumi pertiwi, bumi nusantara dengan segudang keindahan yang tidak akan pernah tamat untuk dinikmati. ‘Walaupun banyak negeri kujalani, yang makmur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, disanalahku rasa senang, tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan’.

Satu persatu kampung kami lalui, kedamaian terasa, rukun, guyub, ramah dan saling menyapa, sebagai catatan Mereka menikmati dengan keterbatasan mereka, mereka tidak demo dengan ketidakhadiran teknologi, mereka tidak menjerit dengan kemewahan yang kesannya jauh dari mereka

Bagi kami orang-orang Baduy ini memiliki wajah yang khas baik perempuan maupun laki-lakinya, perempuannya cantik-cantik, berkulit mulus, mbak Mala malah sempat ingin beli king masker mereka, tapi Mama Ade teriak, loe pikir ini Korea. Begitupun laki-lakinya boleh dikatakan CoGan – CoGan alias Cowok-cowok ganteng, boyband Korea kalah jauh deh, bahkan beberapa kali kami lihat anak-anaknya berambut pirang, berwajah putih dan gembil seperti orang bule.  Ini juga bagian dari motivasi kami untuk tetap semangat berjalan.

Arah jalan yang kami lewati saat pulang ini disebutnya jalur Gazebo, pertamanya tidak tahu kenapa disebut jalur Gazebo, ternyata Gazebo itu adalah tempat dimana terdapat jembatan yang banyak dikunjungi orang yang berwisata tetapi tidak sampai ke Baduy dalam, cukup sampai Gazebo saja. Banyak muda-mudi berfoto ria, yang buat kagum ada yang pake sepatu wadges dengan jalanan offroad, acungi jempol sepuluh deh.

Ayi menghabiskan 7 botol sedang air mineral, sepertinya tidak keluar lewat keringat, jadi Ayi berjalan sedikit cepat mencari mck. Ditengah perjalanan banyak ketemu rombongan yang mau pelesir ke Gazebo dan mereka selalu bertanya, masih jauh atau sudah dekat, selain banyak yang pakai sepatu kondangan merekapun banyak yang pake baju kondangan, rapi jali nggak nguati.

Mang Arji terus menyemangati kami, nanti bisa istirahat dirumahnya. Sampailah kami dirumah Mang Arji, Pak Ganden dan tiga dara serta Kang Lukman sudah asyik menikmati kopi hitam sachet cap oplet dengan gula aren, sajian istimewa apalagi yang kami dapat kali ini, kopinya yang tidak terlalu asam tapi jadi doping yang joss ditengah kelelahan perjalanan. Kami pikir sampai Ciboleger tinggal selemparan batu, itu hanya mimpi belaka, justru ngaso ditambah ngopi adalah mempersiapkan nafas lebih panjang guna bersua dengan tanjakan terakhir sebelum base camp awal.  Terbayang kembali tanjakan sebelum masuk Cibeo, tanjakan yang panjang dan lama seperti iklan choki-choki masa lalu. Terima kasih Mang Arji dan keluarga atas jamuan yang luar biasa. Mang Arji malah sempat mandi dulu, karena takut kehabisan air di Ciboleger.

Semangkaaaa eh semangat, kalau katemu rombongan yang akan ke Gazebo masih biasa tapi kalau ketemu rombongan menuju Baduy Dalam, langsung kepikiran jalan yang akan mereka lewati, tidak melihat wajah kami-kami ini apa.

Langit kembali mendung, kami harus mempercepat langkah, walaupun sebenarnya masih ingin lihat para perempuan menenun kain. Boleh dikatakan masyarakat Baduy adalah masyarakat mandiri, semua pemenuhan sandang, pangan dan papan dipenuhi oleh hasil alam mereka sendiri. Dari mulai padi menanam sendiri,sayur juga selain menanam dapat dari hutan,  baju menenun sendiri, sampa alat dapur memproduksi sendiri. Terutama untuk Baduy Dalam, kalau masyarakat Baduy Luar sudah terkontaminasi sama modernisasi, terlihat ibu-ibu yang sedang main hp walau[un tidak ada listrik, mungkin isi baterei HP harus kebawah dulu.

Sampailah kami di gerbang ‘Selamat Jalan’, kalau dari arah pergi kemarin tulisannya ‘Selamat Datang’, ingin rasanya terbang menuju tempat istrihat sementara, akhirnya sampai juga, terlihat Pak Ganden sedang ngaso diluar warung, didalam tiga dara malah sudah selesai makan siang, dengan menu ikan tongkol dan sayur asem.

Tos-tosan kami lakukan, semangat membara kembali hadir, saling bercerita pengalaman perjalanan tadi. Saya dan suami merayakannya dengan memilih teh panas dan mie instan dalam kemasan sebagai menu siang ini.

Perjalanan ke Baduy ada di daftar mimpi saya sejak SMA, selain karena nenek ada darah Banten dimana suku Baduy berdomisili, juga menarik akan kehidupan mereka yang masih menjaga adat dan tradisi mereka dari serbuan teknologi di era modern.

Ketika sahabatku Oktin berlabuh di Banten untuk suatu program terbersit untuk menjelajah Banten dan sekitarnya, tapi melihat kesibukan dia melebihi RI-1 jadi susah banget cari waktu yang tepat. Rencana perjalanan yang tercetus dari obrolan-obrolan biasa di group laman lini masa, akhirnya jadi juga kami berangkat. Oktin tetaplah Oktin, liburanpun masih disibukkan dengan pekerjaan.

Ada rombongan lain yang masuk dan siap menuju Baduy Dalam, hujanpun turun dengan derasnya, saya tidak bisa membayangkan dengan seksama, jalan yang akan mereka lalui ditengah hujan semoga hujan hanya disini, diatas sana tidak, karena kalau kemalaman dijalan akan melahirkan persoalan baru.

Setelah makan, bersih-bersih, beribadah, bersiap untuk pulang, Hanomanpun siap direcoki kami kembali dengan cerita tidak ada bab penghabisan, cerita lebih seru dari kemarin.  Sebelum perjalanan ini kemarin dimulai saya membaca beberapa artikel soal Baduy dan detail perjalanannya, yang pada intinya perjalanan di tempuh 3-4 jam dari titik awal tanpa ada yang menggambarkan seperti apa medannya. Menurut Mang Arji arah Baduy Dalam kemarin saat pergi itu sepanjang 12 km dengan medan terjal dan sangat bersahabat dengan namanya tantangan berbeda, pulannya 10km tapi tidak securam kemarin. Dirata-ratakan oleh kami pulang – pergi ditempuh dengan waktu yang sama 3,5 jam buat Pak Ganden dan tiga dara, rombongan kecil kami menghabiskan 4 jam.

Gelang sipaku gelang, mari pulang, marilah pulang ,marilah pulang, bersama-sama. Jalan raya yang akan dilewati sama dengan yang kemarin, akan ketemu pedagang durian, petai dan rambutan, tidak lupa juga dengan pasir 24 jam.

Sempat terlelap tiga dara dalam Hanoman, saya menikmati perjalanan pulang menemani suami yang jadi navigator Pak Ganden, serah terima asli telah terjadi, biasanya saya yang jadi navigator.  Tiba-tiba pada bangun dan sibuk membahas enaknya makan baso disore yang gerimis dan lumayan sejuk. Saya minta referensi Oktin untuk menunjukkan tukang baso maknyus daerah Serang, kata Oktin ada dekat kantor tapi tidak tahu buka atau tutup, karena kalau minggu banyak pedagang bakso yang tutup. Setelah sempat kebingungan dibawa ke jalan kecil belok-belok kami pikir mau dibawa kemana, ternyata Oktin menunjukkan tukang baso favoritenya.

Kami parkir di bakso dan Mie Ayam KPN, lumayan penuh dan selalu ada adegan menGPK (Gerakan Pemaksaan Kehendak) orang agar cepat makannya dan cepat pergi, maafkan kami, itulah kami tim hore yang luar biasa. Perut sudah diisi bakso atau mie ayam, mimpi sudah jadi kenyataan mencari bakso sepanjang jalan tadi. Tibalah saat paling berat berpisah dengan tim Serang.

Terima kasih Oktin, Ayi dan Kang Lukman, kalian sangat luar biasa, service sangat memuaskan, nantikan reuni tim Baduy berikutnya. Selamat kembali bekerja mengabdi untuk negeri, memajukan pendidikan anak bangsa, tetap semangat mengejar cita dan cinta.

Hanoman gagah berani melaju diatas jalanan menuju ibukota, kami memasuki jalan bebas hambatan. Menurut aplikasi waze jalanan akan lancar tanpa hambatan, walaupun sempat dapat kabar JORR Pasar rebo macet karena ada kecelakaan tapi terlihat bukan warna merah di gadgetnya suami saya, semooga sampai sesuai perkiraan, tiba-tiba Balqis berseru menunjuk pelangi di sebelah kanan kendaraan, betapa berkesannya perjalanan yang penuh perjuangan ini ditutup dengan pelangi yang memancarkan keindahan.

Sebelum sampai Ampera mengantar Mbak Mala sang Mandiri ke rumahnya, perempuan luar biasa dalam perjalanan ini, jatuh bangun, berlari, melompat guna mendapatkan kartu mandiri dari suami.  Salam buat junior yang tidak percaya bapaknya punya pulsa. Tongkat naga geni tidak ketinggalan, tongkat kenangan yang setia menemani perjalanan, tiga dara ini pake tongkat naga geni semua, mama Ade akan ditempel didinding sebagai barang bukti, kalau Balqis nangis bombay tongkatnya diambil rombongan yang tadi masuk Baduy Dalam, tapi mungkin suatu hari Mang Aja mengantarkannya sampai depan rumah. Hanoman akhirnya sampai rumahnya, Pak Ganden, Mama Ade terima kasih untuk segalanya. Buat Balqis kalau kita ke Bogor boleh mampir ya.

Memulai cerita harus darimana dulu sering membuat saya galau karena perjalanan yang sangat berkesan, setiap langkah ada seribu kata yang bermain dialam pikiran, setiap desiran angin memberi kabar indahnya ciptaan Sang Maha Kuasa, diatas semua hanya ungkapan senang dan bangga, maaf apabila ada kata dan kalimat yang membuat tidak enak hati.

Terima kasih semua untuk menjadi bagian dari cerita indah dalam hidup saya beserta suami yang nanti akan kita ceritakan pada anak cucu. Menikmati alam dengan segala keasliannya adalah enugerah terindah yang pernah kita miliki, Amien YRA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun