Kami semua digiring ke satu warung yang kelihatannya tempat berkumpul sebelum mulai penjelejahan, disitu sudah ditunggu sama porter dan sang empunya rumah yang akan kami inapi malam nanti. Yang mau kebelakang dulu silahkan, tersedia tempat yang bersih dengan air yang cukup melimpah, juga untuk menunaikan ibadah tersedia mushola.
Kami semua bersiap untuk mulai petualangan yang sesungguhnya, disegerakan supaya tidak kemalaman dijalan. Sebelum kami masuk area penuh cinta, kami harus kulonuwun dulu ke penanggungjawab pemerintahan setempat atau biasa disebut Jaro. kami isi buku tamu, berkumpul diarea tanah kosong, kami berdoa bersama dan melangkah pasti menuju Baduy Dalam. Dengan ditemani tiga punggawa Baduy Dalam yaitu Mang Aja sang pemilik rumah, Darmin juniornya Mang Aja, Mang Sapri dan Mang Arji dari Baduy luar mereka juga sekalian porter barang kami.
Berjalan beriringan lalu kami dapat suguhan sarapan perjalanan adalah tanjakan yang lumayan membuat nafas saya tersengal, ini baru awal perjalanan, inilah akibat olahraga yang sudah lama tidak hadir di agenda harian, mingguan bahkan bulanan saya, padahal masih dibawah 30 menit sedangkan perjalanan masih harus ditempuh 3,5 jam berikutnya. Tekad yang kuat, semangat pantang mundur, pelan tapi pasti saya terus melangkahkan kaki ditemani suami, ini trekking pertama bersama suami. Tapi lihat lincahnya tiga dara didepan yaitu Mama Ade, Mbak Mala dan Balqis patut jadi penyemangat dan target yang harus dikejar langkahnya.
Rombongan kecil kami dibelakang yaitu Saya, suami, Ayi, Oktin dan sang pengawal juga penyapu yang setia Mang Arji berjalan perlahan sambil bercerita ngalor ngidul mengalihkan lelah yang mendera serta mengatur napas yang kadang agak sulit diajak kerjasama. Mulai dari urusan kerjaan, keluarga, teman, juga tidak lupa budaya Baduy itu sendiri sembari mengagumi alam Baduy yang masih asri walaupun sangat disayangkan ada saja sampah berserakan disepanjang jalan, dari mulai bungkus permen, bungkus makanan kecil, bungkus air mineral, malahan bungkus dan puntung rokok tidak ditemukan. Sampai kapan orang Indonesia sebagian besar mengerti apa itu sampah, kalau bagi saya bungkus permen yang kecil saja adalah sampah yang sangat besar, mencolok mata merusak pemandangan.
Setiap setelah tanjakan ketemu dataran bagaikan ketemu oase di padang pasir, kadang berjalan di tanah merah basah, kadang berjalan dibebatuan kadang berjalan melewati sungai-sungai kecil yang airnya sangat jernih, ketemu lahan padi gogo yang luas bagaikan padang savana, ketemu pemandangan indah lukisan alam sang Pencipta yang hanya terlihat diatas kanvas-kanvas para seniman lukis. Kalau kami menemukan jalanan berbatu yang rapi dan berundak menanandakan itu dekat perkampungan atau lumbung-lumbung padi. Perkampungan yang kami lewati terlihat para perempuannya sedang menenun kain yang bisa kami beli hasilnya, berbagai warna dan corak menawarkan keindahan dan kekayaan budaya Baduy. Kang Lukman kadang menanti rombongan kecil kita di tempat-tempat tertentu sambil berseru ayo ibu-ibu PAUD semangat, sebentar lagi ketemu danau.
Adakalanya nafas sudah susah diatur, kaki sulit diangkat, mata sedikit kunang-kunang, radar otak langsung memberi sinyal untuk mencari senderan, dudukan, pegangan, baik dibatu, dipohon besar, didinding tanah, dirumah penduduk atau rumah ladang.
Jarak antara rombongan kecil kami dengan tiga dara didepan lumayan jauh, kadang suara derap mereka hilang ditelan suara alam, tapi ada saat suara mereka nyaring terdengar dan itu biasanya mereka sedang ngaso, saat kami sampai mereka sudah bersiap untuk meneruskan perjalanan beberapa kali terjadi, kami pasrah, tapi beda saat danau yang disebutkan Kang Lukman menyambut kami dengan pemandangan Indah, saya berteriak....ohhh Ranu kumbolo mimpiku yang belum jadi nyata untuk mengunjungimu, dan masih tetap bermimpi untuk kesana, sekarang latihan dulu mengunjungi “Dandang Ageung”, kami semua sibuk berfoto sebelum aturan memakai elektronik dilarang. Danau ini adalah sumber air untuk penduduk di bawah. Seharusnya tidak ada bab kekurangan air didaerah Baduy dansekitarnya. Foto-foto selesai dan sempat membuat adegan titanic antara saya dan suami buat sirik yang lain pokoknya, perjalanan kami teruskan, tiga dara tetap memimpin terdepan.
Ketika ketemu tanjakan panjang dan posisi Oktin ada paling depan serta ada diatas puncak, saya selalu teriak, “datar Tin”, saat Oktin jawab “belum”, rasanya ingin berlari dan berteriak kenapa tidak ada eskalator.
Ditengah perjuangan menaklukan tanjakan ada saatnya ketemu surga tersembunyi yaitu tempat istirahat dengan persedian minum yang sepertinya disediakan oleh penduduk setempat bahkan dengan bonus rambutan walaupun rasa rambutan itu lebih asem daripada jeruk nipis, dan itu membuat mata melek dan siap kembali berjalan mengejar matahari yang mulai meredup.