Mohon tunggu...
Nuzul Mboma
Nuzul Mboma Mohon Tunggu... Peternak - Warna warni kehidupan

Peternak ayam ketawa & penikmat kopi nigeria.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Stigma Tak Berujung

12 Juli 2020   16:41 Diperbarui: 12 Juli 2020   16:28 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlihat lampu-lampu bercahaya lemah berpendar menyirami sinarnya ke setiap sudut alun-alun. Beberapa pohon tabebuya berbaris sejajar, kering tanpa sehelai daun membuat malam semakin hening. Suara jangkrik di dekat pohon beradu dengan hembusan pelan nafas seorang manusia. Beberapa orang terlihat lalu lalang sesekali menatap ke arah Lelaki Tua yang mengenakan celana corduroy dan kaos putih usang. Wajahnya terlihat samar-samar terkena lampu diatasnya, membisu bak patung di sebuah bangku. Pukul 12 lewat sedikit ia belum juga beranjak pergi.

Malam sebelum peristiwa itu, Lelaki Tua sangat yakin kalau pesan dari surat yang dia terima bisa dipercaya bahwa ia pasti akan bertemu anaknya kembali setelah minggat dari rumah tiga bulan lalu. Sembari menunggu di sebuah bangku hingga pantatnya kesemutan duduk berlama-lama, ia berjalan-jalan kecil sejenak lalu kembali duduk di bangku seperti semula. Gelisah menanti kedatangan Burhan -anaknya. Sudah dua jam lewat. Mengamati kiri-kanan kalau-kalau anaknya tak melihatnya duduk disitu atau menatap lirih ke tanah seraya membisikkan kata yang samar-samar terdengar.

"Jangan-jangan ini hanya tipuan, anakku pasti takut menemuiku."

***

Sahar, teman Burhan, hanya bisa mengawasi gerak-gerik Lelaki Tua dari kejauhan. Tak mau mendekat atau sekedar menyapanya karena ingat dengan pesan Burhan beberapa jam lalu;

"Har, kau kenal kan Bapa'ku. Kalau kau lihat ia telah datang di sebelah selatan alun-alun. Kunjungi aku ya di Wisma Sentosa. Aku mau kesana sebentar. Soalnya ada janjian dengan orang."

Sahar, Burhan dan teman-temannya yang lain nyaris saban hari bersua di sisi barat alun-alun kota. Sepanjang jalan tempatnya berkumpul terlihat remang-remang, hanya beberapa bohlam yang memandikan cahayanya, dan sisanya dari pijaran bintang-bintang malam. Semua memiliki tujuan yang sama, menunggu sesuatu yang pasti. Sesekali jika ada penertiban, mereka berpencar mencari perlindungan. Tapi, siapa juga yang ingin melindungi mereka? Di saat sindiran datang bertubi-tubi dari orang-orang yang menganggapnya seperti hantu. Antara ada dan tiada.

***

Semenjak anak semata wayangnya minggat dari rumah dan belum juga kembali sampai saat ini, Lelaki Tua mengalami depresi, merasa bersalah bercampur dengan amarah. Yang paling membuatnya khawatir ialah motor satu-satunya yang biasa dipakai berjualan obat ikut diboyong anaknya. Dasar anak kepala batu. Sumpah serapah keluar dari mulutnya bila mengingat kembali kejadian itu.

Seringkali letupan-letupan pertengkaran muncul ketika Lelaki Tua melihat anaknya mengulangi kebiasaan buruk seperti mandi malam atau hal-hal yang dianggap sepele oleh Burhan. Satu waktu ia menegur;

"Burhan, hentikan kebiasaan burukmu mandi malam! Tidak lama kau terkena penyakit TBC jika keseringan mandi jam segini. Dimana ambil uang biayai ongkos rumah sakit jika kau sakit?!"

"Ah Bapak! Marah-marah terus!" celetuk Burhan.

Kadang kala uang dalam dompet yang disimpan dalam bufet sering lenyap dan ia tahu siapa yang mengambil uang itu. Suatu hari pada saat ada hajatan pesta, Lelaki Tua ingin meminjam celana hitam anaknya yang seukuran dengan pinggangnya. Tapi hari itu Burhan tak ada di rumah. Ia langsung masuk ke kamar anaknya membuka lemari. Sontak kaget saat menemukan alat make-up wanita di sela-sela lipatan baju dan sepasang beha di bawah lipatan celana.

Perbuatan Burhan masih dalam batas kewajaran, menurutnya, tapi kali ini kelakuannya sudah tak bisa lagi diampuni -- Sudah 3 bulan minggat dengan membawa kabur motor kesayangannya.

Kejadian nahas itu bermula saat Burhan menunggu Lelaki Tua tertidur pulas dan merencanakan tekadnya untuk minggat dari rumah. Tak kuat dengan stigma dan sindiran-sindiran warga pinggiran kota yang menghujat dirinya karena aib bagi lingkungan. Ditambah kelakuan Bapaknya yang sering mengeluarkan kata-kata mengiris hati. Malam itu pun ia melesat pergi membawa motor Honda Astrea keluaran 1992 beserta setumpuk pakaian dalam ransel.

"Cuih! aku tak sudi lagi tinggal disini." gumamnya pada diri sendiri.

Hanya burung hantu yang bertengger di atas pohon mangga yang melihatnya meninggalkan rumah.

***

Suatu ketika Lelaki Tua mendapat kabar dari Udin -tetangganya. Seorang satpam bank swasta tak jauh dari alun-alun. Jika kebetulan mendapatkan jadwal piket malam Udin sering melihat Burhan melintas ke alun-alun dengan penampilan seperti layaknya perempuan.

"Apa yang dia perbuat disana," ucapnya terdengar pelan.

"Betulkah gosip yang dikatakan orang-orang selama ini."

Pergunjingan pun tak berhenti berhembus dari mulut ke mulut warga di pinggiran kota.

Dalam satu mimpi panjang lelaki tua merasa bahwa rumah kontrakannya tiba-tiba di datangi debt collector, menagih cicilan motor yang tertunggak lima bulan lantas menyeretnya keluar rumah. Mendengar caci makian dari pemilik rumah yang datang menagih uang sewa kontrakan atau melihat buaya dan ular sawahnya mati dibakar orang dalam kandang.

Ia salah satu dari ratusan tapol yang dibebaskan dari tanah pengasingan Moncongloe. Mengadopsi anaknya kembali dari tangan Abbas, saudaranya di Galesong dan memulai kembali menata hidup di Makassar. Pengepul kerang di pantai, buruh pelabuhan dan terakhir berprofesi sebagai tukang rombeng. Namun, semua ia tinggalkan karena berbagai persoalan.

Berkat bantuan pinjaman modal dari saudara. Lelaki Tua memutuskan berjualan obat perontok bulu, ilmu meracik herbal yang ia peroleh selama di kamp pengasingan. Berkeliling di berbagai tempat di lokasi strategis atau pada akhir pekan berlabuh di alun-alun Karebosi. Berjualan tepat di bawah pohon besar beringin tua. Di kanan-kiri dipenuhi pedagang es gerobak, para sopir angkot yang melepas penat bermain catur, atau penjual jalangkote yang menunggu dikerubungi pengunjung yang lapar.

Jika dilihat dari kejauhan pohon beringin itu sangat asri dan berusia ratusan tahun. Penuh dengan cerita mistik dan konon katanya jangan sekali-kali mencoba menebang pohon itu kalau tak ingin mati mendadak !

Lelaki Tua mengemas obatnya dalam kemasan botol kecil dan memajang diatas tikar berukuran 2 x 3. Jika keramaian mulai terlihat, ia membuka peti dari kain hitam. Berisi dua reptil. Dan mulai berakrobat memasukkan tangannya ke dalam mulut buaya atau sebaliknya, mengambil ular sawah seukuran kaki lelaki dewasa lalu melilitkan di lehernya sebagai daya tarik pengunjung untuk mendekat. Buaya dan ularnya seakan-akan paham atas perintah tuannya.

Ketika pengunjung mulai berdatangan di sekelilingnya ia ucapkan kata pembuka:

"Mari, sini, jangan sungkan. Kalau anda ingin bulu yang tumbuh di kaki, diatas bibir atau bulu dalam celana anda rontok. Belilah ramuan obatku. Manjur. Tentu saja murah. Hanya empat ratus rupiah." ujarnya bersemangat.

Para pengunjung awalnya tak langsung percaya tapi tertarik membeli setelah melihat si Lelaki Tua membuktikan apa yang dia ucapkan. Ia mengambil sebilah kapas yang telah dicelup kedalam botol berisi cairan obat seraya menunjuk seorang pemuda untuk maju ke depan.

"Apa obat itu mujarab Pak Tua, tak berefek samping kah?" kata pemuda itu sembari melihat salah satu kakinya yang basah setelah diolesi kapas bercampur ramuan obat cair.

"Tenanglah nak. Ramuan ini bukan sembarang obat," katanya meyakinkan.

"Bimsalabim....."

Beberapa detik kemudian Lelaki Tua mengelap kaki pemuda itu dan para pengunjung yang terkesima bertepuk tangan.

"Wah, lihat kaki anak itu mulus tanpa bulu. Bagaimana bisa." gurau seorang pengunjung.

"Hebat, aku ingin membeli obatmu Pak Tua." ujar pengunjung yang lain.

"Aku juga. Aku beli tiga botol Pak Tua."

Alun-alun sangat ramai dikunjungi warga di akhir pekan. Entah hanya mengisi waktu senggang, menghibur diri, bermain merpati balap, melihat anak-anak bermain bola atau menunggu kedatangan Lelaki Tua, si penjual obat perontok bulu. Jika ia datang dari arah utara mengendarai motor berknalpot bising dengan memakai helm putih, siapa pun bisa menebak itu pasti Lelaki Tua.

"Lihat, Pak Tua mulai datang. Ayo kesana" bocah-bocah seketika berhenti bermain bola.

"Aku ingin memegang ularmu Pak Tua."

"Hayo, perlihatkan buayanya."

Ia semakin popular. Tidak hanya di kalangan anak sekolahan tapi menjadi bahan perbincangan di semua kalangan usia.

***

Burhan belakangan ini akhirnya tahu jika Bapaknya tak bisa lagi berjualan obat. Nestapa dengan kesendirian. Tuduhan menerpa berulang kali, kalau penyebab itu semua berkat kelakuannya. Mimpi yang terus menghantui membuat ia akhirnya paham, berjanji akan bertemu dengan Bapaknya melalui perantara seorang teman. Menyesali segala perilakunya. Ketika sosok bayang-bayang mendekat ke arah Lelaki Tua yang duduk termangu di sebuah bangku, ia bergidik dan merasa itu hanya ilusi semata dan terus menunggu. Sayup-sayup terdengar bisikan di telinga kiri Lelaki Tua:

"Mungkin belum waktunya aku pulang. Biarkan diriku mencari kebebasan di dunia ini. Bapak, aku menyesal membawa motormu dan menyembunyikan identitasku selama ini."

***

Orang-orang yang melintas malam itu menghentikan laju kendaraan dan berkerumun di tengah jalan raya depan sebuah wisma. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil ambulance yang berhenti tak jauh dari kerumunan dan dua laki-laki keluar berpakaian putih-putih membawa tandu mengangkut seorang waria yang terkapar tak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepalanya hingga membentuk genangan kecil di aspal dan motornya hancur terseret ke tepi jalan. Korban tabrak lari. Sirene ambulance meraung-raung, melewati alun-alun dan melaju terus ke arah rumah sakit. Gosip tersiar sampai ke pinggiran kota. Burhan mati tergilas mobil sedan...(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun