Mohon tunggu...
Anisah Muzammil
Anisah Muzammil Mohon Tunggu... Editor - Editor/Penulis

Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Pesan Rahasia

9 April 2023   20:11 Diperbarui: 9 April 2023   20:26 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku menatap kolom pesan bernama seseorang yang kukenal 12 tahun lalu. Dia menanyakan kabarku dengan gaya bahasanya yang tak berubah sama sekali. 'De', begitu panggilannya untukku. Entah aku harus senang atau sedih sebab kemunculannya. Senang karena dia yang pernah jadi tambatan hati masih mengingatku. Sedih karena status kami yang bukan lagi gadis dan bujang. Apalagi usia kami tidak lagi muda.

[Apa kabar?]

Aku bergeming membaca pesannya. Kuamati gambar gunung berkabut yang terpasang di profil WhatsApp-nya. Sepertinya profesi lelaki itu masih sama. Seorang petugas relawan di sebuah LSM di Jawa Timur. Aplikasi WhatsApp-ku memang menggunakan nomor lawas sejak kami masih bersama. Jadi sangat mungkin dia masih menyimpannya atau bahkan dia masih hafal nomor ini. Bedanya, dulu belum ada WhatsApp. 

[Statusnya, kok, gitu terus?]

Aku mengerutkan dahi. Status apa? pikirku. Setelah mengintip profil WhatsApp milikku yang tertulis kata rainy day sejak bulan Oktober 2014, aku baru paham maksudnya. Itu berarti aku tidak mengubahnya selama tiga tahun. Dari situ aku tahu, dia telah mengamatiku sejak lama. Namun, aku masih tak membalas pesannya meskipun aku yakin dia tahu kalau pesannya sudah kubaca.
Sebuah dilema antara rasa rindu atau ingin mengabaikannya. Dia sosok yang pernah mengisi hatiku dan perjalanan kami yang panjang. Hubungan kami sangat dekat. Sebuah prahara yang menimpa keluargaku membuat kami harus berpisah.

***

"Nanti kalau sama dia, kamu lahiran bakal ada tujuh bulanan. Kalau meninggal ada 100 harian," kata Bapak waktu itu. Ah! Padahal itu hanya perbedaan masalah beribadah, kami pasti bisa mengatasinya.

Ahmad. Dia lahir dari seorang tokoh agama Islam yang taat. Demikian juga aku, anak dari seorang imam masjid yang disegani. Namun, cara beribadah orang tua kami memiliki perbedaan. Dia yang salat Subuh pakai qunut, sementara keluargaku menganggap itu bid'ah.

"Itu kan bisa dibicarakan, Pak! Lagian cuma beda gitu aja," tukasku.

"Islam menganjurkan untuk mencari jodoh yang sekufu. Supaya nanti enggak ada percekcokan di antara kalian."

Aku menarik napas. Bapak itu pendiam, tetapi memiliki karakter yang keras. Ia berpendapat kalau perayaan tujuh bulanan dan 100 hari kematian tidak ada tuntunannya dari Nabi. Sementara keluarga Ahmad adalah lelaki taat yang istiqamah memegang aturan itu bahkan sejak ia belum lahir.

Akhirnya aku dijodohkan dengan anak seorang tokoh yang satu ormas dengan Bapak. Kenapa pada saat itu aku pasrah? Karena Ahmad tidak bisa menjanjikan apa pun padaku.

Meskipun akhirnya pernikahanku kandas setelah empat tahun berumah tangga. Seorang anak laki-laki yang lucu menjadi saksi pernikahanku dengan lelaki itu. Ternyata pernikahan sekufu tidak menjamin utuhnya rumah tangga sehidup semati. Andai saja mantan suamiku tidak berniat poligami, pasti kami masih bersama hingga saat ini.

***

[Hm ... enggak dibalas.]

Pesan itu datang lagi. Butuh waktu untuk mengetik sebuah kalimat balasan. Aku harus balas apa? pikirku. Apakah aku harus pura-pura tidak tahu siapa sang pengirim pesan? Atau aku harus bilang ... rindu. Ah! Tidak! Itu terlalu frontal.

[Alhamdulillah, aku baik. Kamu apa kabar?]

Akhirnya aku melakukannya. Membalas sebuah pesan dari lelaki yang entah bagaimana statusnya sekarang. Belakangan aku tahu dia sudah beristri dengan dua anak perempuan yang sudah duduk di bangku sekolah dasar.

Dari sederet kalimat kecil, sejak itu kami saling berbalas pesan. Bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Sesekali mengenang tentang kami di masa lalu. Dia bilang bahwa penyesalan terbesarnya adalah tidak memilikiku. Aku tersanjung. Berdesir darah ke seluruh tubuh dan menancap ke arah jantung. Rasa itu kembali. Debar yang pernah kurasakan pada 12 tahun lalu ada lagi. Masa ketika kami masih sama-sama muda. Masih memiliki gelora asmara dengan gairah yang segar.

[Kamu masih cantik.] 

Dia memuji ketika aku mengunggah potretku di media sosial. Seperti biasa kemudian dia mengenang masa lalu kami ketika masih sama-sama belia.

[Dulu aku menyukaimu ketika kamu mengenakan setelan blazer hitam. Keanggunan kamu masih terbayang sampai sekarang.]

Tiba-tiba harap itu datang. Asa ingin hidup bersamanya menyusun gejolak yang pernah terpecah karena perpisahan kami. Mengkhayal bisa merangkai masa indah ala kami yang pernah terlewati. Membayangkan hidup bersamanya yang akan penuh romansa.

Dua bulan kami saling berbalas pesan. Dia selalu mengabariku di tengah perjalanan dinasnya. Memberikan aku gambar-gambar indah berupa pemandangan gunung api dan hamparan padang rumput yang tak pernah kudatangi. Kabut yang menyelimuti puncak gunung dan gambar dirinya yang tengah bertugas. Sesekali di malam hari ia mengirimkan sebuah foto lahar yang menyala terang tersembur dari puncak gunung api.

Tak jarang dia bercerita tentang suasana alam di sekitarnya. Tentang tubuhnya yang ketika bertugas sering diserang pacet---serangga pengisap darah yang banyak ditemukan di daerah gunung. Lain hari ia bercerita tentang panasnya suhu di sekitar tanah bencana. Sesekali ia berkisah tentang suasana seram ketika berjaga malam hari.

Aku bahagia bisa melihat dan menyimak ceritanya. Gaya bahasanya masih sama. Hal itu yang membuatku terpesona. Seolah aku tengah diajaknya berjalan-jalan mengikuti aktivitasnya. Apalagi aku jarang sekali melihat dunia luar. 

Aktivitasku hanya seputar antar-jemput anak, dapur, dan kantor, tempatku mencari nafkah sendirian. Sesekali berjalan-jalan ke dalam tembok kedap suara bernama 'mall' bersama sang putra semata wayang. Aku bahagia sekali mendapat cerita tentang alam meskipun hanya lewat sebuah cerita dan gambar. Tak jarang dia juga mengirimkan aku sebuah video yang berisi perjalanannya menapaki batu-batu besar di sekitar kawah dengan lincah dan gagah. Sungguh, buatku itu mengagumkan.

Hingga suatu hari, sebuah berita tentang pelakor di media sosial mencuat. Satu pihak memberitakan seorang lelaki berselingkuh dengan perempuan berjilbab. Pihak lain menggencarkan kabar bahwa perempuan berjilbab merebut suami orang. Kedua berita itu benar, tetapi aku tak paham siapa yang salah? Yang pasti, hujatan diberikan dominan kepada seorang perempuan. Entah siapa yang tergoda dan digoda? Nyatanya hanya perempuan itu yang dirundung oleh komentar pedas netizen di media sosial. Lalu bagaimana aku? Apalagi statusku adalah seorang janda yang kerap dipandang sebelah mata.

Aku termenung memikirkan kelakukanku akhir-akhir ini. Asyik berbalas pesan dengan lelaki yang berstatus suami orang lain. Saling bertukar emot bergambar hati atau mengungkapkan kata rindu. Apakah aku juga disebut pelakor? Sebuah kata menyeramkan yang viral pada zaman itu ketika teknologi mulai berkembang.

Sebenarnya apa yang kuharapkan? Aku memang sendirian, tetapi apakah berbalas pesan dengan suami orang pantas kulakukan? Meskipun kami tidak pernah mengadakan pertemuan, setidaknya kami memiliki rencana itu. Aku tahu itu salah.

Lalu kubayangkan bagaimana jika istrinya tahu tentang kelakuan kami? Apakah aku akan dicap 'pelakor' dan mendapat rundungan seperti mereka? Apakah aku kuat dengan hukuman sosial yang akan kualami?

Allh ... seharusnya bukan itu yang kutakutkan. Seharusnya aku takut pada-Nya. Seharusnya aku takut azab-Nya. Memuja laki-laki dan mencandai orang yang bukan halalku. Meskipun kami hanya berbalas pesan, tidak berlanjut bertemu atau kirim foto. Setidaknya aku sudah melakukan dosa yang paling dibenci-Nya.

Bisikan lain menggodaku. Aku benci sendirian! Aku juga ingin memiliki seseorang yang bisa kuajak berbagi cerita. Namun, apakah jalanku benar?

Apakah Allh akan mengampuniku? Sungguh aku lelah. Hidup sendirian hampir selama tujuh tahun bukanlah hal mudah.

Malam itu, pesannya datang lagi. Kuberi nama sebuah kurir kargo yang biasa mengantar paket belanjaku. Kucoba mengabaikannya. Tergoda ingin membukanya. Kuulur waktu sambil mengamati status-status teman di media sosial. Mataku pun tertuju pada satu gambar yang diunggah kawanku.

"Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allh, niscaya Allh akan memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik." (HR Ahmad).

Mataku pun berpaling ke notifikasi pesan yang kembali muncul di layar ponsel.

[De, lagi apa? Tidur, ya?]

Aku harus apa?

Kupejamkan mataku. Rasa ini telanjur tumbuh. Bagaimana caranya meredupkan kembali perasaan yang mulai bersinar. Berat. Benar kata orang bahwa jatuh cinta itu hanya butuh sepersekian detik, tetapi meninggalkannya butuh tekad kuat yang lebih dari cengkeraman gigi graham.

Namun, terkadang teguran terhadap orang lain adalah nasihat untuk kita sendiri. Jika aku tidak mengetahui maksud-Nya, mungkin hanya dari berbalas pesan akan berlanjut ke pertemuan dan kontak fisik. Na'udzubillah.

Allh ... Engkau lindungiku dari dosa yang lebih besar. Engkau tutup jalan maksiat sehingga aku tidak jadi hancur atas kelakukanku. Jika bukan karena pesan rahasia-Mu, mungkin aku sudah terpuruk saat ini.

Tanpa ragu kublokir nomor itu. Kututup akses agar ia tidak lagi menghubungiku. Kuhapus semua foto diriku di media sosial. Jangan sampai ada lagi yang melihat wajahku. Siapa pun. Apalagi orang itu bukan halalku.

Kutinggalkan dia dengan bismillh. Kutinggalkan dia karena Allh. Kutinggalkan masa laluku yang terlihat indah, tetapi samar. Sesungguhnya keindahan itu ada di depan mataku. Keindahan yang tak pernah bisa dibayar oleh waktu. Seorang anak laki-laki yang lucu.

***

"Kulit kamu seperti bayi, Dik." Seorang lelaki membelai pipiku lembut ketika aku mencium tangannya usai salat Tarawih berjamaah di rumah. Kasus Covid-19 yang kian meningkat dan aturan PPKM membuat kami tidak boleh melakukannya di masjid.

"Aku cantik, kan?" tanyaku manja.

"Iyalah," jawabnya seraya tersenyum. "Mas lanjut, ya. Nanti kalau salat Witir, Adik ikut lagi," imbuhnya.

Lelaki itu pun berdiri kemudian khusyuk melanjutkan salat Tarawih hingga 20 rakaat. Aku hanya mengikutinya sampai delapan rakaat. Tanpa sadar senyumku tersungging tipis. Pada akhirnya, aku mendapatkan sosok laki-laki yang tidak diharapkan Bapak. Berbeda pandangan soal beribadah, bagiku itu bukan masalah. Satu hal yang terpenting, dia mencintaiku. Semoga selamanya. [am]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun