Akhirnya aku dijodohkan dengan anak seorang tokoh yang satu ormas dengan Bapak. Kenapa pada saat itu aku pasrah? Karena Ahmad tidak bisa menjanjikan apa pun padaku.
Meskipun akhirnya pernikahanku kandas setelah empat tahun berumah tangga. Seorang anak laki-laki yang lucu menjadi saksi pernikahanku dengan lelaki itu. Ternyata pernikahan sekufu tidak menjamin utuhnya rumah tangga sehidup semati. Andai saja mantan suamiku tidak berniat poligami, pasti kami masih bersama hingga saat ini.
***
[Hm ... enggak dibalas.]
Pesan itu datang lagi. Butuh waktu untuk mengetik sebuah kalimat balasan. Aku harus balas apa? pikirku. Apakah aku harus pura-pura tidak tahu siapa sang pengirim pesan? Atau aku harus bilang ... rindu. Ah! Tidak! Itu terlalu frontal.
[Alhamdulillah, aku baik. Kamu apa kabar?]
Akhirnya aku melakukannya. Membalas sebuah pesan dari lelaki yang entah bagaimana statusnya sekarang. Belakangan aku tahu dia sudah beristri dengan dua anak perempuan yang sudah duduk di bangku sekolah dasar.
Dari sederet kalimat kecil, sejak itu kami saling berbalas pesan. Bercerita tentang kehidupan kami masing-masing. Sesekali mengenang tentang kami di masa lalu. Dia bilang bahwa penyesalan terbesarnya adalah tidak memilikiku. Aku tersanjung. Berdesir darah ke seluruh tubuh dan menancap ke arah jantung. Rasa itu kembali. Debar yang pernah kurasakan pada 12 tahun lalu ada lagi. Masa ketika kami masih sama-sama muda. Masih memiliki gelora asmara dengan gairah yang segar.
[Kamu masih cantik.]Â
Dia memuji ketika aku mengunggah potretku di media sosial. Seperti biasa kemudian dia mengenang masa lalu kami ketika masih sama-sama belia.
[Dulu aku menyukaimu ketika kamu mengenakan setelan blazer hitam. Keanggunan kamu masih terbayang sampai sekarang.]