a. pengertian
   Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita yang memiliki kewarganegaraan berbeda di Indonesia. Dalam situasi ini, salah satu pihak adalah warga negara Indonesia (WNI), sementara pihak lainnya adalah warga negara asing (WNA). Pasal 58 dari undang-undang yang sama menyatakan bahwa dalam perkawinan campuran yang berlainan kewarganegaraan, suami atau istri dapat memperoleh kewarganegaraan pasangan mereka, atau bahkan kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Jadi, secara singkat, perkawinan campuran adalah pernikahan antara dua orang dengan kewarganegaraan yang berbeda, di mana salah satunya adalah WNI dan yang lainnya adalah WNA.Â
   b. keabsahan perkawinan campuran
   Menurut Pasal 56 terkait perkawinan yang diselenggarakan di luar Indonesia dengan salah satu pihaknya adalah orang asing, prosesnya harus mengikuti hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan. Jika perkawinan tersebut dinyatakan sah menurut hukum negara tersebut, maka ketika pasangan tersebut kembali berdomisili di Indonesia, perkawinan mereka harus diakui keabsahannya. Prinsip ini didasarkan pada hukum perdata internasional yang mengenal konsep lex loci celebrationis, yaitu bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh hukum dari negara di mana perkawinan itu diselenggarakan. Di sisi lain, jika perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia, maka prosesnya mengikuti tata cara perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang mengenai prosedur perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip locus regit actum, yang menyatakan bahwa bentuk perbuatan hukum diatur oleh hukum negara di mana perbuatan tersebut dilakukan.Â
  c. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
- Kewarganegaraan
   Berdasarkan Pasal 58, dalam perkawinan campuran yang melibatkan pihak-pihak dengan kewarganegaraan berbeda, seseorang yang menikah dapat kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Penting untuk dicatat bahwa status kewarganegaraan istri tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suami, dan begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, baik suami maupun istri memiliki potensi untuk kehilangan kewarganegaraannya akibat dari perkawinan campuran.Â
- Harta bendaÂ
Menurut Undang-Undang Perkawinan, ketentuan mengenai harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 35 hingga Pasal 37. Di sisi lain, KUH Perdata mengatur lebih rinci mengenai harta kekayaan perkawinan melalui Pasal 119 hingga Pasal 198. Dalam konteks ini, harta benda dibagi menjadi dua jenis: harta bersama (juga dikenal sebagai harta gono-gini) dan harta bawaan atau harta asal.
Harta Bersama:
- Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tanpa mempermasalahkan terdaftar atas nama siapa.
- Status harta tersebut menjadi bersama jika tidak ada perjanjian mengenai kepemilikan.
- Suami dan istri dapat mengelola harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak.
Harta Bawaan:
- Harta bawaan adalah harta milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum perkawinan atau sebagai hadiah atau warisan.
- Termasuk dalam harta bawaan:
- Harta yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan, termasuk utang-utang yang belum dilunasi.
- Harta yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian, kecuali ada ketentuan lain.
- Warisan yang diterima oleh masing-masing pihak, kecuali ada ketentuan lain.
- Hasil dari pengelolaan harta pribadi selama perkawinan berlangsung, termasuk utang-utang yang timbul dalam pengurusan harta pribadi tersebut.
   Pada Pasal 21 ayat (3) UUPA menentukan bahwa warga negara asing tidak diperbolehkan memiliki hak atas tanah meskipun perolehannya merupakan perolehan dari akibat adanya harta bersana, yaitu percampuran harta dalam perkawinan.
- Status Anak   Â