Perceraian pada dasarnya tidak dilarang, selama alasan-alasan perceraian tersebut sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang. Akibat hukum dari perceraian mencakup berbagai aspek, baik dalam hukum keluarga, hukum kebendaan, maupun hukum perjanjian.
a. Terhadap Hubungan Suami Istri
erceraian memiliki konsekuensi hukum yang terkait dengan status suami atau istri. Setelah ikatan perkawinan terputus karena perceraian, baik suami maupun istri memiliki kebebasan untuk menikah lagi. Namun, bagi mantan istri, perlu memperhatikan masa iddah atau waktu tunggu. Iddah dilakukan untuk memastikan apakah istri sedang dalam keadaan hamil atau tidak.
b. Terhadap Pembagian Harta Bersama
Setelah perceraian, masalah harta kekayaan sering kali menjadi perhatian. Harta bersama dapat menjadi sumber konflik, terutama ketika terjadi perceraian antara suami dan istri atau selama proses perceraian berlangsung di pengadilan agama. Berbagai masalah hukum dapat muncul terkait dengan pembagian harta tersebut.
c. Terhadap Nafkah
Dalam perkawinan, nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istri dan anak-anaknya. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 34 ayat (1), menegaskan bahwa suami harus melindungi istrinya dan menyediakan segala kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Namun, ketika terjadi perceraian, kewajiban ini tidak berlaku lagi sesuai dengan syarat dan ketentuannya.
Undang-Undang Perkawinan, dalam Pasal 41 huruf c, mengatur kemungkinan pembiayaan setelah perceraian. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami memberikan biaya penghidupan dan/atau menetapkan kewajiban tertentu bagi bekas istri. Jika bekas istri tidak memiliki mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, bekas suami harus memberikan biaya hidup hingga bekas istri menikah lagi dengan pria lain.
d. Terhadap Anak
Orang tua yang bercerai tidak langsung terbebas dari kewajiban terhadap anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, pemeliharaan anak ditentukan berdasarkan keturunan yang sah sebagai anak kandung. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa “anak yang sah” adalah yang lahir dalam atau sebagai hasil dari perkawinan yang sah. Namun, anak yang lahir di luar pernikahan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai dengan Pasal 43 ayat 1.
Problematika Dalam Hukum Perkawinan