Hak dan Kewajiban Suami Istri
Hak dan Kewajiban Suami Istri: Hak dan kewajiban dalam perkawinan adalah hubungan yang saling terkait antara suami dan istri. Keseimbangan antara keduanya sangat penting untuk menciptakan perkawinan yang harmonis. Hak suami melibatkan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami, sementara kewajiban suami berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan oleh suami terhadap istri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 hingga pasal 34.
Nafkah: Nafkah merujuk pada barang-barang yang harus diberikan oleh suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Nafkah dapat dibagi menjadi dua jenis: materiil dan nonmateriil. Nafkah materiil mencakup pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur nafkah dalam pasal 34 ayat (1), yang menegaskan bahwa suami wajib melindungi istri dan menyediakan segala kebutuhan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Meskipun nafkah menjadi kewajiban suami terhadap istri, istri juga memiliki hak untuk membebaskan suaminya dari kewajiban menafkahinya. Pasal 80 ayat (6) menyatakan: “Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sesuai dengan ketentuan pada ayat (4) huruf a dan b.”
Putusnya Perkawinan
1. Pengertian dan Dasar Hukum Putusnya Perkawinan
Dalam istilah fikih, putusnya perkawinan disebut dengan kata “talak,” yang berarti membatalkan ikatan dan mengakhiri perjanjian perkawinan. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak sebagai tindakan melepaskan ikatan perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam, putusnya perkawinan didefinisikan dalam Bab XVI Pasal 129, 130, dan 131. Istilah “putusan perkawinan” digunakan dalam Undang-Undang Perkawinan untuk merujuk pada “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang telah hidup sebagai suami istri.
2. Macam-macam Bentuk Perceraian
menurut KHI Pasal 114, putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Bentuk atau macam-macam perceraian dalam KHI dijelaskan dalam Pasal 118 sampai dengan Pasal 124, sebagaimanna berikut: