Konsep harta bersama sebenarnya tidak ada dalam hukum Islam. Istilah ini berasal dari adat istiadat dan tradisi di Indonesia, dan setiap daerah memiliki cara sendiri dalam membagi harta bersama. Meskipun demikian, konsep ini didukung oleh hukum Islam dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Kesimpulan
Perkawinan memiliki akar dari kata “kawin” dan secara istilah merujuk pada perjanjian suci antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Rukun perkawinan adalah elemen-elemen yang harus ada agar pernikahan sah, termasuk calon suami, calon istri, wali dari calon istri, dua orang saksi, dan ijab kabul. Dalam Kompilasi Hukum Islam, tidak ada perbedaan antara rukun dan syarat perkawinan; keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Syarat perkawinan menentukan keabsahan perbuatan ini dan juga berlaku dalam perkawinan yang bernilai ibadah.
Larangan perkawinan diatur dalam Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam, yang menyatakan bahwa pasangan suami-istri tidak boleh memiliki halangan perkawinan tertentu untuk melangsungkan pernikahan.
Hak dan kewajiban merupakan hubungan yang saling berkaitan dalam ikatan perkawinan antara suami dan istri. Keseimbangan antara hak dan kewajiban keduanya penting untuk menciptakan pernikahan yang harmonis. Hak suami terkait dengan apa yang harus diberikan oleh istri kepada suami, sementara kewajiban suami berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan untuk istri. Undang-Undang No. 1 Tahun 1947 mengatur hak dan kewajiban suami istri dalam pasal 30 hingga pasal 34. Nafkah dibagi menjadi dua jenis: nafkah materiil dan nonmateriil. Nafkah materiil mencakup pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, perawatan, pengobatan, dan pendidikan anak-anak.
Putusnya perkawinan dalam istilah fikih disebut dengan kata “talak,” yang berarti membuka ikatan dan membatalkan perjanjian. Menurut Sayyid Sabiq, talak adalah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan pernikahan itu sendiri.
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda karena perbedaan kewarganegaraan, dan salah satu pihak memiliki kewarganegaraan Indonesia. Menurut Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan campuran yang melibatkan kewarganegaraan yang berbeda dapat memperoleh kewarganegaraan suami atau istri, dan juga dapat kehilangan kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H