Mohon tunggu...
Nurul Chotimah
Nurul Chotimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Cinephile

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi "Studi Komparatif Pembagian Harta Waris Bagi Transgender Menurut Hukum Islam dan KUH Perdata"

27 Mei 2024   18:47 Diperbarui: 1 Juni 2024   10:12 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Skripsi "Studi Komparatif Pembagian Harta Waris Bagi Transgender Menurut Hukum Islam dan KUH Perdata" Karya Shofwatussaroh.

Nama : Nurul Chotimah

NIM : 222121123/HKI-4D

Pendahuluan

Secara fitrah Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan berpasangan untuk saling mengenal. Perilaku bertindak melawan jenis kelamin seperti menolak mengakui bahwa dirinya terlahir sebagai perempuan atau laki-laki agaknya menjadi fenomena yang lazim pada masa saat ini, mereka ini disebut dengan transgender. Transgender adalah gejala ketidakpuasan seseorang karena perasaan tidakcocokan antara bentuk fisik, kelamin serta kejiwaannya.

Hal tersebut dapat diperlihatkan melalui perilaku, gaya ataupun make up, dan perubahan yang lebih jauh lagi yaitu dengan operasi penggantian kelamin. Tidak adanya aturan yang mengatur secara khusus untuk transgender di Indonesia mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum yang menjadikan sebuah persoalan baru, misalnya dalam hal pembagian harta warisan.

Penetapan ahli waris memiliki peranan yang begitu penting karena setiap manusia yang hidup pasti akan mengalami peristiwa hukum yaitu kematian. Hukum waris yang berlaku di Indonesia terdapat tiga sistem yaitu hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata.

Berkaitan dengan transgender atau khuntsa dalam Ensiklopedia Hukum Islam diberi pengertian yaitu seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah dia laki-laki ataupun perempuan karena ia memiliki alat kelamin sekaligus atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Oleh karena itu persoalan transgender ini masih menjadi masalah apabila seorang transgender ini menuntut hak warisnya, sedangkan kewarisan bagi transgender ini belum diatur dengan begitu jelas. Apakah bagiannya berdasarkan jenis kelaminnya saat lahir atau berdasarkan jenis kelamin barunya saat ini.

Alasan Memilih Judul Ini

Adapun yang mendorong untuk memilih skripsi ini adalah mengingat pentingnya kejelasan hak dalam pembagian waris baik dalam hukum Islam maupun hukum perdata tentang kewarisan untuk transgender. Lalu didorongnya fenomena munculnya kecenderungan beberapa orang kearah transgender dan mereka membentuk komunitas untuk menuntut kesamaan hak. Lalu alasan lain dapat dijabarkan dibawah ini:

  • Relevansi sosial: Topik ini sangat relevan di masyarakat karena membahas tentang hak-hak transgender yang merupakan isu sosial yang sering diabaikan.
  • Kesenjangan hukum: Ada perbedaan yang signifikan antara Hukum Islam dan KUH Perdata dalam hal pembagian harta waris bagi transgender, yang menimbulkan kebutuhan untuk analisis komparatif.
  • Topik ini menawarkan kesempatan untuk mengeksplorasi dan memahami bagaimana hukum berinteraksi dengan isu-isu gender dan komunitas.

Hasil Review Skripsi

Bab I Pendahuluan

Pembagian waris bagi tiap-tiap ahli waris sudah diatur dalam KUH Perdata maupun Al-Qur'an. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

Menurut hubungan darah

  • Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudaralaki-laki, paman dan kakek;
  • Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda maupun janda.

Namun di Indonesia terdapat sekelompok orang yang disebut dengan transgender. Di dalam KUH Perdata maupun Al-Qur'an Hadist tidak dijelaskan ketentuan mewaris bagi ahli waris transgende, jumlah bagian yang mereka terima ataupun halangan mereka untuk mewaris. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana ketentuan mewaris bagi transgender dan akibat hukumnya menurut hukum Islam dan KUH Perdata. Perbedaan antara Hukum Islam dengan Hukum Perdata ialah bagian laki-laki dan perempuan. Hukum Islam menerangkan bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Sedangkan Hukum Perdata tidak ada perbedaan antara bagian laki-laki maupun bagian perempuan.

Oleh karena itu, persoalan transgender ini masih menjadi kontroversi saat menentukan hak waris orang yang menjalani operasi kelamin. Karena jika seorang transgender ingin menuntut hak warisnya, sedangkan kewarisan bagi transgender ini belum diatur secara jelas, apakah hak waris itu dibagi menurut jenis kelamin kelahirannya, atau menurut hak waris jenis kelamin yang baru. Oleh karena itu, penelitian tentang transgender ini perlu dikaji berdasarkan hukum Islam dan KUH perdata untuk memperjelas bagian warisan transgender.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan hukum, yaitu membandingkan kewarisan transgender menurut Hukum Islam dan KUH Perdata. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas doktrin yang dianut oleh sang pengonsep atau sang pengembangnya. Sumber data yang digunakan yaitu data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif komparatif. Penulis menggunakan triangulasi sumber data, yaitu menggali kebenaran informasi tertentu melalui metode dan sumber perolehan data.

Bab II Ketentuan Hukum Waris Secara Umum Dan Transgender

Ketentuan Hukum Waris Secara Umum

Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast yang dimaknai dengan mauruts yang merupakan harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada ahli warisnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 hukum kewarisan merupakan hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik atas warisan (tirkah) pewaris, dengan menentukan siapa yang akan menjadi ahli waris dan besarnya masing-masing. Dalam pasal 174 Kompilasi Hukum Islam ada dua sebab seseorang bisa saling mewarisi yaitu karena sebab hubungan kekeluargaan dan sebab hubungan pernikahan.  Kewarisan hanya dapat terjadi setelah tiga syarat terpenuhi, yakni:

  • Kewarisan terjadi sebagai akibat kematian si pemilik harta
  • Ahli waris hidup saat pewaris telah meninggal
  • Tidak terdapat penghalang untuk mewarisi seperti pembunuhan, perbudakan dan perbedaan agama.

Selanjutnya untuk mewarisi harta warisan, maka tiga rukun kewarisan harus dipenuhi, yaitu:

  • Pewaris (Al-Muwarits) adalah orang yang meninggalkan harta warisan.
  • Ahli waris (Al-Warits) adalah orang yang berhak mewarisi harta warisan si pewaris.
  • Harta waris (Al-Mauruts) merupakan harta warisan yang akan diserahkan kepada ahli waris setelah dikurangi untuk pelunasan hutang, biaya pemakaman dan ditunaikannya wasiat.

            

Transgender

Secara pengertian transgender berasal dari dua kata yakni "trans" yang artinya berpindah dan "gender" yang berarti jenis kelamin. Transgender berarti orang yang karakter, sifat atau penampilannya berlawanan dengan jenis kelamin yang ia miliki sejak lahir. Istilah lain lagi yang berkembang adalah "transseksual" atau operasi penggantian kelamin. Operasi penggantian kelamin ini adalah bertujuan untuk mengubah jenis kelamin yang diinginkannya.

Terdapat faktor-faktor yang menjadi alasan seseorang berperilaku bertentangan dengan gender aslinya yaitu: faktor bawaan yakni dari hormon atau genetika, faktor lingkungan seperti pendidikan yang kurang tepat atau trauma seksual, dll. Sedangkan dalam fikih terdapat istilah "khuntsa" yakni orang yang memiliki dua alat kelamin yaitu laki-laki dan perempuan atau malah tidak mempunyai alat kelamin sama sekali.

Bab III Pembagian Harta Waris Transgender Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Pembagian Harta Waris Bagi Transgender Menurut Hukum Islam

Al-Qur'an dan hadist pada dasarnya telah mengatur setiap bagian yang didapat oleh ahli waris, namun mengenai pembagian untuk transgender ini tidak dijelaskan. Pada masa sekarang ini cenderung tidak membedakan antara khuntsa dan mukhanas yang dianggap keduanya sama sama transgender. Jika khuntsa adalah ketetapan yang diberikan oleh Allah, sedangkan trangender adalah sebagai bentuk penyimpangan perilaku seseorang. Mengenai kewarisan    sesuai dengan keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelaminnya, namun kedudukan kewarisannya serta ibadah lainnya tetap kembali dengan kelamin semula sebelum melakukan operasi kelamin atau transgender.

Hal ini sesuai dengan kaidah asysyakhsiyah, "bahwa bagaimanapun bentuk keberadannya, asal itu akan kembali ke keadaan semula". Untuk operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin, menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syari'at. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan berdasarkan kaidah asy-syakhsiyah bahwa kemudaratan itu harus dihilangkan.

Penetapan pembagian harta waris terhadap operasi ganti kelamin bagi seseorang yang mempunyai kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal salah satu kelaminnya, ia boleh melakukan operasi pembuangan salah satu alat kelaminnya. Penetapan pembagian harta waris bagi yang membuang salah satu jenis kelamin sama seperti operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yaitu setelah ia menjalani operasi kelamin.

Menurut Ibnu Arabi, seorang khuntsa memiliki hukumnya sendiri, selama ia belum dapat diklasifikasikan atau dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Apabila ia telah dapat digolongkan ke dalam salah satu jenis kelamin, maka akan dihukumi berdasarkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sehingga dalam menghitung bagian khuntsa musykil para ulama sepakat, yakni dengan menilai dan mempertimbangkan mereka lakilaki dan perempuan. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama perihal batasan jumlah warisan yang dapat diterima seorang khuntsa, yaitu:

  • Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada khuntsa musykil.
  • Menurut Imam Syafi'iyah, Imam Abu Dawud, Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Memberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan kepada khuntsa kemudian sisanya disimpan sampai masalah identitas khuntsa jelas atau ahli waris berdamai satu sama lain untuk saling memberikan bagian sisa yang meragukan tersebut.
  • Menurut ulama Malikiyah dan ulama Hanabilah Memberi setengah dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan kepada khuntsa.

Pembagian Harta Waris Bagi Transgender Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, maupun suami dan isteri, mereka semua berhak mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Berdasarkan KUH Perdata terdapat dua bentuk pewarisan yaitu, mewarisi berdasarkan undang-undang dan mewarisi berdasarkan wasiat. Dalam KUH Perdata Pasal 832 terdapat empat golongan ahli waris, yaitu:

  • Golongan I ialah suami/isteri yang paling lama hidup termasuk istri kedua atau suami kedua dan anakanak/keturunannya (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata)
  • Golongan II ialah orang tua dan sanak saudara seayah atau seibu (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata)
  • Golongan III ialah keluarga garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, meliputi: kakek dan nenek dari pihak ayah ataupun ibu, orang tua kakek dan nenek, dan seterusnya keatas (Pasal 853 KUHPerdata)
  • Golongan IV ialah keluarga garis lurus ke samping sampai derajat keenam, meliputi: paman dan bibi dari pihak ayah ataupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari si pewaris. (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata).

Dalam hal pembagian waris transgender menurut KUH Perdata, seorang anak yang lahir dari perkawinan sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang lainnya, begitu pula dengan seorang transgender. KUH Perdata tidak mengklasifikasikan transgender, KUH Perdata juga tidak mengenal perbedaan jenis kelamin dalam dalam masalah warisan, di KUH Perdata kelompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Dan golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Dalam penjelasannya tidak terdapat penjelasan tentang masalah transgender ini. Dalam KUH Perdata terdapat istilah "tidak patut mewaris". Menurut Pasal 838 KUH Perdata, yang termasuk dalam kategori tidak patut mewaris adalah:

  • Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si pewaris;
  • Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan telah memfitnah si pewaris yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat;
  • Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;
  • Mereka yang telah mengelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasit pewaris.

Berdasarkan pengelompokan ahli waris dan orang yang tidak patut mewaris diatas dapat disimpulkan bahwa transgender tetaplah seorang ahli waris, karena tidak adanya aturan yang jelas tentang perbedaan jenis kelamin dalam KUH Perdata, selama transgender termasuk dalam garis keturunan pewaris dan tidak termasuk dalam kategori tidak patut mewaris maka ia berhak mendapatkan warisan.

Bab IV Analisis terhadap Pembagian Harta Waris Transgender Dan Akibat Hukunya Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Analisis Terhadap Pembagian Waris Transgender Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Transgender kini menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, yakni berbicara bagaimana kedudukan dan hakhaknya dalam keluarga, bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh orang tuanya, bahkan tidak kalah penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. KUH Perdata tidak mengelompokkan secara jelas mengenai transgender, KUH Perdata juga tidak mengenal adanya pembedaan jenis kelamin dalam persoalan waris mewarisi, pembagian waris transgender menurut KUH Perdata, seorang anak yang dari perkawinan sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang lainnya, begitu juga dengan seorang transgender.

Pembagian waris transgender menurut hukum islam di dalam Al-qur'an dan hadist tidak terdapat ayat yang menjelaskan secara jelas boleh tidaknya seseorang yang merubah kelaminnya untuk mendapatkan warisan bahkan Allah melarang orang-orang untuk merubah ciptaannya. Disebutkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 174, menyebutkan bahwa ahli waris terdiri dari ahli waris menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dalam Pasal 171 huruf c tentang orang-orang yang berhak atas warisan adalah ahli waris karena hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan si pewaris dan beragama Islam serta tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Dapat disimpulkan bahwa seorang transgender tidak disebutkan kedalam golongan orang-orang yang terhalang mendapatkan warisan, sehingga selama alasan melakukan pergantian kelaminnya dibenarkan secara dan sedang tidak terhalang menjadi ahli waris maka ia juga adalah ahli waris yang sah dan bagian warisnya mengikuti jenis kelamin setelah ia melakukan operasi. Sebaliknya, jika seorang transgender dengan sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah untuk mengubah jenis kelaminnya, maka bagian warisannya sama dengan jenis kelamin semula sebelum operasi meskipun telah ditetapkan oleh pengadilan. Istilah khuntsa di kalangan para ulama memberikan pengertian sebagai berikut :

  • Khuntsa mendapat bagian terkecil dan terburuk dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian terbaik dari dua perkiraan tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf;
  • Khuntsa mendapat bagian terkecil dan menyakinkan kepada si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau ada perdamaian bersama antara ahli waris. Pendapat ini dikemukakan oleh syafiiyah, abu dawud, abu tsaur, ibnu janir ath thobary dan ulama hanabilah;
  • Khuntsa mendapat separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan dan juga ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama malikiyah, hanabilah, ulama zaidiyah dan syiah imamiyah.

Bahwa pendapat imam Syafi'i ini lebih relevan untuk menjadi rujukan dimasa sekarang, memberikan bagian terkecil kepada khuntsa musykil sesuai dengan kaidah ushul fiqh menetapkan suatu hukum haruslah dengan keyakinan tanpa keraguraguan, karena pada dasarnya kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan. Dan dengan adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan) hal ini dapat menghindari kerugian dari pihak si khuntsa musykil jika sewaktu-waktu suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi.

Merujuk kependapat imam fiqh lainnya penulis kurang sependapat karena imam fiqh lainnya berpendapat untuk membagi-bagikan harta kepada seluruh ahli waris tanpa adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan), bagaimana jika suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi, karena pada dasarnya khuntsa musykil adalah seseorang yang masih diragukan jenis kelaminnya apakah sebagai laki-laki atau perempuan. Maka bagaimana imam fiqh lainnya mengatur pembagian warisannya, sedangkan harta warisan sudah dibagikan kepada seluruh ahli waris secara keseluruhan. Dalam hal ini ahli waris khuntsa musykil yang kemungkinan akan mengalami kerugian.

Akibat Hukum Pembagian harta waris bagi transgender menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Menurut Hukum Islam, seseorang yang telah melakukan operasi penggantian alat kelamin, tidak berimplikasi hukum syar'i dan status jenis kelaminnya tetap seperti sebelum dia melakukan operasi ganti kelamin. Karena tidak mempunyai akibat hukum syar'i, maka dalam hukum kewarisan dilihat dari jenis kelamin awal sebelum operasi ganti kelamin. Sedangkan operasi penyempurnaan kelamin dapat berimplikasi hukum terhadap pelakunya sebagai ahli waris. Bagian warisan seseorang yang melakukan operasi penyempurnaan kelamin menyesuaikan jenis kelamin setelah penyempurnaan. Oleh karena itu, orang yang melakukan penyempurnaan ini berhak mengajukan permohonan kepada lembaga peradilan untuk legitimasi atas status jenis kelaminnya yang baru, agar terhindar dari permasalahan yang mungkin tejadi dalam kewarisan.

Mengingat hukum waris selain umat Islam tunduk kepada hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata atau BW, dan KUH Perdata tidak mengatur kedudukan ahli waris transgender, sehingga status atau kelamin seorang transgender dibuktikan dengan dokumen kependudukannya. Apabila seorang transgender sudah memperoleh legalitas atau pengesahan dari Pengadilan Negeri untuk mengubah dokumen kependudukannya, dan status/kelaminnya berubah dari kelamin lama menjadi kelamin baru, maka status yang bersangkutan sebagai ahli waris berdasarkan kelamin yang telah ditetapkan Pengadilan Negeri. Dan sebaliknya jika seorang transgender belum memperoleh penetapan dari Pengadilan Negeri dan belum berubah status kelamin dalam dokumen kependudukannya, maka seorang transgender tersebut berstatus sebagaimana yang tertera dalam dokumen kependudukan yang ada, meskipun secara fisik sudah berubah setelah dilakukannya operasi ganti kelamin.

Menurut hukum perdata, karena alasan penggantian kelamin seseorang tidak menjadi masalah selama ia patut mewaris dan termasuk ke dalam golongan ahli waris, maka ia berhak mewaris, semua bagian ahli waris adalah sama, karena KUH Perdata tidak mempermasalahkan perbedaan jenis kelamin sehingga bagian waris transgender tidak berpengaruh sama sekali apakah ia laki-laki ataupun perempuan.

Rencana Skripsi Beserta Argumen

Topik skripsi yang ingin saya gali lebih mendalam adalah mengenai sistem kewarisan adat Jawa yang unik dan beragam, tergantung pada wilayah dan komunitasnya. Salah satunya alah seperti kewarisan saat orang tua masih hidup. Dalam tradisi Jawa kewarisan dapat terjadi saat orang tua masih hidup, proses ini bisa melalui cara seperti lintiran (pengalihan), acungan (penunjukan), atau welingan (pesan atau wasiat). Sedangkan yang lain membagi berdasarkan hukum adat Jawa yang memberi dua kemungkinan yaitu dengan cara sapikul sagendhongan atau semua anak mendapat warisan yang sama besarnya.

Alasan memilih topik-topik tersebut adalah karena mereka menawarkan wawasan mendalam tentang praktik kewarisan adat Jawa yang unik dan beragam. Selain itu topik-topik ini juga memiliki relevansi sosial dan hukum yang tinggi, sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan ilmu hukum, terutama dalam konteks adat jawa. Topik ini dapat membantu dalam pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hukum adat berinteraksi dengan hukum formal di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun