Dalam hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, maupun suami dan isteri, mereka semua berhak mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak. Berdasarkan KUH Perdata terdapat dua bentuk pewarisan yaitu, mewarisi berdasarkan undang-undang dan mewarisi berdasarkan wasiat. Dalam KUH Perdata Pasal 832 terdapat empat golongan ahli waris, yaitu:
- Golongan I ialah suami/isteri yang paling lama hidup termasuk istri kedua atau suami kedua dan anakanak/keturunannya (Pasal 852 jo Pasal 852a KUHPerdata)
- Golongan II ialah orang tua dan sanak saudara seayah atau seibu (Pasal 854 jo Pasal 857 KUHPerdata)
- Golongan III ialah keluarga garis lurus ke atas setelah ayah dan ibu, meliputi: kakek dan nenek dari pihak ayah ataupun ibu, orang tua kakek dan nenek, dan seterusnya keatas (Pasal 853 KUHPerdata)
- Golongan IV ialah keluarga garis lurus ke samping sampai derajat keenam, meliputi: paman dan bibi dari pihak ayah ataupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari si pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari si pewaris. (Pasal 861 jo Pasal 858 KUHPerdata).
Dalam hal pembagian waris transgender menurut KUH Perdata, seorang anak yang lahir dari perkawinan sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang lainnya, begitu pula dengan seorang transgender. KUH Perdata tidak mengklasifikasikan transgender, KUH Perdata juga tidak mengenal perbedaan jenis kelamin dalam dalam masalah warisan, di KUH Perdata kelompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Dan golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. Dalam penjelasannya tidak terdapat penjelasan tentang masalah transgender ini. Dalam KUH Perdata terdapat istilah "tidak patut mewaris". Menurut Pasal 838 KUH Perdata, yang termasuk dalam kategori tidak patut mewaris adalah:
- Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si pewaris;
- Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan telah memfitnah si pewaris yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat;
- Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;
- Mereka yang telah mengelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasit pewaris.
Berdasarkan pengelompokan ahli waris dan orang yang tidak patut mewaris diatas dapat disimpulkan bahwa transgender tetaplah seorang ahli waris, karena tidak adanya aturan yang jelas tentang perbedaan jenis kelamin dalam KUH Perdata, selama transgender termasuk dalam garis keturunan pewaris dan tidak termasuk dalam kategori tidak patut mewaris maka ia berhak mendapatkan warisan.
Bab IV Analisis terhadap Pembagian Harta Waris Transgender Dan Akibat Hukunya Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Analisis Terhadap Pembagian Waris Transgender Menurut Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Transgender kini menjadi perhatian berbagai elemen masyarakat, yakni berbicara bagaimana kedudukan dan hakhaknya dalam keluarga, bagaimana seharusnya ia diperlakukan oleh orang tuanya, bahkan tidak kalah penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. KUH Perdata tidak mengelompokkan secara jelas mengenai transgender, KUH Perdata juga tidak mengenal adanya pembedaan jenis kelamin dalam persoalan waris mewarisi, pembagian waris transgender menurut KUH Perdata, seorang anak yang dari perkawinan sah akan mendapatkan bagian yang sama besarnya dengan anggota keluarga yang lainnya, begitu juga dengan seorang transgender.
Pembagian waris transgender menurut hukum islam di dalam Al-qur'an dan hadist tidak terdapat ayat yang menjelaskan secara jelas boleh tidaknya seseorang yang merubah kelaminnya untuk mendapatkan warisan bahkan Allah melarang orang-orang untuk merubah ciptaannya. Disebutkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 174, menyebutkan bahwa ahli waris terdiri dari ahli waris menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dalam Pasal 171 huruf c tentang orang-orang yang berhak atas warisan adalah ahli waris karena hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan si pewaris dan beragama Islam serta tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Dapat disimpulkan bahwa seorang transgender tidak disebutkan kedalam golongan orang-orang yang terhalang mendapatkan warisan, sehingga selama alasan melakukan pergantian kelaminnya dibenarkan secara dan sedang tidak terhalang menjadi ahli waris maka ia juga adalah ahli waris yang sah dan bagian warisnya mengikuti jenis kelamin setelah ia melakukan operasi. Sebaliknya, jika seorang transgender dengan sengaja dan tidak memiliki alasan ilmiah untuk mengubah jenis kelaminnya, maka bagian warisannya sama dengan jenis kelamin semula sebelum operasi meskipun telah ditetapkan oleh pengadilan. Istilah khuntsa di kalangan para ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
- Khuntsa mendapat bagian terkecil dan terburuk dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian terbaik dari dua perkiraan tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Abu Yusuf;
- Khuntsa mendapat bagian terkecil dan menyakinkan kepada si khuntsa dan ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan sampai status hukum khuntsa menjadi jelas atau ada perdamaian bersama antara ahli waris. Pendapat ini dikemukakan oleh syafiiyah, abu dawud, abu tsaur, ibnu janir ath thobary dan ulama hanabilah;
- Khuntsa mendapat separuh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan dan juga ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama malikiyah, hanabilah, ulama zaidiyah dan syiah imamiyah.
Bahwa pendapat imam Syafi'i ini lebih relevan untuk menjadi rujukan dimasa sekarang, memberikan bagian terkecil kepada khuntsa musykil sesuai dengan kaidah ushul fiqh menetapkan suatu hukum haruslah dengan keyakinan tanpa keraguraguan, karena pada dasarnya kehati-hatian itu lebih meyakinkan demi kemaslahatan. Dan dengan adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan) hal ini dapat menghindari kerugian dari pihak si khuntsa musykil jika sewaktu-waktu suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi.
Merujuk kependapat imam fiqh lainnya penulis kurang sependapat karena imam fiqh lainnya berpendapat untuk membagi-bagikan harta kepada seluruh ahli waris tanpa adanya sisa harta yang ditangguhkan (disimpan), bagaimana jika suatu saat ternyata khuntsa musykil berstatus tidak sama dengan perumpaman (sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) seperti pada saat pembagian waris terjadi, karena pada dasarnya khuntsa musykil adalah seseorang yang masih diragukan jenis kelaminnya apakah sebagai laki-laki atau perempuan. Maka bagaimana imam fiqh lainnya mengatur pembagian warisannya, sedangkan harta warisan sudah dibagikan kepada seluruh ahli waris secara keseluruhan. Dalam hal ini ahli waris khuntsa musykil yang kemungkinan akan mengalami kerugian.
Akibat Hukum Pembagian harta waris bagi transgender menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata