Mohon tunggu...
Nurul Aini Rachmawati
Nurul Aini Rachmawati Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMAN 2 BAE Kudus

Perempuan biasa dengan menulis dan membaca sebagai kegemarannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memulai Kembali - Cerpen Karya Nurul Aini Rachmawati

10 Juli 2024   19:15 Diperbarui: 10 Juli 2024   19:21 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2021/07/06/ilustrasi-sahabat-perempuan_169.jpeg?w=1200Input sumber gambar

            Netra hitamnya mengedar, memperhatikan ruangan tempatnya terbangun, ruangan dengan dominan berwarna putih dan bau menyengat obat-obatan. Sembari mencoba mengingat alasan yang membuatnya terbaring di sini, Sera mengaduh akan rasa sakit di kepala yang mendera. Ah... ini karena sepeda yang dia kendarai menabrak mobil di persimpangan jalan. Sera terlalu fokus dengan pikirannya sendiri sampai-sampai tidak melihat bahwa lampu lalu lintas berwarna merah 'lah menyala.

            Pikirannya kembali tenggelam, mengenai sesuatu yang tidak bisa ia sangkal. Membuat Sera mati-matian harus menahan sesuatu yang ingin dia ungkapkan. Tanpa Sera sadari, kedua tangannya mengepal erat, menggenggam angin seolah memeras melampiaskan kekesalan. Bagaimana bisa sesuatu yang disebut 'main belakang' harus Sera benarkan? Tidak diberi penjelasan dan membuatnya terjebak dalam kesalahpahaman.

            Krietttt

            Mendengar decitan pintu tempatnya dirawat, Sera menoleh ingin tahu siapa yang masuk ke ruangannya. Akankah dokter? Jika iya, Sera ingin segera pulang dan bekerja, serta ada sesuatu yang harus dia selesaikan.

            "Surprise!" Tsana tertawa melihat sahabat satu-satunya memejamkan mata karena terkejut. Sera salah besar! Sahabatnya yang ceriwis ini, lah, yang datang.

            "Hahaha, kenapa komuk-mu begitu to, Ra? Kayak ndak pernah nyangka aja dikasih kejutan!" Tangan Tsana memukul bahu Sera pelan. 'Eh, pelan? Mana ada! Sera bahkan mengaduh dibuatnya.'

            "Ney, udah mukulnya, deh! Badanku sakit semua malah dipukulin. Harusnya tuh disayang-sayang!" gerutu Sera.

            Tsana hanya tertawa menanggapi omelan dari Sera. Pagi ini seharusnya dia ada jadwal mata kuliah, tetapi mengetahui kabar dari kedua orang tuanya semalam tentang Sera yang mengalami kecelakaan, Tsana memutuskan untuk libur dulu saja. Lagi pula Tsana tidak suka dengan mata kuliah yang satu ini. Sst, dosennya killer!

            Sera yang tadinya masih sibuk mengomel, kini terdiam dan menyantap suapan demi suapan buah yang Tsana beri. "Kok, ya, bisa seorang Sera yang katanya dulu pas SD juara balap sepeda malah keperosok malem-malem?"

            "Jalannya gelap! Hujan lagi, wajar aja!" dengus Sera pelan.

            "Kalau tahu hujan, ya, kamu meneduh, Sera! Jangan diterobos gitu aja. Kata saksi mata, kamunya ngelamun, tuh. Coba ceritain apa yang bikin kepala kamu penuh itu?"

            Melihat Sera kembali tercenung, Tsana menghela napas berat. Sebenarnya, Sera ragu. Haruskah ia bercerita? Di saat seseorang yang di sana belum menjelaskan apa-apa?

***

            Flashback

            Hari ini toko bunga tempat Sera bekerja disibukkan dengan pesanan dekor. Kata Elang---koordinator lapangan---ada pesanan dadakan untuk acara pertunangan. Jadi mereka harus bersiap mulai dari penyusunan bunga dan pemasangan di lokasi. Untungnya adalah bunga yang digunakan beberapa adalah bunga palsu, sehingga florist tempat Sera bekerja tidak repot mencari suply tanaman dadakan.

            Sera sendiri bekerja di bagian pengantaran, tak masalah bagi Sera mengingat bekerja di florist adalah impiannya sejak kecil, asalkan bisa berbaur dengan bunga, Sera akan mencintai pekerjaannya itu. Hari ini jadwal Sera untuk mengantar pesanan cukup banyak, terlihat dari tumpukan beberapa buket bunga di keranjang sepeda---yang sudah ia deklarasikan sebagai miliknya---menunggu untuk diantar. 

            Namun sebelum itu, gadis berambut hitam legam yang dikepang dua dengan hiasan pita pink menyempatkan diri menghubungi sahabatnya. Ia khawatir, sudah seminggu ini Ney-nya sulit dihubungi, apalagi ketika Sera selesai bekerja yang menandakan hari sudah malam, maka ponsel Ney-nya akan mati. Ia tahu bahwa sang sahabat sedang melaksanakan ujian, tapi dulu pun Ney-nya tidak pernah hilang kabar seperti ini.

            Mendengar suara operator yang menjawab panggilannya, Sera mendengus malas. Ia pun memilih untuk segera mengantar pesanan sebelum mendapat teguran dari atasannya. Ya sudahlah, Tsana punya kesibukan sendiri dan Sera tidak boleh egois.

            Tanpa terasa, awan kelabu di sore hari menyita perhatia Sera dari jalanan,, sepertinya hujan akan turun di malam nanti. Melirik keranjang di belakangnya, Sera menggumam, "Kurang satu buket mawar merah lagi, setelah itu mari kita pulang, Sera."

            Rumah bercat putih yang selama ini sering ia kunjungi untuk mengantar pesanan terlihat ramai, ada banyak sekali dekorasi dengan bunga-bunga yang melambangkan makna kasih sayang. Eh, bukankah itu mobil milik florist tempat Sera bekerja? Sera memutuskan untuk mengantar pesanan terlebih dahulu sebelum menyapa teman-temannya.

            Setiap kali mengantar bunga ke alamat ini, Sera selalu memiliki perasaan untuk terus singgah. Pesanan atas nama Aruna seakan menyimpan makna tersendiri dalam setiap buketnya. Sera yakin, bunga ini tidak untuk diberikan kepada orang lain, melainkan untuk disimpan sendiri. Terbukti dari beberapa kali Sera melihat bunga yang diantarnya sudah tertata rapi di vas kaca ruang tamu rumah Aruna.

            "Permisi, pesanan bunga atas nama Aruna!" serunya sedikit berteriak.

            "Sebentar," sahut seseorang dari dalam.

            Sera tahu, setiap orang memiliki kisah tersendiri dalam hidupnya. Tidak semua orang suka ketika ditanya tentang kisah pilu yang pernah dialami. Sera mengerti karena dia sendiri adalah tipe orang yang tidak suka menceritakan tentang masalah pribadi.

            'Untuk apa orang lain tahu? Mereka hanya akan bersimpati lalu pergi.' Begitulah kira-kira yang Sera pikirkan.

            Namun kali ini, Sera ingin tahu sekali cerita dibalik wajah sendu Aruna. Setiap datang ke sini, Aruna yang akan menyambutnya. Jalannya dibantu dengan tongkat, tangannya meraba kesana-kemari. Bibirnya mengulas senyum tipis, seolah bunga-bunga yang dipesannya adalah hal yang selalu Aruna tunggu. Setiap selesai mengambil pesanan, Aruna tidak langsung berbalik pergi. Aruna dekap bunga itu erat-erat, seolah jiwa seseorang tersimpan di dalamnya.

            "Bahagia selalu untuk siapapun kamu yang mengantar pesananku. Tolong, antarkan bunga dengan perasaan yang bahagia, karena setiap bunga yang dipesan, selalu ada harapan dan kenangan."

            Sera tersenyum membalas pesan yang selalu Aruna sampaikan, meskipun Sera tahu bahwa Aruna tidak bisa melihat senyumnya. Usai Aruna kembali masuk, Sera menghampiri Elang untuk sekedar menyapa, ternyata pesanan dekor tadi adalah untuk pertunangan Aruna. Ketika Elang mengajaknya kembali, Sera memilih untuk singgah, mengamati susunan bunga dengan makna yang dalam. 

            Hari berlalu, mentari pun mengistirahatkan diri, sementara bulan terlihat malu-malu dari balik awan mendung. Sera harus kembali pulang, tapi ketika dia hendak pergi mengambil sepedanya, mobil-mobil berdatangan, rombongan orang berjalan memasuki rumah Aruna. Tunggu sebentar, bukankah pria berbaju batik yang kini menunjukkan wajah datarnya, kemudian berdiri paling depan dengan kedua orang yang lebih tua di samping kanan kirinya adalah Radin? Radinindra Nayaka. Kekasih Tsana. Seseorang yang selalu sahabatnya banggakan.

            Sera baru sadar, saat tadi mengantar bunga. Inisial nama yang tertempel di dinding ruang tamu bertuliskan 'R and A'. Sera memiliki firasat buruk akan ini, ia harus berbicara dengan Radin. Tanpa perlu mendengar apa yang kedua keluarga tersebut bicarakan di dalam, Sera tahu ada yang tidak beres dengan pacar sahabatnya itu.

            Di perjalanan pulang, rintik-rintik air mulai bermain di bumi, terjatuh bebas perlahan sampai akhirnya deras hujan mengalahkan suara-suara kendaraan. Sera yang larut dalam pikiran, terus mengayuh seolah tidak ada hentian, hingga dentuman membuat tubuhnya terpental ke sisi jalan yang lain, dengan goresan aspal yang menyambut Sera untuk dipeluk di tengah hujan. Sera rasa bintang-bintang mulai datang, membuat matanya semakin berkunang-kunang. Tanpa menghiraukan ramainya jalan dan teriakan sekitar, Sera tertidur di antara gerombolan.

***

            Tsana sudah pulang satu jam lalu, begitupun dengan Sera yang kini menyusuri lorong penuh dengan wajah kecemasan. Langkahnya membawa Sera menuju taman rumah sakit, ia mengajak Radin bertemu siang ini. Beberapa kali Sera melirik layar ponselnya, memperhatikan salah satu fitur yang selama ini selalu dia abaikan, tertulis 27 derajat Celcius membuat Sera mendengus, pantas saja siang ini matahari menyorot begitu panas, padahal Sera sudah memilih kursi taman di bawah pohon rindang. Mendengar suara langkah mendekat, Sera pun mengangkat pandangannya. Memperhatikan Radin yang datang dan duduk dalam diam.

            "Langsung aja, ya, Radin. Aku minta ketemu karena-"

            "Kamu ngelihat aku tunangan?" potong Radin cepat. Dalam diamnya, ekspresi wajah Radin berubah seolah cemas, ada yang ingin disampaikannya pada sahabat sang kekasih.

            "Aku nggak tunangan, Ra. Aku harus tanggung jawab sama perbuatanku ke mereka. Kamu bisa tanya Aruna langsung kalau nggak percaya. Aku tahu kalau kamu ngintip di samping rumah Aruna waktu itu, kan? Dan juga, semoga kamu cepat sembuh, Ra," lanjut Radin menjelaskan.

            Tanpa mereka sadari, pertemuan tadi mengundang banyak tanda tanya bagi seseorang yang berdiri di balik tembok rumah sakit, Tsana. Ia kembali lagi karena merasa ada yang tertinggal, tetapi bukannya memastikan justru dia memperhatikan pertemuan antara Radin dan Sera. Mengapa Radin cemas? Apa yang mereka bicarakan? Selama ini yang Tsamama tahu, mereka tidak pernah sekenal ini, bahkan Sera seharusnya tidak punya nomor Radin. Jujur saja, Tsana sengaja tidak mengenalkan Radin dengan Sera secara intens, ia hanya mewanti-wanti saja terjadi sesuatu antara keduanya.

            Katakanlah bahwa Tsana adalah seseorang yang tidak percaya diri, ia terlalu takut ditinggalkan oleh sang kekasih. Sampai-sampai rasa cemburu tidak bisa terelakkan mengingat Tsana lebih dulu bertemu dengan Radin sehingga ia sudah benar-benar percaya dengan kekasihnya itu. Bagaimana dengan Sera? Entahlah, Tsana menyayangi dan percaya pada Sera, tapi kenyataan yang ada justru berbanding terbalik, sikapnya seolah menganggap Sera sebagai seseorang yang tidak bisa dipercaya. Seperti saat ini, belum mendengar penjelasan apa-apa saja, Tsana sudah merasa panas, tangannya terkepal erat, dan pergi dengan napas tersengal-sengal menghampiri keduanya.

            "Radinindra!" seru Tsana.

            Mereka berdua menoleh dengan raut terkejut. Tsana! Bagaimana bisa perempuan ini tiba-tiba datang begitu saja?

            "Ney.. Kamu ke sini sama siapa? Mau ngapain? Ini panas sekali, lho," tanya Sera mengalihkan perhatian.

            Tsana menoleh ke arah Sera, "Kamu kenapa berdua sama Radin?"

            Kemudian ia berganti menatap kekasihnya, "Kamu bilang ada urusan, ternyata sama Sera? Kenapa enggak ngajak aku?"

            Sera pikir, Radin akan mengungkapkan yang sebenarnya kepada Tsana. Namun, dia hanya diam, memandang Tsana dengan tatapan dalam. Radin terlihat tulus, bahkan Sera sadar bahwa Radin sudah sejatuh itu dengan sahabatnya. Tapi, kenapa?

            "Ney," panggil Sera.

            Terjeda sejenak karena Sera membasahi bibirnya yang terasa kering, "Kita jalan-jalan, yuk! Aku pengen cari udara segar," ajaknya dengan canggung.

            Tsana mengukir senyum manisnya, seakan dia tidak pernah bertanya mengenai bertemunya Radin dan Sera, "Yaudah ayo! Radin, aku pergi dulu, ya! Dadah!"

            Radin mengangguk, balas tersenyum menatap sang kekasih. Tatapannya terus menyendu, Radin merasa bersalah dengan kekasihnya. Tsana tersenyum, tanpa tau apa yang Radin lakukan di belakang. Radin harap Sera mengerti, bahkan mau membantunya.

            Sera dan Tsana memutuskan singgah ke salah satu kafe di dekat taman, mereka perlu bicara. Melihat sahabatnya termenung sedikit saja, Tsana tahu, ada yang tidak beres dengan Sera.

            "Kenapa? Bicara aja, Ra."

            Lagi, perkataan yang sudah Sera siapkan sedari tadi seakan tersangkut di tenggorokan. Dia tidak mampu melanjutkan. Tapi hatinya teguh, dengan tegas menuntut Sera untuk maju.

            'Ayo, Ra! Jangan sampai Ney sakit semakin dalam.'

            Sera menghembuskan napas berat, "Aku lihat Radin kemarin. Dia... tunangan, Ney."

            Tsana masih diam, menatap Sera yang memejamkan matanya takut.

            "Heh?" Tsana terkekeh.

            Sera yang mendengar kekehannya pun perlahan mulai membuka mata.

            "Pergi berdua ke taman sama pacar sahabat sendiri, saling tatap, itu gimana, Ra?" Tsana menekan kata 'sahabat' saat bertanya. Seolah menegaskan posisinya di hidup Sera.

            Kan, Sera sudah menduga hal ini terjadi. Tsana tidak sebodoh itu untuk menganggap enteng pertemuannya tadi.

            "Terima kasih atas informasinya, Sera. Tapi sepertinya cukup pembicaraan dengan Radin. Apa yang kamu bilang terlalu nggak masuk akal. Aku kenal Radin, aku percaya dia, Sera," lanjutnya beranjak pergi.

            Tsana terlihat jauh lebih tenang dari bayangan Sera saat mengucapkan hal itu. Tapi bukan ini reaksi yang Sera harapkan. Tsana lagi-lagi terlalu jatuh pada Radin. Sera tak menyerah, dia terus berusaha menjelaskan pada Tsana.

            "Aruna. Nama perempuan yang tunangan dengan Radin adalah Aruna. Aku bisa antar kamu ke sana, Ney," bujuk Sera.

            Tsana terus melanjutkan jalannya, mereka sudah besar, malu bertengkar di dalam. Sedangkan Sera terus saja mengejar dengan penjelasan-penjelasan yang menurut Tsana tidak masuk akal. Sera mabuk! Bagaimana bisa Radin yang selalu memperlakukannya baik justru bertunangan dengan orang lain? Tsana curiga ini hanya akal-akalan Sera saja karena cemburu pada Tsana.

            "Percaya aku, Ney! Bicarakan dengan Radin! Aku sahabat kamu, kan, Ney?"

            Sampai di samping gang sepi, Tsana berhenti. Menatap Sera yang sedang mengatur ritme nafasnya setelah mengejar Tsana. "Kamu sahabatku. Tapi aku lebih dulu kenal Radin dibanding kamu!"

            "Ra, aku selalu percaya kamu. Untuk hal yang satu ini nggak mungkin, beberapa hari ini bahkan aku ngehabisin waktu sama Radin setelah ujian selesai. Gimana bisa Radin tunangan gitu aja?"

            Sera menggeleng, "Nggak, tolong percaya aku."

            Sera kira, Tsana akan mempercayainya. Namun, jawaban Tsana membuatnya memundurkan langkah. Membiarkan Tsana melanjutkan perjalanannya. "Kita sahabat, kan? Kalau gitu biarkan aku mengurus hubunganku sendiri."

            Sera menghela napas, menyenderkan tubuhnya lelah pada tiang di belakangnya. Yah.. setidaknya dia sudah memberi tahu Tsana. Mengingat bagaimana jasa Tsana dalam hidupnya, Sera tidak mau berhenti, dia akan terus membantu Ney-nya.

            Keesokan harinya, Sera berkunjung ke kediaman Aruna, ia perlu tahu semuanya. Selepas itu, biarkan dia memberitahukan pada Tsana tanpa ditutup-tutupi. Dari kejauhan, Aruna sudah seperti menunggu untuk menyambut Sera datang, di pangkuannya terdapat setangkai bunga mawar merah.

            "Hai, kamu yang mengantar bungaku, ya? Jangan kaget, soalnya aku hafal sekali wangi bunga di tubuhmu." Aruna terkekeh sendiri dengan ucapannya, hafal wangi tubuh seseorang? Yang benar saja!

            Sera ikut tersenyum mendengar tawa kecil nan manis Aruna, ia sepertinya gadis yang baik. Setelah mendapat izin dari tuang rumah untuk duduk, Sera mulai menanyakan perihal hubungan Aruna dengan Radinindra. Dan beruntunglah Sera karena Aruna menyambut baik setiap tanyanya.

            "Ah, Radin udah bilang bakal ada yang tanya ini ke aku. Radin pun bener, kok, kita memang tidak bertunangan... secara hati. Dia cuma minjemin raganya aja buat gantiin tunanganku yang lagi sakit. Aku sekalian titip doa ke kamu, ya, tolong doakan agar dia cepat kembali."

            Sera rasa Aruna menjelaskan semuanya dengan jujur dan detail, ia bahkan tidak melewatkan hal kecil saat menceritakan kronologi tentang bagaimana Radin menabrak pengendara motor ketika sedang terburu-buru untuk menemui Tsana. Seluruh kejadian yang Sera lihat kemarin hanya rangkaian pertunangan palsu, mengingat kekasih Aruna yang sudah memesan dadakan dekor bunga, tidak mungkin ia membatalkan di hari-h. Jadilah Radin yang menggantikan perannya.

            Seharusnya Tsana mendengar seluruh penjelasan ini, tetapi ketika sampai di sana ia hanya bertemu kedua orang tua Tsana tanpa putri tersayang mereka. "Tante, Ney ada? Sera perlu bicara," melas Sera dengan mata berkaca-kaca.

            "Sera sayang, Ney lagi nggak bisa ditemuin, nih. Sepertinya sedang banyak tugas, gimana kalau Sera mampir lagi besuk?" jawab Trya, Ibu Tsana.

            Sera mengangguk, "Ah, begitu, ya, Tante. Iya, deh, nanti Sera mampir lagi setelah pulang kerja."

            "Eh pindah kerja, ya, sepertinya? Keterima di mana, Nak? Kok ndak cerita-cerita sama kita?" sahut Rafi, ayah Tsana.

            Sera sampai terkekeh dibuatnya, keluarga Tsana memang hangat. Sera suka sekali mendengar perhatian-perhatian kecil seperti ini dari mereka. Tsana pantas menuruni kehangatan keluarga ini.

            "Sera udah kerja di florist, Om. Kemarin mau ke sini tapi Sera sering lemburnya," jawab Sera.

            "Sayang, kalau memang capek jangan dipaksa lembur, ya. Boleh semangat bekerja, Tante tahu ini pekerjaan impian kamu. Selamat dari Om dan Tante, Cah Ayu."

            Rafi mengangguk setuju mendengar itu, "Kalau capek dan ada yang bisa kami bantu, datang ke kami, ya, Nak."

            Sera tahu ia tidak seharusnya menerima ini setelah mencampuri kisah percintaan Tsana. Tidak seharusnya Sera masih merasa sehangat ini. Sera tidak boleh mendapat pelukan dari Trya dan Rafi setelah dia melukai pelukan yang selalu putri mereka beri.

            'Entah sedang apa kamu di sana, semoga aku masih memiliki tempat di keluarga ini, Ney.' Sera tersenyum dengan bulir air yang mulai mengalir di pipinya.

            Setiap hal kecil yang Tsana berikan, selalu menjadi hal besar bagi Sera. Setiap perhatian yang selalu Tsana curahkan, akan terus terkenang di ingatan Sera. Setiap waktu yang Tsana luangkan untuk Sera, maka Sera akan terus meluangkan waktu-waktu dalam hidupnya demi Tsana. Tak pernah mereka bertengkar hanya karena hadirnya sosok lelaki di tengah-tengah mereka, Tsana yang selalu Neyakinkan Sera bahwa tidak semua laki-laki itu memiliki pemikiran yang buruk, dan Sera yang terus mendukung keputusan Tsana dalam memilih pasangan. Dan Radin lah yang selalu Tsana pilih, maka dari itu Sera merasa ikut sakit melihat bagaimana Radin tidak berkata sejujurnya pada Tsana.

            Sera dan Tsana tidak pernah membiarkan diri mereka merasa sendiri satu sama lain. Semua ini berawal dari pertemuan mereka saat satu kelas di masa sekolah menengah. Dulu, mereka hanya saling mengenal tanpa akrab, tetapi suatu saat ketika jam kosong berlangsung, Tsana mendekati Sera yang anteng memainkan ponselnya. Tsana tidak tahu bagaimana Sera diabaikan oleh teman-temannya dulu, bahkan perkataan Sera pun sering tidak terbalas dengan percakapan yang menyenangkan. Sampai sosok Tsana hadir dengan senyum ramahnya, mengajak Sera mengobrol tentang banyak hal yang keduanya sepakati. Tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk akrab, mengingat Sera yang membuka diri dan menemukan teman satu jalan setelah bertemu Tsana.

            'Memang apa yang bisa dicinta dari aku?' tanya Sera di sela obrolan mereka dulu.

            Merangkul sayang pundak Sera, jawaban singkat Tsana membekas lama diingatan Sera, 'Semua hal yang ada di kamu, Sera.'

            Mereka, sedekat itu dari dulu. Namun, sejak Sera memilih untuk berbicara dibanding diam, semuanya perlahan berubah. Setiap pulang dari florist, Sera akan sempatkan waktu menemui Tsana dan berakhir dengan kembali ke kos setelah penjelasan singkat dari kedua orang tuanya. Sera rasa... Tsana menjauhinya. Bahkan pesan-pesan Sera pun tidak mendapat balasan sama sekali. Tsana seakan hilang dari hadapan Sera. Menemuinya di kampus pun bukan pilihan tepat karena Sera bisa saja bertemu Radin kapan saja. Dan Sera yakin, apabila itu terjadi maka semua akan lebih kacau dari ini.

            Semakin hari, Tsana semakin jauh dari Sera. Padahal seharusnya saat ini Tsana sudah libur semesteran, Sera masih mengerti bahwa Tsana tidak mau menemuinya ketika Sera berkunjung, hanya saja mengapa Tsana sampai memutuskan untuk pergi ke luar kota? Menurut informasi dari kedua orang tua Tsana, libur semester kali ini lumayan panjang. Itu artinya, akan semakin lama juga Sera menjelaskan pada Tsana. Oleh karenanya, Sera memutuskan menitipkan surat kepada Tante Trya dan Om Rafi, sebelum semuanya terlambat. Sera tidak bisa menyusul, ada hal yang harus dia selesaikan di sini.

            Kembali pulang, surat dengan amplop merah muda dan satu buket bunga freesia sudah dibawa, menunggu dibaca oleh Ney-nya. Sementara sang pena kini menyusuri setiap tapak tanah bergundukan, mencari papan nama yang membantunya menemukan sang keluarga. Tubuh berbalut pakaian hitam itu menjongkokkan diri setelah menemukan rumah kedua orang tuanya. Mengelus pelan papan nama mereka secara bergantian dengan doa-doa yang ia lantunkan dalam hati. Semua selesai, sesi cerita dimulai. Jika biasanya setiap tanggal 2 Februari dia pergi dengan Ney-nya, kini Sera memperingati hari di mana kedua orang tuanya pergi sendirian. Memeluk dirinya sendiri tanpa ada pelulan dari Ney-nya.

            "Hidup Sera baik-baik saja, tapi ada yang hilang lagi, Ibun. Sera awalnya memilih untuk diam, tapi semesta ngirim Sera untuk terus bicara, Ayah."

            "Ibun sering bilang ke Sera, kalau waktu akan terus mengungkap setiap hal dalam hidup seseorang. Tapi kalau waktu yang minta Sera buat ungkapi hal itu gimana, ya, Bun?"

            "Sera belajar dari Ayah untuk selalu tenang di setiap keadaan, karena Ayah bilang akan selalu ada orang yang mendampingi ketenangan Sera. Tsana beneran dateng setelah kalian pergi, tapi kalau sekarang Tsana ijauhi aku, Sera harus bisa dampingi diri Sera sendiri, ya. Sera harus mulai menerima setiap sepi di hidup Sera."

            "Sera mau pulang dulu, Yah, Bun. Sampai jumpa di titik tertinggi kehidupan nanti, ya, Sera bakal kenalin kalian ke Tsana dan keluarganya."

            Sera tahu, persahabatan mereka sedang diuji di sini. Semua ini tentang kepercayaan, Sera sudah sempat menghubungi Radin untuk menjelaskan semuanya. Sera harap, Radin mau bekerja sama.

***

            Selama ini Tsana sengaja menjauh karena sering kali pertemuan Sera dan Radin dulu mengganggu pikirannya, ditambah lagi hubungan Radin dengan Tsana kini seperti makin jauh saja. Tetapi tiba-tiba Radin mengirim pesan pada Tsana bahwa dia ingin bertemu. Tak terelakkan, meski bingung dengan keadaannya saat ini, Tsana pun menyetujuinya. 'Tumben?' pikir Tsana.

            Radin itu gampang sekali merasa bersalah, tetapi hal itu membuatnya menjadi sosok yang bertanggungjawab. Sekali rasa bersalahnya tidak tersalurkan melalui pengorbanan, dia akan terus tenggelam dalam rasa salah. Pernah suatu ketika ia lalai dalam berkendara dan mengakibatkan korbannya mengalami luka parah, Radin akan menerima hal-hal dari sang korban sebagai bentuk tanggung jawabnya. Itu pula yang terjadi pada Aruna sebelumnya.

            Tsana mendengar setiap penjelasan yang Radin utarakan kepadanya, mulai dari kenapa ia dulu terlambat menjemput Tsana, kejadian Aruna, pertemuannya dengan Sera, dan banyak hal lain yang Radin rasa kekasihnya harus tahu. Semuanya mengejutkan Tsana, bahkan ia baru tahu bahwa selama ini Radin sengaja memberi jarak karena tidak mau melibatkan Tsana dalam masalahnya dengan Aruna.

***

            Satu minggu setelah pertemuan Sera dengan Aruna, Sera kembali datang lagi. Kali ini, Sera datang sebagai tamu. Ya, Aruna mengadakan pertunangan ulang dengan sang kekasih. Melakukan penyematan cincin kembali dengan senyum yang tak pernah luntur dan mata berbinar-binar. Kali ini, mata Aruna bersinar terang, tidak seperti sebelumnya. Sera membantu dekor acara pertunangan ini juga, mengingat ia dan Aruna satu pemikiran ketika membicarakan tentang bunga sehingga Aruna mempercayakan dekornya kepada toko bunga tempat Sera bekerja. Aruna juga mengundang Radin, saat pertemuan dengan Sera, perempuan itu mengusulkan untuk mengundang Tsana juga. Entah akan datang atau tidak, Sera hanya ingin Tsana tahu tentang kebenaran yang ada, bahwa ia tidak berbohong, begitupun dengan Radin yang sudah berusaha menjelaskan.

            Ketika Sera selesai berbincang dengan Aruna, ia mengedarkan pandangan, tiba-tiba saja matanya bertabrakan dengan mata milik seseorang yang ia rindukan. Ney yang selalu ia tunggu kehadirannya setelah salah paham ini. Tanpa menunggu apapun lagi, Sera berlari memeluk Ney-nya penuh kasih. Pelukannya erat, menyampaikan belenggu rindu dan rasa takut akan ditinggal sendiri oleh seseorang yang selama ini selalu membersamainya.

            "Maaf, maaf, maaf," ucap Tsana kali pertama. Ia menyembunyikan mata berkaca-kacanya di balik pelukan hangat itu.

            Sera menggeleng, "Nggak, aku nggak papa. Aku yang minta maaf."

            Mereka sama-sama mengurai pelukan, menatap satu sama lain sampai tertawa sendiri menyadari betapa saling membutuhkannya mereka. Radin di belakang Tsana yang tersenyum bahagia. Ternyata, lebih baik kita mencari tahu dulu kebenarannya sebelum menafsirkan sesuatu, karena diam tidak selamanya benar. Dan berbicara tidak selamanya merugikan, orang yang tepat akan mendengarkan dengan seksama kemudian menyimpulkan. Mereka tidak akan memotong atau mengelak, justru mendengar dan mengintrepretasikan yang akan dilakukan.

            Serta setiap hal baik yang Sera serta Tsana taburkan kepada sekitar, dimulai dari orang terdekat, akan memperkuat hubungan mereka ke depannya. Baik perhatian kecil hingga hal-hal besar yang mengingatkan satu sama yang lainnya. Ini bukan akhir cerita, melainkan awal baru bagi mereka setelah berhasil berani berbicara, menjaga kepercayaan, dan melawan rasa takut yang selama ini membelenggu.

***

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun