PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah permasalahan pemukiman. Permasalahan pemukiman sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum kelas atas dan kaum tidak mampu di perkotaan. Permasalahan pemukiman di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini semakin memberatkan kaum tidak mampu, ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekanisme pasar hal tersebut berjalan tanpa mempertimbangkan pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata berpihak pada kaum kelas atas, yang pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan dengan permasalahan-permasalahan sosial lainnya.
Bentuk fisik permukiman kumuh wilayah Tambora tidak terlepas dari faktor kemiskinan perkotaan. Bentukkan fisik permukiman yang tidak didasari dengan pola dan proses perencanaan yang sesuai aturan tentunya akan menyebabkan permasalahan di kemudian hari. Secara historis, kawasan Kecamatan Tambora merupakan lingkungan permukiman yang tumbuh secara alami (sebuah kampung yang tumbuh menjadi besar secara alami tanpa menjalani proses perencanaan kota). Seiring berjalannya waktu, kawasan Kecamatan Tambora tumbuh semakin tidak teratur. Hal ini dapat ditinjau dari tingkat kerapatan antar bangunan yang sangat tinggi, penggunaan lahan yang tidak teratur, lebar jalan yang semakin menyempit, dan sanitasi yang buruk.
Bentukkan fisik permukiman yang tidak didasari dengan pola dan proses perencanaan yang sesuai aturan tentunya akan menyebabkan permasalahan di kemudian hari. Seiring berjalannya waktu, kawasan Kecamatan Tambora tumbuh semakin tidak teratur. Hal ini dapat ditinjau dari tingkat kerapatan antarbangunan yang sangat tinggi, penggunaan lahan yang tidak teratur, lebar jalan yang semakin menyempit, dan sanitasi yang buruk. Selain permasalahan kepadatan penduduk, Kecamatan Tambora juga rentan terhadap masalah sosial seperti rendahnya angka pendidikan, rawan terhadap bencana kebakaran, bentrokan antar kelompok warga serta tingginya angka kemiskinan.[1]
Kondisi permukiman di DKI Jakarta masih belum tertata dan belum sesuai dengan rencana tata ruang kota. Selain itu kelangkaan tanah dan tingginya harga tanah menjadi kendala yang harus dihadapi pemerintah kota dalam pengadaan rumah tinggal. Kecamatan Tambora, Jakarta Barat merupakan salah satu kecamatan di wilayah permukiman dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi di provinsi DKI Jakarta. Terlalu padatnya jumlah penduduk ini kurang seimbang dengan daya tampung ruang hunian dan penataan ruang yang kurang tepat.
Selain itu perkembangan jumlah hunian di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini kurang diimbangi oleh ketersediaan lahan, sehingga untuk menambah jumlah hunian mereka cenderung mengabaikan aturan-aturan dasar tentang pengadaan bangunan rumah seperti kualitas bahan, jenis ruang, garis sempadan jalan maupun jarak antar rumah. Bahkan mereka menggunakan sebagian badan jalan untuk didirikan bangunan untuk pengembangan tempat tinggal yang menyebakan permukiman tersebut menjadi kumuh dan suasana yang tidak tertib yang berakibat pada berubahnya kualitas lingkungan fisik kawasan. Perubahan kualitas lingkungan fisik kawasan akibat aktivitas permukiman ini ditandai dengan terjadinya perusakan estetika lingkungan seperti ketidaksesuaian tampilan bangunan hunian yang semi permanen maupun tidak permanen dengan bangunan formal yang ada di sekitarnya, berkurangnya kenyamanan dan luasan sarana jalan karena sebagian badan jalan didirikan bangunan, tidak adanya penghijauan maupun ruang terbuka hijau pada halaman rumah, serta tidak ada lagi lahan yang dapat digunakan untuk membangun sarana lainnya seperti sarana pendidikan ataupun keagamaan serta sarana bermain anak.[2]
Pada umumnya selain dampak fisik lingkungan, muncul pula beberapa dampak sosial yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya yang tinggal di lingkungan permukiman padat tersebut antara lain kesehatan yang tidak terjamin dan banyak terjadi kejahatan karena lingkungan yang tidak nyaman. Kumuhnya permukiman di Tambora akibat aktifitas yang terlalu berlebihan, sehingga juga menyebabkan lingkungan hunian menjadi tidak sehat dan tidak nyaman untuk ditinggali. Sampah dan air limbah akibat aktifitas warga yang tidak dikelola dengan baik, sehingga menyebabkan pemandangan yang kotor, dan kekumuhan lingkungan juga disebabkan kurangnya fasilitas, sarana dan prasarana dan kurang terpeliharanya sarana prasarana tersebut dan terlalu padatnya jumlah penduduk yang kurang seimbang dengan daya tampung ruang hunian dan penataan yang kurang tepat.[3]
Atas dasar uraian dari fakta-fakta di atas penyusun tertarik membahas berbagai persoalan serius permukiman kumuh wilayah Tambora sehingga berangkat dari masalah ini kami melihat bahwa perlu adanya kolaborasi antara pemerintah dan aktor intermediary dalam pembangunan berkelanjutan di kawasan Tambora Jakarta Barat agar output kebijakan yang dihasilkan pro terhadap masyarakat Tambora . Analisa kasus ini dibantu dengan Teori Urban Rezim yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang bagaimana peran aktor politik yang terlibat dan bagaimana proses kolaborasi yang terjadi antara aktor pemerintah, swasta, dan masyarakat sebagai aktor intermediary dalam pembangunan di kawasan Tambora.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode penelitian kualitatif berfokus pada persepsi dan pengalaman serta cara memandang suatu kehidupan dan peneliti terutama tertarik untuk memahami bagaimana suatu hal terjadi (Fraenkel dan Walen, 1990; Merriam, 1988; serta Locke dkk.1987 dalam Creswell, 1998). Pendekatan penelitian ini adalah studi kasus. Disain dari studi kasus ini lebih memberikan kemungkinan kepada peneliti untuk memperoleh wawasan yang mendalam mengenai aspek-aspek dasar tentang perilaku manusia. Hal ini disebabkan karena studi kasus berupaya melakukan penyelidikan secara mendalam dan totalitas, intensif dan utuh (Muhamad Idrus, 2007).[4]
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder ini sendiri dipeoleh dari studi dokumentasi dan literatur, melalui cara mengumpulkan dan mempelajari data tertulis berupa buku-buku, dokumen-dokumen atau transkip, koran, jurnal, buletin, dan membuka akses melalui internet.
Landasan Teori
Penulis menggunakan Teori Urban Rezim. Teori dapat didefinisikan secara umum sebagai seperangkat pernyataan atau proposisi yang menggambarkan aspek yang berbeda dari beberapa fenomena (Babbie, 1998; Hagan, 1993; Senese, 1997). Dalam konteks penerapan, teori dapat dipahami sebagai ide yang saling berkaitan tentang berbagai pola, konsep, proses, hubungan, atau peristiwa. Dalam pemahaman formal, ilmuwan sosial biasanya mendefinisikan teori sebagai sistem laporan logis atau proposisi yang menjelaskan hubungan antara dua atau lebih objek, konsep, fenomena, atau karakteristik manusia-apa yang kadang-kadang disebut variabel (Boobie, 1992; Denzin, 1978; Polit & H ungler, 1993).[5]
Teori urban rezim memberikan pemahaman bagaimana peran aktor politik yang terlibat dan bagaimana kolaborasi yang terjadi antara aktor pemerintah dan swasta dalam perkembangan suatu wilayah. Stone bahkan menyatakan bahwa efektivitas dari pemerintah lokal bergantung pada kerjasama dari aktor non pemerintah (aktor swasta maupun masyarakat) dan kombinasi antara pemerintah dan sumberdaya non pemerintah.[6]
Stone menempatkan kebijakan pembangunan terkait dengan konseptualisasinya tentang power sebagai sebuah produk sosial yang berasal dari pertemuan antara kekuasaan sistemik dan kekuasaan pre-emptive power. Stone menekankan adanya aspek kekuasaan pre-emptive untuk menantang hegemoni ideology sebagai sebuah penjelasan atas karakteristik rejim yang dideskripsikan sebagai “social control paradigm” dalam kaitannya dengan structuralism. Dalam pemahaman ini Stone mengajukan sebuah model produksi sosial, atau power, dimana pemerintah membutuhkan suatu penyelesaian dan melihat sekutu yang tepat untuk hal tersebut. Pandangan tersebut pada dasarnya merupakan kritik terhadap argumen yang didasarkan pada pemahaman Marxisme yang menganggap bahwa aspek pemerintahan merupakan hal yang tidak signifikan dalam sebuah masyarakat kapitalistik. Dengan demikian, perubahan terjadi bukan melalui suatu proses alterasi melainkan bagianbagian dari proses evolusi dari berbagai kooperasi. Oleh karena itu hal penting dari sebuah proses pembangunan tidak terkait dengan suatu ideologi tapi secara spesifik pada bagaimana orang mengorganisasikan diri.[7]
Masih menurut Stone, orang-orang mengorganisasikan diri dalam upaya untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan kecil, membandingkan incentive secara selektif, tujuan, dan penyelesaian. Sepanjang waktu, paraactor berupaya untuk merespon secara cepat peluang dan tantangan yang ada. Jika kekuasaan terkait dengan kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu, maka menyelesaikan sesuatu akan terkait dengan suatu peluang kecil. Oleh karena itu, focus pengamatan yang penting dalam proses yang dikembangkan Stone salah satunya adalah pada proses agenda setting. Hal ini menunjukkan bahwa agenda setting merupakan titik penting yang berpengaruh segnifikan pada wujud kebijakan yang nantinya akan dihasilkan. Dalam proses tersebut, Stone menggunakan model dari Tillian tentang koherensi sosial yang rendah dimana tidak ada satupun ideology yang dominan, bahkan ketika mereka mendominasi secara politik. Dalam pemahaman ini, terdapat ruang yang sangat terbuka bagi berbagai interpretasi dan pemaknaan atas pembangunan dan kesejahteraan sebagai hal utama yang dilakukan dan ingin dituju dari suatu kebijakan pembangunan dari pemerintah, termasuk pemerintah kota.[8]
Teori rezim perkotaan telah menjadi paradigma dominan dalam bidang perkotaan politik dan kebijakan untuk lebih dari satu dekade. Pada awalnya konsep ini digunakan untuk menjelaskan antar sektor publik dan sektor swasta di Kota-kota Amerika yang kemudian mengalami perkembangan penggunaan sebagai alat analisis yang juga relevan digunakan untuk melihat berbagai pengaturan berbeda pada tingkat regional (Leo 1998; Clarke 1999). Konsep ini telah digunakan untuk menganalisa apa atau bagaimana berbagai kepentingan dimasukkan ke dalam pemerintahan oleh koalisi wanita (Turner 1995), isu tentang lesbian dan gay (Bailey 1999), isu tentang AfrikaAmerika (Whelan, Young, dan Lauria 1994), isu lingkungan (Ferman 1996), dan juga isu tentang kelas menengah hitam di dari Atlanta (stone 1989).6 Evolusi konsep rezim perkotaan terjadi pada berbagai aspek melalui berbagai pertanyaan-pertanyaan baru yang diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan di wilayah perkotaan.[9]
Analisis dalam teori ini memandang kekuasaan sebagai suatu hal yang terfragmentasi. Dalam hal ini rezim terkait dengan sutau pengaturan yang bersifat kolaboratif di mana pemerintah, pelaku swasta membentuk suatu pola hubungan tertentu terkait dengan adanya kapasitas memerintah yang dimiliki oleh pemerintah yang ada. Adapun alasan paling utama terjadinya fragmentasi dalam rezim adalah karena adanya pembagian kerja antara pasar dan negara (Elkin 1987).9 Dalam hal ini keberadaan rezim dalam kebijakan pembangunan perkotaan dipandang sebagai suatu sumber daya yang dibutuhkan oleh pemerintah dan juga pelaku bisnis agar memiliki legitimasi dalam menentukan proses pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut membuat Stone (1993) menggambarkan regime teori sangat kental dengan perspektif politik ekonomi yang menolak asumsi pluralis yang memadang pemerintah sebagai otoritas yang memadai untuk membuat dan melaksanakan kebijakan secara mandiri, serta asumsi strukturalis yang menyatakan bahwa kekuatan ekonomi menentukan kebijakan.[10]
PEMBAHASAN
Sekilas Mengenai Tambora
Sejarah mencatat bahwa wilayah Tambora, Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah yang kepadatan penduduknya mencapai lebih dari 250.000 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Tambora menempati urutan tertinggi kedua di DKI Jakarta. Dan bahkan dikatakan sebagai kampung terpadat se Asia Tenggara.[11] Penyebab kepadatan penduduk di Tambora, bermula dari konsepsi masyarakat dari luar Jakarta yang menganggap bahwa lapangan pekerjaan dapat dengan mudah ditemukan di kota besar. Yang pada akhirnya banyak masyarakat dari luar kota berbondong-bondong datang dan memadati tempat tersebut tanpa perancanaan yang pasti mengenai tempat kerja yang mereka dapatkan. Penduduk di wilayah Tambora,Jakarta Barat, kebanyakan berasal dari orang asli Betawi yang sejak dulu sudah tinggal di Jakarta. Namun seiring berjalannya waktu, arus migrasi terjadi sehingga mengakibatkan penambahan jumlah penduduk yang berasal dari luar pulau Jawa dan Sumatera.[12]
Kepadatan penduduk di Tambora juga diakibatkan oleh semakin sempitnya lahan, karena semakin berkembangnya pembangunan di wilayah Jakarta, maka lahan yang digunakan untuk pembangunan semakin meningkat, sehingga sudah terjadi penggurusan beberapa lahan di Tambora yang hasilnya akan digunakan untuk pembangunan seperti, perkantoran,hotel, dan tempat umum lainnya. Penggusuran tersebut tentu mengakibatkan semakin sempitnya lahan, sehingga kepadatan rumah penduduk semakin terjadi dan ditambah dengan penambahan jumlah penduduk yang datang. Tercatat dalam sejarah, bahwa lahan Tamboran,Jakarta Barat menjadi salah satu pusat di ibukota Jakarta, yang menjadi salah satu tempat strategis yang mudah diakses oleh banyak masyarakat.
Tingginya permintaan lahan untuk tempat bermukim menimbulkan kompetisi yang tinggi sehingga terbentuklah pola-pola permukiman. Salah satu pola permukiman yang terbentuk adalah pola permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan tinggi baik dari segi jumlah penduduknya maupun dari kerapatan bangunannya. Pada kawasan permukiman yang padat disertai dengan penurunan daya dukung lingkungan serta sarana prasarana lingkungan yang tidakmemadai menyebabkan terbentuknya permukiman kumuh (slum area).[13]
Masalah-Masalah Tambora: Pemukiman Terpadat se-Asia Tenggara
Kepadatan penduduk di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat menimbulkan berbagai permasalahan- permasalahan yang harus di hadapi masyarakatnya. Mulai dari rawan kebakaran hingga sanitasi yang jauh dari kata layak. Dalam Ambarwati dengan penelitian kuantitatifnya mengatakan bahwa pemukiman di Tambora masuk kedalam kriteria sebagai kumuh sedang, hal ini didasari dari rendahnya kepemilikan lahan dan bangunan yang dimana 60,2% bukan merupakan milik sendiri. Selain itu Frekuensi terjadi kebakaran di kawasan Tambora sendiri mencapai angka 3-4 kali dalam setahun sehingga masuk kategori tinggi.[14] Kebakaran yang sering terjadi di kawasan Tambora ini juga membuat Tambora dijuluki sebagai tempat “Arisan” Kebakaran. Pemukiman padat yang terjadi di Tambora juga menimbulkan krisis Air Bersih yang membuat masyarakat di kawasan Tambora, Jakarta Barat harus sangat bergantung kepada penggunaan PDAM.[15] Wilayah perkotaan yang seharusnya memiliki citra dan pemandangan kemajuan teknologi ciptaan manusia, hal tersebut tidak tergambar dalam wilayah Tambora. Gang venus RW 03 atau yang dikenal dengan wilayah tanpa Matahari di Tambora merupakan wujud nyata dari arus urbanisasi yang terus meningkat yang diiringi dengan ketidakmampuan lahan di Jakarta untuk menghadapi hal tersebut.[16]
Pemerintah Jakarta sendiri sudah berusaha untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di kawasan Tambora, Jakarta Barat. Langkah pemerintah DKI Jakarta dalam mengatasi permasalahan yang ada sendiri salah satunya dengan membangun Rumah Susun Sederhana (RUSUNAWA) di Tambora Jakarta Barat. Rusunawa Tambora merupakan perumahan vertikal yang dibangun dan dikelola oleh Dinas Perumahan Provinsi DKI Jakarta (Dinas Perumahan, 2008) yang berjarak sekitar 2,25 km dari Universitas Trisakti. Terdapat 4 blok rusun lama dan 3 (tiga) tower rusun baru dengan luas unit berkisar antara 18 m² hingga 30 m².[17] Pembangunan RUSUNAWA sendiri tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada di Tambora. Harga yang ditawarkan Rusunawa sendiri menurut masyarakat tambora masih cukup mahal dan RUSUNAWA sendiri memerlukan revitalisasi karena sudah mengalami beberapa kerusakan di bangunannya.[18] Kebakaran sendiri juga masih sering terjadi akibat dari sistem instalasi yang buruk, seperti pada tanggal 5 Desember 2020 terjadi kebakaran dengandugaan kerusakan instlasi listrik di Jalan Kampung Janis Rw 09, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora.[19] Kebakaran yang terjadi didasari kepada banyak warga harus mencuri listrik demi memangkas biaya yang harus ditinggalkan, sehingga kabel-kabel yang bertebaran dapat menciptakan potensi kebakaran.[20] Pemerintah DKI Jakarta juga berfokus untuk melakukan sweeping guna menertibkan kabel listrik di Tambora.[21] Pemerintah DKI juga menetapkan Peraturan Gubernur (PERGUB) Nomor 90 Tahun 2018 tentang peningkatan kualitas pemukiman Kawasan Terpadu. PERGUB ini merupakan sebuah cara dari Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi pemukiman kumuh dengan konsep Community Action Plan (CAP), yang dimana melibatkan masyarakat dalam pembangunannya. Anggaran Dana yang besar dalam program ini tidak memberikan banyak manfaat secara langsung kepada masyarakat Tambora. Dilansir dari Ambarvati Kecamatan Tambora, Jakarta Barat masih dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Karena tingkat pelayanan air bersih yang belum mencapai 100%, sanitasi dan drainase yang buruk, kondisi jalan yang sempit, pembuang sampah yang tidak terpadu, minimnya ruang terbuka, tingginya kepadatan penduduk, dan permasalahan lainnya yang masih ada hingga saat ini.[22]
Penyelesaian permasalahan yang terjadi di Kawasan Tambora seakan hampir tidak berguna karena kompleksitas permasalahan yang terjadi di dalamnya. Pemerintah kota sendiri seakan sudah mulai menghiraukan dengan memberikan izin pembangunan MALL Season City di Ruang Terbuka Hijau (RTH), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Menyangkal hal tersebut karena dianggap sesuai dengan Peraturan Daerah (PERDA) DKI Jakarta No 1 Tahun 2012 yang mengatur rencana detail tata ruang di wilayah Jakarta. Mall Season City yang dibangun di Kawasan Tambora, Jakarta Barat sangatlah kontras dengan pemandangan pemukiman kumuh yang dapat terlihat jelas ditengah kepadatan Ibu Kota Indonesia. Berdirinya Mall Season City dikawasan “terkumuh” menggambarkan dengan jelas bagaimana hubungan antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat yang tidak saling mendukung satu sama lain dalam meningkatkan kualitas wilayah perkotaan dalam hal ini Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Padahal dengan melibatkan masyarakat dalam kolaborasi antara Pemerintah kota dan Swasta, akan mempermudah dan lebih mempercepat pembangunan wilayah. Kerja sama yang terjadi juga akan menguntungkan masyarakat dengan meningkatnya perekonomian, karena dalam penelitian ambarwati tingkat kemiskinan di Tambora mencapai 76.1% penduduk yang pendapatannya masih di bawah UMP.[23] Keinginan masyarakat kecamatan Tambora, Jakarta Barat untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak serta-merta hanya mengandalkan pemerintah semata. Swasta sangat berperan penting dalam membantu hal tersebut. Dimana saat ini peran swasta di kecamatan Tambora hanya terfokus kepada pemanfaatan ekonomi. Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan dari penelitian Ambarwati bahwa 60,2% Masyarakat kecamatan Tambora, Jakarta Barat harus membayarkan hunian yang disewanya yang seharusnya angka ini dapat dikurangi secara drastis bila ada kerja sama yang aktif antara pemerintah kota, swasta, dan masyarakat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebetulnya sudah memikirkan penyelesaian yang dapat dilakukan dalam menjawab kebutuhan di Tambora, dengan Program Kampung Deret. Dimana program ini terbukti dapat mengubah kawasan yang tadinya kumuh, pencahayaannya kurang, penghawaannya kurang, penataan rumah yang tidak rapi, dan lain sebagainya menjadi kawasan yang tidak kumuh, lebih sehat karena penghawaan dan pencahayaannya cukup serta penataan rumah yang lebih rapi. Selain itu warga juga mendapatkan fasilitas-fasilitas yang menunjang kehidupannya yang sebelumnya tidak ada seperti halnya kamar mandi atau wc pribadi, taman bermain, drainase, jalan yang lebih rapi dan lebar, dan lain sebagainya.[24] Kampung deret sendiri diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 64 tahun 2013, Tetapi Program ini sendiri harus terhenti akibat dari pergantian kepemimpinan. Kebutuhan masyarakat Tambora yang sangat kompleks sendiri dapat diatasi dengan kolaborasi seperti dengan kampung deret ini, tetapi masih belum terciptanya Kolaborasi antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Oleh karenannya untuk itu diperlukan kelompok masyarakat yang aktif dalam menyuarakan kebutuhan-kebutuhan di kecamatan Tambora yang berperan sebagai penyalur suara-suara masyarakat di Kecamatan Tambora.
Kolaborasi Pemerintah dan Aktor Intermediary dalam Sebuah Proses Kebijakan
Terdapat beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk mengupayakan pembangunan berkelanjutan di kawasan pemukiman padat penduduk seperti Tambora. Pembahasan mengenai politik perkotaan yang terkait dengan perencanaan pembangunan perkotaan dapat dikatakan merupakan sebuah hal yang sangat kompleks. Dalam kondisi kebijakan pembangunan kota, terdapat adanya interaksi antar aktor-aktor yang merupakan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan yang orientasi utama kebijakan tersebut terhubung dengan pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat yang nantinya akan merasakan manfaat dari output kebijakan pembangunan kota. Dalam kasus pembangunan kota seringkali aspirasi dan kepentingan masyarakat terabaikan, masyarakat-masyarakat Tambora pun kian hari merasa semakin terpinggirkan karena adanya pembangunan yang pesat di sekitar Tambora, namun kawasan terpadat se-Asia Tenggara ini luput dari pandangan mata para pemangku kebijakan.
Pemerintah merupakan aspek yang paling penting dalam konteks teori rezim pada dinamika kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi dari penelitian ini adalah mencoba menganalisa bahwa teori urban rezim menjelaskan mengenai perlunya sebuah kolaborasi yang dilakukan oleh berbagai aktor untuk tujuan pembangunan dan penataan ruang kota. Kolaborasi akan berjalan dengan maksimal apabila terdapat peran dari aktor intermediary yang mencoba untuk menghubungkan pemerintah dan pihak swasta. Stone bahkan menyatakan bahwa efektivitas dari pemerintah lokal bergantung pada kerjasama dari aktor non pemerintah (aktor swasta maupun masyarakat) dan kombinasi antara pemerintah dan sumberdaya non pemerintah (stone: 1989). Aktor intermediary merupakan aktor perantara seperti antara lain LSM, mahasiswa, masyarakat setempat, dan lain sebagainya. Solusi yang ditawarkan dari penelitian ini untuk permasalahan di Tambora yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji dan memilih kebijakan yang tepat dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan kawasan Tambora yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dengan mengikutsertakan peran aktor intermediary yang bersifat partisipatif dan memiliki community power.
Dengan adanya latar belakang dan kepentingan yang beragam dari tiap-tiap aktor, maka proses pembuatan kebijakan diharapkan mampu menghasilkan sebuah sinergitas yang tertuju pada proses pembangunan yang dilakukan oleh rezim yang memiliki pengaruh besar dalam proses kebijakan, kebijakan yang dihasilkan atas dasar partisipasi dan community power menjadi suatu pedoman bagi program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam pembangunan kota, pemilihan kebijakan yang tepat akan membawa dampak yang besar kepada masyarakat. Kenyataan bahwa suatu kebijakan merupakan hasil dari interaksi aktor dalam hal ini termasuk interpretasi aktor terhadap makna pembangunan maka dapat dikatakan bahwa cara pandang serta pemaknaan masingmasing aktor penting dalam proses tersebut menjadi titik penting sebuah kebijakan pembangunan. Dalam konteks ini, interpretasi pada ide pembangunan sangat mungkin akan terkait dengan preferensi dan kepentingan masing-masing actor. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa proses kebijakan pembangunan merupakan suatu ruang dialektika dari beragam ide dan kepentingan para aktor dalam konstruksi sistem yang tersedia[25]
Kebijakan-kebijakan yang sekiranya tepat dan dapat dikaji sesuai dengan masalah yang dialami oleh masayrakat Tambora adalah dengan merevitalisasi kawasan tersebut serta mengevaluasi dan meningkatkan kembali efektivitas Community Action Plan yang telah dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kebijakan pembangunan pemukiman bagi masyarakat urban di kawasan Tambora dapat dilakukan dengan cara-cara membangun tanpa menggusur, peningkatan mutu kawasan, program air bersih, toilet yang layak, dan pengadaan rumah hunian murah berperspektif masyarakat menengah kebawah dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Kesimpulan
Melihat zaman yang semakin berubah dan populasi manusia yang semakin bertambah membuat ketersedian lahan menjadi permasalahan yang seolah tidak ada habisnya. Sehingga, melahirkan permasalahan permukiman. Permasalahan permukiman juga sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum kelas atas dan kaum tidak mampu di perkotaan. Permasalahan pemukiman di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini semakin memberatkan kaum tidak mampu, ketika kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekanisme pasar hal tersebut berjalan tanpa mempertimbangkan pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum miskin diperkotaan. Tingginya permintaan lahan untuk tempat bermukim menimbulkan kompetisi yang tinggi sehingga terbentuklah pola-pola permukiman. Salah satu pola permukiman yang terbentuk adalah pola permukiman yang mempunyai tingkat kepadatan tinggi baik dari segi jumlah penduduknya maupun dari kerapatan bangunannya. Kepadatan penduduk di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat menimbulkan berbagai permasalahan- permasalahan yang harus di hadapi masyarakatnya. Mulai dari rawan kebakaran hingga sanitasi yang jauh dari kata layak. Pemerintah sebagai aktor politik disini diharapkan menghasilkan sebuah sinergitas yang tertuju pada proses pembangunan yang dilakukan oleh rezim yang memiliki pengaruh besar dalam proses kebijakan. Sebab, melihat adanya latar belakang dan kepentingan yang beragam dari tiap-tiap actor tersebut. Kebijakan pembangunan bagi masyarakat urban di Tambora yang dilakukan seharusnya tanpa menggusur, peningkatan mutu kawasan, program-program yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pengadaan hunian murah berprepektif untuk kalangan masyarakat menengah kebawah. Ataupun kebijakan yang sekiranya sesuai dengan masalah yang dialami oleh masayrakat Tambora adalah dengan merevitalisasi kawasan tersebut serta mengevaluasi dan meningkatkan kembali efektivitas Community Action Plan yang telah dicanangkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, dkk. Tingkat Kekumuhan Permukiman di Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Jurnal Antologi Pendidikan Geografi. Vol 4. No 2. Agustus 2016
Dr. H. Ratiyono, MMSI. 2015. Peta Kawasan Rawan Konflik Provinsi DKI Jakarta.Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi DKI Jakarta.
Gibbs and Jonas, 2000. Governance and regulation in Local Environmental Policy: The Utility of a Regime Approach, p. 299
[BPS Provinsi DKI Jakarta] Badan Pusat Statistik. 2017b. Pendataan RW Kumuh DKI Jakarta 2017. DKI Jakarta (ID): BPS Provinsi DKI Jakarta.
Suweda IW. (2011). Penataan Ruang Perkotaan yang Berkelanjutan, Berdaya Saing dan Berotonomi. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. 15(2),
Dari laman Republika.Tambora Padat.2015. https://www.republika.co.id/berita/koran/urbana/15/02/14/njrhrg-tambora-yang-padat diakses pada Selasa, 12 Januari 2020 pada pukul 18.45 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H