Penyelesaian permasalahan yang terjadi di Kawasan Tambora seakan hampir tidak berguna karena kompleksitas permasalahan yang terjadi di dalamnya. Pemerintah kota sendiri seakan sudah mulai menghiraukan dengan memberikan izin pembangunan MALL Season City di Ruang Terbuka Hijau (RTH), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Menyangkal hal tersebut karena dianggap sesuai dengan Peraturan Daerah (PERDA) DKI Jakarta No 1 Tahun 2012 yang mengatur rencana detail tata ruang di wilayah Jakarta. Mall Season City yang dibangun di Kawasan Tambora, Jakarta Barat sangatlah kontras dengan pemandangan pemukiman kumuh yang dapat terlihat jelas ditengah kepadatan Ibu Kota Indonesia. Berdirinya Mall Season City dikawasan “terkumuh” menggambarkan dengan jelas bagaimana hubungan antara Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat yang tidak saling mendukung satu sama lain dalam meningkatkan kualitas wilayah perkotaan dalam hal ini Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Padahal dengan melibatkan masyarakat dalam kolaborasi antara Pemerintah kota dan Swasta, akan mempermudah dan lebih mempercepat pembangunan wilayah. Kerja sama yang terjadi juga akan menguntungkan masyarakat dengan meningkatnya perekonomian, karena dalam penelitian ambarwati tingkat kemiskinan di Tambora mencapai 76.1% penduduk yang pendapatannya masih di bawah UMP.[23] Keinginan masyarakat kecamatan Tambora, Jakarta Barat untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak serta-merta hanya mengandalkan pemerintah semata. Swasta sangat berperan penting dalam membantu hal tersebut. Dimana saat ini peran swasta di kecamatan Tambora hanya terfokus kepada pemanfaatan ekonomi. Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan dari penelitian Ambarwati bahwa 60,2% Masyarakat kecamatan Tambora, Jakarta Barat harus membayarkan hunian yang disewanya yang seharusnya angka ini dapat dikurangi secara drastis bila ada kerja sama yang aktif antara pemerintah kota, swasta, dan masyarakat.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebetulnya sudah memikirkan penyelesaian yang dapat dilakukan dalam menjawab kebutuhan di Tambora, dengan Program Kampung Deret. Dimana program ini terbukti dapat mengubah kawasan yang tadinya kumuh, pencahayaannya kurang, penghawaannya kurang, penataan rumah yang tidak rapi, dan lain sebagainya menjadi kawasan yang tidak kumuh, lebih sehat karena penghawaan dan pencahayaannya cukup serta penataan rumah yang lebih rapi. Selain itu warga juga mendapatkan fasilitas-fasilitas yang menunjang kehidupannya yang sebelumnya tidak ada seperti halnya kamar mandi atau wc pribadi, taman bermain, drainase, jalan yang lebih rapi dan lebar, dan lain sebagainya.[24] Kampung deret sendiri diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 64 tahun 2013, Tetapi Program ini sendiri harus terhenti akibat dari pergantian kepemimpinan. Kebutuhan masyarakat Tambora yang sangat kompleks sendiri dapat diatasi dengan kolaborasi seperti dengan kampung deret ini, tetapi masih belum terciptanya Kolaborasi antara Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. Oleh karenannya untuk itu diperlukan kelompok masyarakat yang aktif dalam menyuarakan kebutuhan-kebutuhan di kecamatan Tambora yang berperan sebagai penyalur suara-suara masyarakat di Kecamatan Tambora.
Kolaborasi Pemerintah dan Aktor Intermediary dalam Sebuah Proses Kebijakan
Terdapat beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk mengupayakan pembangunan berkelanjutan di kawasan pemukiman padat penduduk seperti Tambora. Pembahasan mengenai politik perkotaan yang terkait dengan perencanaan pembangunan perkotaan dapat dikatakan merupakan sebuah hal yang sangat kompleks. Dalam kondisi kebijakan pembangunan kota, terdapat adanya interaksi antar aktor-aktor yang merupakan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan yang orientasi utama kebijakan tersebut terhubung dengan pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat yang nantinya akan merasakan manfaat dari output kebijakan pembangunan kota. Dalam kasus pembangunan kota seringkali aspirasi dan kepentingan masyarakat terabaikan, masyarakat-masyarakat Tambora pun kian hari merasa semakin terpinggirkan karena adanya pembangunan yang pesat di sekitar Tambora, namun kawasan terpadat se-Asia Tenggara ini luput dari pandangan mata para pemangku kebijakan.
Pemerintah merupakan aspek yang paling penting dalam konteks teori rezim pada dinamika kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan kota dan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi dari penelitian ini adalah mencoba menganalisa bahwa teori urban rezim menjelaskan mengenai perlunya sebuah kolaborasi yang dilakukan oleh berbagai aktor untuk tujuan pembangunan dan penataan ruang kota. Kolaborasi akan berjalan dengan maksimal apabila terdapat peran dari aktor intermediary yang mencoba untuk menghubungkan pemerintah dan pihak swasta. Stone bahkan menyatakan bahwa efektivitas dari pemerintah lokal bergantung pada kerjasama dari aktor non pemerintah (aktor swasta maupun masyarakat) dan kombinasi antara pemerintah dan sumberdaya non pemerintah (stone: 1989). Aktor intermediary merupakan aktor perantara seperti antara lain LSM, mahasiswa, masyarakat setempat, dan lain sebagainya. Solusi yang ditawarkan dari penelitian ini untuk permasalahan di Tambora yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji dan memilih kebijakan yang tepat dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan kawasan Tambora yang dilakukan oleh Pemerintah Kota dengan mengikutsertakan peran aktor intermediary yang bersifat partisipatif dan memiliki community power.
Dengan adanya latar belakang dan kepentingan yang beragam dari tiap-tiap aktor, maka proses pembuatan kebijakan diharapkan mampu menghasilkan sebuah sinergitas yang tertuju pada proses pembangunan yang dilakukan oleh rezim yang memiliki pengaruh besar dalam proses kebijakan, kebijakan yang dihasilkan atas dasar partisipasi dan community power menjadi suatu pedoman bagi program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam pembangunan kota, pemilihan kebijakan yang tepat akan membawa dampak yang besar kepada masyarakat. Kenyataan bahwa suatu kebijakan merupakan hasil dari interaksi aktor dalam hal ini termasuk interpretasi aktor terhadap makna pembangunan maka dapat dikatakan bahwa cara pandang serta pemaknaan masingmasing aktor penting dalam proses tersebut menjadi titik penting sebuah kebijakan pembangunan. Dalam konteks ini, interpretasi pada ide pembangunan sangat mungkin akan terkait dengan preferensi dan kepentingan masing-masing actor. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa proses kebijakan pembangunan merupakan suatu ruang dialektika dari beragam ide dan kepentingan para aktor dalam konstruksi sistem yang tersedia[25]