Mohon tunggu...
Nurul AuliaMijayanti
Nurul AuliaMijayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPNVJ Political Science Student

Hi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Pemetaan Konflik (Simon Fisher): Pergusuran Permukiman Kampung Pulo

26 Juli 2022   15:35 Diperbarui: 26 Juli 2022   16:32 3381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ANALISIS PEMETAAN KONFLIK: PENGGUSURAN PERMUKIMAN KAMPUNG PULO

Nurul Aulia Mijayanti

nurulaulia@upnvj.ac.id  

Abstrak: Pemetaan konflik dapat mengklarifikasi berbagai level permasalahan, memberikan gambaran menyeluruh, mengorganisasi titik pandang setiap orang dan memberi solusi efektif. Penelitian ini bertujuan memetakan pemicu konflik, jenis konflik, dan penanganan konflik oleh Pemprov DKI Jakarta dengan masyarakat Kampung Pulo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. 

Hasil pemetaan mengungkap bahwa konflik dipicu oleh perbedaan kepentingan antara masyarakat Kampung Pulo dengan Pemprov DKI Jakarta. Masyarakat Kampung Pulo menuntut ganti rugi yang sepadan atas penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Penanganan konflik sudah berlangsung lama dan melibatkan berbagai pihak terkait, namun semua pihak belum memahami pentingnya melakukan pemetaan konflik. Perlu integrasi atau kolaborasi pendekatan formal dan lokal dalam pemetaan konflik pada kasus ini.

Kata kunci: pemetaan konflik, penggusuran, masyarakat Kampung Pulo, Pemprov DKI Jakarta

Abstract: Mapping the conflict may clarify the various levels of problems, giving a whole, organizing point of view of each person and provide effective solutions. This study aims to map a trigger of conflict, types of conflicts, and conflict management by the DKI Jakarta Provincial Government and the people of Kampung Pulo. 

The method used in this research is qualitative. The data collected in this study are secondary data. The results of the mapping revealed that the conflict was triggered by differences in interests between the people of Kampung Pulo and the DKI Jakarta Provincial Government. The people of Kampung Pulo are demanding compensation commensurate with the evictions carried out by the DKI Jakarta Provincial Government. . Conflict handling has been going on for a long time and involves various related parties, however, all parties do not yet understand the importance of conducting conflict mapping. It needs integration or collaboration of formal and local approaches in conflict mapping in this case.

Keywords: conflict mapping, evictions, the people of Kampung Pulo, Pemprov DKI Jakarta

Pendahuluan 

Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang perintah, organisasi, dan sebagainya).

Namun, masalah kebijakan merupakan sebuah fenomena yang memang harus ada mengingat tidak semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Tak jarang kebijakan dari pemerintah itu justru menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dalam merelokasi masyarakat terhadap penggusuran yang terjadi di DKI Jakarta DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia telah dipadati oleh penduduknya dengan jumlah sekitar 10.187.595 jiwa. Sedangkan wilayah metropolitan Jakarta (Jabodetabek) ditempati sekitar 28 Juta jiwa dan termasuk metropolitan terbesar di asia tenggara atau urutan kedua di dunia.[1]

 Memang pada hakikatnya kebijakan terlahir untuk menertibkan pemukiman kota. Begitu pula yang dilakukan pemerintah. Pemerintah ingin menjadikan wilayah DKI Jakarta yang lebih tertata rapih dan tertib. Lalu, mengapa pemerintah ingin menertibkan permukiman kota dengan hal sedemikian rupa? Hal ini disebabkan karena pemukiman kota yang terlihat begitu kumuh bila dipandang oleh mata. Dengan begitu pemerintah berinisiatif untuk melakukan penertiban kota, dengan cara melakukan penggusuran masyarakat yang tinggal di daerah pemukiman tersebut, Pastinya masyarakat yang tinggal di daerah tersebut akan direlokasikan ke tempat yang telah dibangun oleh pemerntah DKI Jakarta yakni rumah Rusun.

 Namun, inilah kenyataannya yang terjadi di DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta sering kali melakukan kebijakan pembangunan penggusuran dampaknya masyarakat. Masyarakat yang menjadi sasaran sehingga seringkali permasalah penggusuran berakibat konflik dengan masyarakat setempat.

 Selain itu, pemerintah membolehkan alih fungsi lahan untuk kepentingan umum hal ini tercantum dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan Ruang Namun srategi pengembangan Penataan Kota harus dipersiapkan dengan matang dan memberikan solusi bagi warga terdampak. Jika memang penggusuran merupaka salah satunya cara untuk melakukan penataan ruang yang terjadi di Jakarta maka menurut International Covenant on Economic, social and Cultural Right (ICESCR) diperbolehkan namun harus memenuhi standar International. 

Salah satu pendapat umum yang disusun oleh ICESCR adalah pendapat umum ICESCR Nomor 7 tahun 1997 tentang penggusuran paksa dan Tempat Tinggal Yang Layak (Pendapat Umum) Pada angka 16 ICESCR selaku pendapat umum menyampaikan prosedur yang sesuai untuk penggusuran adalah sebagai berikut: 

(1) terdapat Musyawarah yang tulus bagi warga terdampak; 

(2) pemberitahuan yang layak dan beralasan bagi warga yang terdampak sampai jadwal penggusuran yang akan dilakukan 

(3) informasi yang lengkap dan transfaran tentang kegunaan lahan pasca penggusuran dilakukan bagi warga terdampak

(4) apabila melibatkan sekelompok warga, kehadiran pemerintah atau perwakilannya harus hadir saat penggusuran dilaksanakan:

(5) keterbukaan informasi tentang pelaksanaan penggusuran; 

(6) penggusuran tidak dilakukan saat hujan ataupun malam hari. kecuali disepakati oleh warga terdampak

(7) penyediaan sarana pemulihan berdasarkan hukum, dan 

(8) pendampingan atau bantuan hukum bagi mereka yang akan menuntut ganti rugi melalui kembaga peradilan.[2]

Masyarakat kampung pulo sendiri sejatinya tidak menolak pembangunan kearah yang lebih positif, hanya masyarakat menuntut pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar setiap masyarakat yang terdampak pada penggusuran. 

Dari beberapa jumal yang dapat dijadikan rujukan menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian tidak menemukan adanya pemenuhan hak dari masyarakat yang terdampak penggusuran. Hal inilah yang membuat masyarakat seringkali menolak penggusuran tersebut. Berbagai masalah sering terjadi dikala penggusuran dan harus diselesaikan oleh pemerintah diantaranya: 1) penggunaan kekuatan yang berlebihan dalam menghadapi warga, 2) kegagalan musyawarah, 3) kurangnya sosialisasi dan pembritahuan, 4) kompensasi yang kurang memadai, 5) paksaan dalam kompensasi, 6) korupsi dalam masalah kompensasi.[3]

 Saat proses relokasi yaitu tanggal 20 Agustus 2015 dilakukan, terjadi permasalahan yaitu bentrokan fisik warga Kampung Pulo dan Satpol PP yang saat itu akan melakukan pembongkaran bangunan tempat tinggal masyarakat di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Bentrokan fisik yang terjadi menyebabkan hambatan saat relokasi, pembakaran pada alat-alat berat milik Pemerintah. Setelah Kampung Pulo akan dilakukan penataan dan relokasi pada bantaran Sungai Ciliwung lainnya. Proses relokasi Kampung Pulo dilakukan pada sebanyak 518 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal tepat di bantaran Sungai Ciliwung, yang terkena trase perencanaan penataan ke Rusunawa Jatinegara Barat, tetap dilakukan secara bertahap selama satu minggu. Masyarakat yang direlokasi dari Kampung Pulo tersebut dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara Barat yang memiliki 2 tower dengan masing-masing tower memiliki 16 lantai. Menara 1 sebanyak 280 unit dan menara 2 sebanyak 266 unit sarusun.[4]

 Ini merupakan akar dari permasalahan ini adalah tidak koperatifnya pemprov DKI Jakarta dalam mensosialisasikan tentang negosiasi ganti rugi (konvensasi) yang tidak adil serta tidak terlalu memikirkan bagaimana nasib korban terdampak nantinya, salain itu, sikap refresif yang dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta dengan melibatkan aparat polri dan TNI turut serta dalam menambah keruh suasana yang terjadi dalam dinamika kasus penggusuran yang terjadi di pemukiman kampung pulo.

 Atas dasar uraian dari fakta-fakta di atas penyusun tertarik membahas analisis pemetaan konflik dari konflik penggusuran permukiman Kampung Pulo. Dari sinilah penulis tertarik untuk melihat bagaimana kasus ini jika dianalisis menggunakan alat analisis pemetaan konflik Simon Fisher.

 Landasan Teori

 Alat atau teknik untuk membantu dalam mengidentifikasi, akar permasalahan, menganalisa, dan memecahkan konflik adalah dengan menggunakan pemetaan konflik. Mengapa pemetaan konflik dianggap penting? Karena konflik tidak muncul tiba-tiba tanpa sebab, dan banyak faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya hubungan, nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat, kelembagaan, kebutuhan individu/kelompok, perkembangan sebuah komunitas, sumber daya, kebijakan dan kepentingan politik tertentu. Dengan melalui pemetaan konflik, maka dapat merepresentasikan konflik dalam bentuk visualisasi baik berupa gambar dalam bentuk bagan, diagram, grafis, dan lain-lain, dengan menempatkan para pihak yang terlibat dalam konflik baik yang berhubungan dengan masalah maupun antar para pihak sendiri.[5]

 Melalui metode pemetaan, dapat memberikan sebuah sistem yang menggambarkan scope dari suatu konflik dengan tujuan dari pihak yang terlibat di dalamnya, tipe hubungannya, dan juga isi dari isunya. Mengidentifikasi pihak yang terlibat konflik merupakan tahap yang pertama kali dilakukan untuk mengetahui posisi mereka, kepentingan, dan tingkat kapasitas dari dukungan dari luar. Oleh karena itu, kerangka kerja dari analisis konflik harus bersifat komprehensif, yaitu dengan memperhatikan berbagai aspek yang melingkupinyanya, seperti apa yang diungkapkan oleh Bartos and Wehr (2002).[6]

 "The analysis of linkages between microlevel activities and macro-level forces covers the main obstacles working against a peaceful solution and the internal and external factors behind prolonging the conflict. Overall, mapping entails essential information that is fundamental in planning a constructive response, including the control of violence." 

 Suatu hal yang penting dari pemetaan konflik adalah membantu pihak yang terlibat konflik untuk melihat dengan jelas posisi mereka terhadap kepentingan dan kebutuhan mereka, saat mengklarifikasi berbagai macam permasalahan. Ini sesuai pula dengan konsep pemetaan konflik dari Fisher dkk. (2000), yang menggambarkan siapa saja yang terlibat konflik, kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik (misalnya perusahaan perkebunan dan masyarakat sekitar), tujuan yang diinginkan oleh masing-masing pihak yang berkonflik, serta penanganan konflik yang telah diterapkan oleh pihak perusahaan.[7]

 Selanjutnya terdapat satu pertanyaan penting, yaitu kapan pemetaan konflik digunakan? De Boers dan Hoa Pham (2009) menyatakan bahwa: 

a) pemetaan dapat digunakan pada peristiwa apa saja ketika kita membutuhkan klarifikasi suatu permasalahan, 

b) pemetaan dapat digunakan untuk suatu situasi yang sifatnya sederhana maupun yang kompleks, 

c) pemetaan dapat digunakan secara individu maupun kelompok kecil atau besar, 

d) menggunakan pemetaan untuk membantu dalam perencanaan, 

e) mempertimbangkan kebutuhan dan perhatian sebelum membuat rencana baru atau merubah implementasi untuk menghindari banyak tekanan dan konflik, itu akan membangun hubungan yang terbaik, 

f) memetakan suatu isu dapat menyediakan suatu proses terstruktur yang berhubungan dengan isu yang bersifat kooperatif, dan g) ketika isu terlihat sangat kompleks, atau ketika melibatkan pemikiran yang lemah untuk memecahkannya, pemetaan dapat menjadi suatu titik awal yang sangat baik. Melihat gambaran yang menyeluruh dan mengorganisasi titik pandang setiap orang seringkali menyebabkan seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat bekerjasama.[8]

 Metode Penelitian

 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode penelitian kualitatif berfokus pada persepsi dan pengalaman serta cara memandang suatu kehidupan dan peneliti terutama tertarik untuk memahami bagaimana suatu hal terjadi (Fraenkel dan Walen, 1990; Merriam, 1988; serta Locke dkk.1987 dalam Creswell, 1998). Pendekatan penelitian ini adalah studi kasus. Disain dari studi kasus ini lebih memberikan kemungkinan kepada peneliti untuk memperoleh wawasan yang mendalam mengenai aspek-aspek dasar tentang perilaku manusia. Hal ini disebabkan karena studi kasus berupaya melakukan penyelidikan secara mendalam dan totalitas, intensif dan utuh (Muhamad Idrus, 2007).[9]

 Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder ini sendiri dipeoleh dari studi dokumentasi dan literatur, melalui cara mengumpulkan dan mempelajari data tertulis berupa buku-buku, dokumen-dokumen atau transkip, koran, jurnal, buletin, dan membuka akses melalui internet.

 Pembahasan 

 Pemetaan konflik dipakai untuk merepresentasikan konflik dalam bentuk visualisasi gambar (grafis) maupun bagan, dengan menempatkan para pihak yang terlibat dalam konflik maupun pihak yang menjadi mediator, serta waktu kejadiannya. Berdasarkan hasil pemetaan diperoleh bahwa konflik antara masyarakat Kampung Pulo dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melibatkan aparat kepolisian dan TNI yang juga memperparah suasana. 

Hal ini dipicu karena masyarakat Kampung Pulo menganggap tidak koperatifnya pemprov DKI Jakarta dalam mensosialisasikan tentang negosiasi ganti rugi (konvensasi) yang tidak adil serta tidak terlalu memikirkan bagaimana nasib mereka (masyarakat Kampung Pulo) pasca penggusuran. Konflik ini juga diperparah oleh perlakuan pemprov DKI Jakarta yang melibatkan aparat polri dan TNI turut serta dalam menambah keruh suasana yang terjadi dalam dinamika kasus penggusuran yang terjadi di pemukiman Kampung Pulo.

 Pemerintah sendiri melakukan penggusuran pemukiman Kampung Pulo dengan maksud agar menertibkan warga yang tinggal di atas tanah negara, tanah bukan milik warga, sehingga dianggap ilegal. Penggusuran tersebut demi normalisasi sungai Ciliwung. Normalisasi sungai Ciliwung adalah dalam rangka mengatasi banjir Jakarta, diperkirakan akan adanya relokasi 70 ribu keluarga yang mendiami bantaran sungai Ciliwung. Rencananya, sungai Ciliwung akan dilebarkan menjadi 35 -- 50 meter ditambah dengan jalan inspeksi 7,5 meter di kedua sisinya. 

Kampung Pulo, Kampung Melayu merupakan kawasan paling parah tiap banjir tiba (Relokasi Warga, Syarat Normalisasi Sungai, Kompas.com, 3-2-2015). Sebenarnya warga Kampung Pulo tidak menolak relokasi, tetapi mereka tidak mau disebut pemukim ilegal. Sebagai pemukim yang mempunyai hak atas rumah dan tanah mereka, tentu saja mereka tidak dapat diusir begitu saja tanpa diberikan ganti rugi. Relokasi warga dari Kampung Pulo dapat diartikan sebagai tindakan dalam rangka pengadaan tanah untuk pembangunan dalam kerangka kepentingan umum, sehingga dapat ditempuh dengan menggunakan hukum pengadaan tanah. 

Memang bahwa pembangunan pelebaran sungai tidak disebutkan secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah (UU No. 2 Tahun 2012), namun dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 10 huruf c yakni: tanah untuk kepentingan umum yang digunakan dalam pembangunan tersebut adalah termasuk bangunan pengairan lainnya. Jika didekati dengan Pasal 10 huruf j UU No. 2 Tahun 2012 maka penjelasannya menjelaskan: "Yang dimaksud "fasilitas keselamatan umum" adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor."

 Adapun alasan lain mengapa masyarakat menolak penggusuran adalah tidak dapat melakukan kegiatan perekonomian seperti sedia kala karena keterbatasan ruang di Rusunawa Jatinegara Barat. Serta, penambahan pengeluaran untuk membayar sewa rusun Di Kampung Pulo. Namun, Pemprov DKI Jakarta menanggapi kekhawatiran masyarakat ini dengan akan menyediakan tempat berdagang, gerobak, kursi untuk berdagang secara gratis. 

Dan juga warga sewa rusun Di Kampung Pulo dapat mencicil pembayaran sewa rusun dengan sistem pembayaran kompensasi keringanan berupa cicilan melalui Bank DKI. Warga juga diberikan fasilitas gratis seperti busway gratis untuk Jabodetabek, pengobatan dan dokter gratis, Paud, perpustakaan, dan lainnya. Namun, kompenasasi dari Pemprov DKI Jakarta seperti itu belum juga mengambil hati warga Kampung Pulo untuk bersedia agar rumahnya digusur untuk kepentingan umum. 

Sehingga, beberapa warga tetap bertahan di Kampung Pulo berharap rumahnya tidak digusur oleh Pemprov DKI Jakarta. Hingga akhirnya, Pemprov DKI Jakarta melibatkan Satpol PP untuk melakukan penggusuran kepada warga yang masih bertahan agar rumahnya tidak digusur. Namun, cara penggusuran yang dilakukan oleh Satpol PP di Kampung Pulo tidak manusiawi. Idealnya, penggusuran dilakukan ketika warga sudah menempati tempat tinggal yang baru. Atau dengan kata lain penggusuran seharusnya dilakukan ketika rumah warga sudah kosong dan warga sudah mendapatkan tempat tinggal yang baru. Faktanya, ada beberapa warga yang belum menempati Rusun Jatinegara. Namun, dilakukan penggusuran paksa oleh Satpol PP. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya bentrokan antara warga dan Satpol PP.

 Pada saat proses eksekusi penggusuran berlangsung Pemprov DKI Jakarta melibatkan TNI dan Polisi dengan tujuan untuk membantu proses penggusuran pemukiman. Selain itu, alasan lain mengapa Pemprov DKI Jakarta melibatkan TNI dan Polisi dalam proses penggusuran adalah salah satu upaya meredam bentrokan antara masyarakat dengan Satpol PP sebagai perpanjangan tangan Pemprov DKI Jakarta. Ketidaaan aparat keamanan pada proses penggusuran yang dilakukan sebelumnya berdampak tidak ada pendamping yang mampu mengontrol ekskalasi kekerasan. 

Dengan kata lain, keberadaan TNI dan Polisi awalnya menjadi salah satu upaya Pemprov DKI Jakarta dalam meminimalisir kerusakan dan korban. Namun, warga setempat menganggap kehadiran TNI dan Polisi atau Aparat hanya memperkeruh suasana sebab pada saat proses eksekusi atau penggusuran berlangsung tetap terjadi ketegangan antara warga dengan aparat Satpol PP ditambah TNI dan Polri hal ini dikarenakan pengamanan yang berlebihan pada saat proses tersebut berlangsung rentan memunculkan provokasi dan membuat warga semakin emosi.

 Pada Gambar 1 tersebut, terlihat pula bahwa konflik masih selalu terjadi. Dinamika konflik tersebut dapat terjadi antara lain karena masyarakat Kampung Pulo masih belum merasa puas dengan solusi yang diberikan Pemprov terhadap masyarakat terdampak penggusuran. Selain itu, kurangnya komunikasi antara kedua belah pihak dalam mensosialisasikan penggusuran dan memberikan informasi terkait relokasi pemukiman warga Kampung Pulo, dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik baru. Munculnya konflik baru ini juga didukung oleh model penanganan konflik yang diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang masih bersifat instan dan tidak berkelanjutan.

 Dari Konflik ini juga menunjukkan bahwa belum terjadinya sinkronisasi antara keinginan dari kedua belah pihak yang mana warga Kampung Pulo mengingkan kooperatifnya Pemprov dalam penanganan penggusuran Kampung Pulo dan ganti rugi (konvensasi) yang adil serta memikirkan nasib masyarakat terdampak penggusuran kedepannya. Sedangkan, ganti rugi yang diberikan Pemprov hanya sebatas rumah susun sewa yang harus dibayarkan tiap tahunnya. 

Hal ini, tentunya memberatkan para warga terdampak penggusuran Kampung Pulo. Mereka merasa sudah kehilangan rumah dan ditambah harus membayar sewa rusun pertahunnya. Padahal, mata pencaharian mereka setelah penggusuran juga terkena imbasnya. Walaupun, Pemprov memberikan fasilitas seperti gerobak, tenda, dan fasilitas lainnya untuk memulai bisnis bagi warga yang terdampak penggusuran Kampung pulo. Namun, hal ini tetap masih belum dirasa puas oleh masyarakat yang terdampak penggusuran. Sebab, memulai bisnis ditempat baru bukanlah suatu yang mudah bagi mereka.

 Gambar 1 Pemetaan Konflik Kasus Penggusuran Kampung Pulo.

  Kesimpulan

Konflik terjadi karena kondisi rendahnya komunikasi yang terjalin antara Pemprov DKI Jakarta dengan masyarakat Kampung Pulo. Penggusuran wilayah permukiman Kampung Pulo dianggap masyarakat setempat adalah kebijakan pemerintah yang menyusahkan warga Kampung Pulo. Sebab, Pemprov DKI Jakarta dianggap melakukan kebijakan penggusuran tanpa memikirkan bagaimana kehidupan warga Kampung Pulo setelah penggusuran berlangsung. 

Memang, warga diberi kompensasi berupa relokasi rumah susun di Rusunawa Jatinegara Barat. Namun, hal itu dianggap tidak adil serta tidak memikirkan nasib masyarakat terdampak setelah penggusuran serta warga Kampung Pulo menuntut pemenuhan hak dari masyarakat yang terdampak penggusuran. Konflik semakin meningkat karena adanya relokasi ke Rusunawa Jatinegara Barat bagi warga terkena penggusuran Kampung Pulo. 

Di rusun sendiri pemerintah tidak memberikan tempat tinggal gratis bagi warga sebab di Rusunawa Pemprov tetap mematok uang sewa rusun yang harus dibayar pertahun kepada penghuni Rusunawa. Dan Pemprov DKI Jakarta melibatkan Satpol PP, Aparat Kepolisian, dan TNI dalam proses penggusuran berlangsung yang membuat suasana semakin tegang antara masyarakat Kampung Pulo dengan Aparat hal ini dikarenakan pengamanan yang berlebihan pada saat proses tersebut berlangsung rentan memunculkan provokasi dan membuat warga semakin emosi.

 Walaupun penanganan konflik sudah terjadi beberapa waktu yang lalu dan sudah melibatkan berbagai pihak terkait, seperti Pemprov DKI Jakarta, tokoh masyarakat, masyarakat Kampung Pulo, Aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP, namun akibat dari konflik tersebut masih saja terjadi hingga kini. Akibatnya, sentimen dan trauma masyarakat Kampung Pulo atas konflik Penggusuran ini masih bisa dirasakan hingga hari ini. Hal ini menegaskan bahwa pihak-pihak yang diajak untuk secara bersama-sama menyelesaikan konflik masih belum memahami pentingnya pemetaan konflik yang seharusnya dilakukan sejak awal. Oleh karena itu, direkomendasikan pentingnya mengintegrasikan metode penyelesaian konflik formal dan nonformal, sehingga mewadahi seluruh pihak yang terlibat dan terkait dalam menemukan solusi alternatif penyelesaian masalah.

 

Referensi 

 

Fisher, S. 2000. Working With Conflict: Skills and Strategies for Action. London/ New York: Zed Books.

 Mukhsin Jamil. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai. WMC (Walisongo Mediation Centre); Semarang

 Lucyana Trimo, "PEMETAAN KONFLIK ANTARA PERUSAHAAN PERKEBUNAN DENGAN MASYARAKAT SEKITAR", Jurnal Agribisnis dan Sosial Ekonomi Pertanian Vol. 1, No. 1, Juni 2016.

 Syaiful Arraufa Purba, Skripsi: "Kebijakan Relokasi Pemerintah DKI Jakarta (Kasus Relokasi Kampung Pulo DKI Jakarta)" (Yogyakarta: Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2018).

 https://kesbangpol.inhukab.go.id/index.php/berita-informasi/artikel/18-pemetaan-konflik-conflict-mapping

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun