Mohon tunggu...
Nurul AuliaMijayanti
Nurul AuliaMijayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPNVJ Political Science Student

Hi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Pemetaan Konflik (Simon Fisher): Pergusuran Permukiman Kampung Pulo

26 Juli 2022   15:35 Diperbarui: 26 Juli 2022   16:32 3381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Pada Gambar 1 tersebut, terlihat pula bahwa konflik masih selalu terjadi. Dinamika konflik tersebut dapat terjadi antara lain karena masyarakat Kampung Pulo masih belum merasa puas dengan solusi yang diberikan Pemprov terhadap masyarakat terdampak penggusuran. Selain itu, kurangnya komunikasi antara kedua belah pihak dalam mensosialisasikan penggusuran dan memberikan informasi terkait relokasi pemukiman warga Kampung Pulo, dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik baru. Munculnya konflik baru ini juga didukung oleh model penanganan konflik yang diterapkan oleh Pemprov DKI Jakarta yang masih bersifat instan dan tidak berkelanjutan.

 Dari Konflik ini juga menunjukkan bahwa belum terjadinya sinkronisasi antara keinginan dari kedua belah pihak yang mana warga Kampung Pulo mengingkan kooperatifnya Pemprov dalam penanganan penggusuran Kampung Pulo dan ganti rugi (konvensasi) yang adil serta memikirkan nasib masyarakat terdampak penggusuran kedepannya. Sedangkan, ganti rugi yang diberikan Pemprov hanya sebatas rumah susun sewa yang harus dibayarkan tiap tahunnya. 

Hal ini, tentunya memberatkan para warga terdampak penggusuran Kampung Pulo. Mereka merasa sudah kehilangan rumah dan ditambah harus membayar sewa rusun pertahunnya. Padahal, mata pencaharian mereka setelah penggusuran juga terkena imbasnya. Walaupun, Pemprov memberikan fasilitas seperti gerobak, tenda, dan fasilitas lainnya untuk memulai bisnis bagi warga yang terdampak penggusuran Kampung pulo. Namun, hal ini tetap masih belum dirasa puas oleh masyarakat yang terdampak penggusuran. Sebab, memulai bisnis ditempat baru bukanlah suatu yang mudah bagi mereka.

 Gambar 1 Pemetaan Konflik Kasus Penggusuran Kampung Pulo.

  

Dokpri
Dokpri
Kesimpulan

Konflik terjadi karena kondisi rendahnya komunikasi yang terjalin antara Pemprov DKI Jakarta dengan masyarakat Kampung Pulo. Penggusuran wilayah permukiman Kampung Pulo dianggap masyarakat setempat adalah kebijakan pemerintah yang menyusahkan warga Kampung Pulo. Sebab, Pemprov DKI Jakarta dianggap melakukan kebijakan penggusuran tanpa memikirkan bagaimana kehidupan warga Kampung Pulo setelah penggusuran berlangsung. 

Memang, warga diberi kompensasi berupa relokasi rumah susun di Rusunawa Jatinegara Barat. Namun, hal itu dianggap tidak adil serta tidak memikirkan nasib masyarakat terdampak setelah penggusuran serta warga Kampung Pulo menuntut pemenuhan hak dari masyarakat yang terdampak penggusuran. Konflik semakin meningkat karena adanya relokasi ke Rusunawa Jatinegara Barat bagi warga terkena penggusuran Kampung Pulo. 

Di rusun sendiri pemerintah tidak memberikan tempat tinggal gratis bagi warga sebab di Rusunawa Pemprov tetap mematok uang sewa rusun yang harus dibayar pertahun kepada penghuni Rusunawa. Dan Pemprov DKI Jakarta melibatkan Satpol PP, Aparat Kepolisian, dan TNI dalam proses penggusuran berlangsung yang membuat suasana semakin tegang antara masyarakat Kampung Pulo dengan Aparat hal ini dikarenakan pengamanan yang berlebihan pada saat proses tersebut berlangsung rentan memunculkan provokasi dan membuat warga semakin emosi.

 Walaupun penanganan konflik sudah terjadi beberapa waktu yang lalu dan sudah melibatkan berbagai pihak terkait, seperti Pemprov DKI Jakarta, tokoh masyarakat, masyarakat Kampung Pulo, Aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP, namun akibat dari konflik tersebut masih saja terjadi hingga kini. Akibatnya, sentimen dan trauma masyarakat Kampung Pulo atas konflik Penggusuran ini masih bisa dirasakan hingga hari ini. Hal ini menegaskan bahwa pihak-pihak yang diajak untuk secara bersama-sama menyelesaikan konflik masih belum memahami pentingnya pemetaan konflik yang seharusnya dilakukan sejak awal. Oleh karena itu, direkomendasikan pentingnya mengintegrasikan metode penyelesaian konflik formal dan nonformal, sehingga mewadahi seluruh pihak yang terlibat dan terkait dalam menemukan solusi alternatif penyelesaian masalah.

 

Referensi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun