Ya, akulah calon pengganti Kyai Arifin di pesantren tradisional itu. Namun panggilan untuk jihad sudah tiba.
"Insya Allah, Pak. Saya mohon doa," ujarku seraya takzim mencium tangan keriputnya.
Mata Kyai Arifin basah. Upayanya untuk menahanku tetap di pesantren dengan menikahkanku dengan putrinya gagal.
Aku terkesiap. Ya Robbi, kenapa bayang-bayang mereka hadir kembali jelang pertemuanku dengan bidadari impian?
"Toha, itu salah. Bukan begitu cara perjuangan Rasulullah!"
 "Antum bukan mati syahid namanya, Akhi. Mati sangit!"
Kenapa juga si Ikhwan yang sok tau itu ikut-ikutan hadir?
Astaghfirullah. Bayang-bayang itu bergulat seru dalam benak.
Aku sampai lupa dengan suatu benda penting, remote control. Terpaksa aku letakkan tas ransel di trotoar. Mungkin tertinggal di dalam tas.
Aku tarik keluar benda lonjong putih yang bersarung kulit itu. Sekilas bentuknya mirip dompet.
Baca Juga:Â Wahai Penulis, Ternakkan Idemu