DUARR!!
Asap tebal mengepul. Satu bis dan beberapa mobil pribadi membangkai hitam. Sebagian pagar bagai dihempas badai panas. Patah dan menghitam.
Jeritan dan pekik tangis berbaur. Kerumunan lintang-pukang, berlarian histeris. Hujan gerimis melatarbelakangi suasana kepanikan di tepi jalan protokol tersebut. Tiga jasad mayat terserak hancur.
Dalam jarak beberapa meter, sepotong kepala tertendang seorang bapak-bapak gendut yang berlari ketakutan. Wajah manis pada kepala itu meringis.
Baca Juga: Banjir Seleher, Leher Siapa?
Aku tepikan sepeda motor di pinggir jalan protokol. Tas ransel gendut di punggung aku alihkan ke depan. Aku peluk erat, sangat rapat. Aku sedang mendekap bidadari.Â
"Antum yakin, Akh?" tanya Ustaz Imam menyelidik. Kami sedang duduk melingkar dalam sebuah pengajian. Materinya kali ini tentang darul harbi, negara-negara yang layak diperangi dalam konteks ideologis.
"Insya Allah, Ustaz. Ana kan Muhammad Toha," ujarku seraya mendapuk dada.
"Ya, ya, Asy-Syahid Mohammad Toha dari Bandung Selatan." Ustaz Imam, mentorku ini manggut-manggut. Ia selalu ingat keinginanku untuk menjadi sang martir zaman kemerdekaan itu.
Dengan satu granat di tangan, gagah berani menyeberangi sungai di tengah desingan peluru penjajah Belanda dan dengan ikhlas meledakkan diri bersama hancurnya gudang mesiu Belanda pada 1946.